PPATK menemukan ada pegawai Kementerian Keuangan yang terkait dengan lebih dari satu perusahaan. Perusahaan-perusahaan itu perusahaan cangkang yang kepemilikannya gunakan nama istri, sopir, hingga tukang kebun.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mahfud MD
JAKARTA, KOMPAS — Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Mahfud MD memberikan klarifikasi tentang dugaan adanya transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan kepada Komisi III DPR. Sejumlah dana itu disebut sebagai data agregat selama 14 tahun terakhir yang bersumber pada 300 Laporan Hasil Analisis yang dibuat dan dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan ini pun menegaskan, transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kementerian Keuangan mencapai Rp 35 triliun, bukan Rp 3,3 triliun seperti disebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Setelah tertunda satu pekan, Mahfud MD menghadiri undangan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/3/2023) sore. Ia diundang untuk mengklarifikasi pernyataan mengenai dugaan adanya transaksi mencurigakan yang terkait tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Mahfud didampingi oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang juga Sekretaris Komite TPPU, Ivan Yustiavandana.
Sebelum Mahfud memulai klarifikasinya, Komisi III sempat mempertanyakan absennya Sri Mulyani dalam rapat tersebut. Selain karena transaksi mencurigakan menyangkut kementerian yang dipimpinnya, ia yang juga menjadi anggota komite diharapkan hadir untuk memberikan penjelasan terkait. Namun, Sri Mulyani tak bisa hadir karena harus memimpin rapat ekonomi dengan Menkeu se-ASEAN di Bali.
Nuansa rapat sempat menghangat saat sejumlah anggota Komisi III meminta interupsi pada awal penjelasan Mahfud. Mahfud pun meminta kepada seluruh anggota Komisi III untuk memperlakukan pemerintah dalam posisi setara.
Suasana rapat kerja Komisi III DPR, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (24/11/2022).
“Mari kita bersikap sejajar, saling berargumen, tidak boleh ada satu menuding yang lain seperti polisi memeriksa copet. Mari kita setara aja, saling buka. Nanti kami tunjukkan datanya,” kata Mahfud saat membuka pemaparannya.
Selain itu, Mahfud menegaskan soal kedudukan hukum yang membuat dirinya berhak menerima laporan dari PPATK. Hal ini sempat disoroti sejumlah anggota Komisi III karena berpotensi melanggar hukum. Selain sebagai Menko Polhukam yang memang kerap bekerja dengan basis data intelijen, ia juga menegaskan posisinya sebagai ketua komite TPPU. Tidak ada satu pun pasal dalam peraturan perundang-undangan yang melarang ia menerima laporan tersebut.
Mahfud menjelaskan, data transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kemenkeu merupakan data agregat sepanjang periode 2009—2023. Data agregat dimaksud didapatkan dari 300 Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK yang telah diberikan baik ke Kemenkeu, kementerian/lembaga lain yang terkait, serta penegak hukum.
Transaksi mencurigakan dimaksud terbagi dalam tiga kelompok. Pertama, transaksi keuangan mencurigakan pegawai Kemenkeu yang jumlahnya mencapai Rp 35,5 triliun. Ada pula transaksi keuangan mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain yang mencapai Rp 53,8 triliun. Selain itu, transaksi keuangan mencurigakan sebesar Rp 260,5 triliun diduga terkait dengan kewenangan Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal (TPA) dan TPPU yang belum diperoleh data keterlibatan pegawai Kemenkeu. Dari ketiga jenis itu, jumlah transaksi mencurigakan mencapai Rp 349,8 triliun.
KURNIA YUNITA RAHAYU
Data Agregat TPPU 2009-2023 yang dipaparkan Menko Polhukam Mahfud MD di Komisi III DPR, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
Ia menambahkan, transaksi mencurigakan itu bukan perbuatan oknum yang berdiri sendiri. Transaksi melibatkan 1.074 entitas, yang terdiri dari 491 aparatur sipil negara (ASN) Kemenkeu, 13 ASN kementerian/lembaga lain, dan 570 pihak non-ASN. “Jadi, jangan (hanya) bicara Rafael Alun Trisambodo, di laporan ini ada jaringannya,” kata Mahfud.
Data berbeda
Mahfud mengakui, data yang dia miliki berbeda dengan yang dipaparkan oleh Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (27/3). Saat itu, Sri Mulyani menjelaskan, dari 300 surat dengan total transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun, bagian yang benar-benar terkait dengan pegawai Kemenkeu adalah sebesar Rp 3,3 triliun. Sementara bagian lainnya menyangkut transaksi korporasi yang tidak ada hubungannya dengan pegawai Kemenkeu (Kompas, 28/3/2023).
Menurut Mahfud, data yang disampaikan Sri Mulyani jauh dari fakta yang sebenarnya. Ia diduga tidak mendapatkan laporan secara utuh dari jajarannya. Jajaran Kemenkeu terindikasi hanya menyerahkan sebagian LHA dan melaporkan transaksi mencurigakan lainnya sebagai laporan pajak. “Ada kekeliruan pemahaman dan penjelasan Ibu Sri Mulyani karena ditutupnya akses dari bawah,” ujar dia.
Ivan Yustiavandana menambahkan, dalam LHA, khususnya kluster transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu, PPATK tidak hanya menyertakan nama sejumlah ASN yang diduga melakukan transaksi mencurigakan. PPATK juga menyertakan daftar sejumlah nama perusahaan yang terkait. Pihaknya menemukan, ada ASN yang terkait dengan lebih dari satu perusahaan.
DOKUMENTASI PPATK
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana.
“Kami menemukan bahwa perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan cangkang yang dimiliki oleh oknum, sehingga ini tidak bisa dikeluarkan, dipisahkan (dari laporan). Misalnya, oknum menggunakan nama istri, anak, sopir, tukang kebun di akta perusahaannya,” kata dia.
Menurut Ivan, soal perusahaan terkait ini juga yang menyebabkan ada perbedaan antara data yang dipaparkan PPATK dan Kemenkeu. Jika data terkait sejumlah perusahaan itu ditiadakan, maka jumlah transaksi mencurigakan yang terkait dengan TPPU juga bakal berkurang. Padahal, TPPU identik dengan modus yang selalu menggunakan pihak lain untuk menyamarkan tindakan pelaku.
“Sehingga kalau kami keluarkan data (perusahaan) itu, kami justru membohongi penyidiknya, kami masukkan nama-nama perusahaan berikut oknumnya, di situ lah ketemu angka Rp 35 triliun (jumlah transaksi mencurigakan yang melibatkan pegawai Kemenkeu). Kalau dikeluarkan memang Rp 22 triliun, kalau dikeluarkan lagi memang cuma Rp 3,3 triliun,” kata Ivan.