ASEAN Sepakati Tiga Prioritas Penguatan Keuangan Makro
Tiga prioritas memperkuat keuangan makro ASEAN dilahirkan. Cetak biru skema pembiayaan di sejumlah sektor prioritas juga akan dibuat, termasuk terkait dengan pangan dan kesehatan.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Para menteri keuangan dan gubernur bank sentral di kawasan Asia Tenggara meyepakati tiga prioritas untuk memperkuat keuangan makroASEAN dari efek limpahan krisis global saat ini dan di masa depan. Mereka juga sepakat membuat cetak biru skema pembiayaan terkait kesehatan, pangan, transisi hijau, jaring pengaman sosial, serta usaha, mikro, kecil, dan menengah.
Sejumlah komitmen itu lahir dalam Pertemuan Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM) 2023 yang digelar di Nusa Dua, Bali, pada 28-31 Maret. Kesepakatan-kesepakatan itu tertuang dalam dokumen Pernyataan Bersama Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN yang dicetuskan pada Jumat (31/3/2023).
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, ASEAN harus memiliki cara menahan dan memitigasi efek limpahan krisis mutidimensi global, baik yang terjadi sekarang maupun masa depan. Oleh karena itu, AFMGM 2023 telah melahirkan jalan ASEAN di sektor keuangan makro untuk memperkuat keuangan makro kawasan.
Ada tiga prioritas yang disepakati. Pertama, memperkuat bauran kebijakan fiskal, moneter, makropurdensial, dan reformasi struktural. Di tengah ketidakpastian ekonomi saat ini, bauran kebijakan itu akan diarahkan untuk menjaga inflasi, nilai tukar, dan sistem keuangan perbankan kawasan.
Kedua, lanjut Perry, memperkuat ekspor dan investasi kawasan untuk menopang pemulihan ekonomi dan cadangan devisa. Salah satu caranya adalah mendiversifikasi mata uang di kawasan agar tidak tergantung pada dollar AS, yakni dengan penggunaan mata uang lokal untuk transaksi perdagangan dan investasi.
Ketiga, memperkuat digitalisasi sektor keuangan untuk meningkatkan inklusi keuangan di kawasan. Langkah tersebut akan membantu pelaku usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) ASEAN lebih berkembang.
“Untuk mewujudkan prioritas kedua dan ketiga, para gubernur bank sentral ASEAN sepakat mengintegrasikan sistem pembayaran kawasan. Lima bank sentral, yakni Indonesia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia telah menandatangani nota kesepahaman. Nanti akan menyusul Vietnam yang sedang merampungkan sistem fast payment dan negara-negara anggota yang lain,” kata Perry dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida, Jumat.
ASEAN harus memiliki cara menahan dan memitigasi efek limpahan krisis mutidimensi global, baik yang terjadi sekarang maupun masa depan.
Menurut Perry, hal itu juga akan diperkuat dengan membangun sistem pembayaran digital antarnegara disertai pembuatan regulasi, pengawasan, standarisasi, dan mitigasinya. Dengan begitu, ke depan, masyarakat ASEAN dapat dengna mudah bertransaksi secara digital, baik menggunakan kode respons cepat maupun fast payment di negara-negara anggota.
Selain tiga prioritas tersebut, para gubernur bank sentral ASEAN berkomitmen menggulirkan kebijakan pendukung pembiayaan transisi hijau untuk mengatasi perubahan iklim. Salah satunya melalui kebijakan makroprudensial yang memungkian perbankan di ASEAN mendapatkan insentif atas penyaluran kredit program-program transisi hijau.
Pembiayaan sektoral
Dalam kesempatan itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, para menteri keuangan ASEAN memandang pentingnya pembiayaan di sejumlah sektor, seperti pangan, kesehatan, UMKM, dan program-program mengatasi perubahan iklim. Di sektor pangan, misalnya, dukungan finansial membangun ketahanan pangan kawasan sangat diperlukan.
“Kami akan fokus pada dukungan fiskal untuk membiayai program-program ketahanan pangan dan gizi. Kebijakan sektor pangan ini sangat penting untuk menjaga inflasi baik di saat krisis saat ini maupun mendatang. Poin ini nantinya akan dideklarasikan dalam pertemuan para pemimpin negara ASEAN,” katanya.
Para menteri keuangan ASEAN memandang pentingnya pembiayaan di sejumlah sektor, seperti pangan, kesehatan, UMKM, dan program-program mengatasi perubahan iklim.
Adapun di sektor transisi hijau, lanjut Sri Mulyani, ASEAN berkomitmen menggulirkan pembiayaan hijau untuk program-program mengatasi perubahan iklim. Salah satunya dengan memperbarui Taksonomi ASEAN untuk Keuangan Berkelanjutan (ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance/ATSF).
Melalui taksonomi versi kedua itu, pembiayaan transisi hijau, termasuk pengembangan energi baru terbarukan dan kendaraan listrik, dapat digulirkan. ASEAN sepakat transisi hijau itu diklasifikasikan sebagai program yang berhak mendapatkan pendanaan.
“Dalam pendaan tersebut, ASEAN akan melihat disparitas dan inklusivitas setiap negara anggota dan memastikan tidak ada yang ditinggalkan,” ujarnya.
ATSF yang telah diperbaharui dan diterbitkan pada 27 Maret 2023 berfokus pada transisi energi untuk mewujudkan ekonomi rendah karbon di ASEAN. Pembaharuan taksonomi itu diharapkan dalam menarik investasi berkelanjutan di kawasan ASEAN.
Kementerian Keuangan mencatat, ASEAN membutuhkan investasi senilai 27 miliar dollar AS per tahun untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025. Sejak 2016 hingga 2021, ASEAN hanya bisa menarik investasi sekitar 8 miliar dollar AS per tahun.
Terkait dengan Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM), Sri Mulyani menyatakan, para menteri keuangan ASEAN sudah membahasnya dan merasa perlu untuk segera diperbaharui agar skemanya lebih fleksibel. Namun, hal itu perlu dibahas lebih lanjut bersama China, Jepang, dan Korea Selatan, karena merupakan hasil keputusan ASEAN+3.
“Namun dalam konteks AFMGM 2023, kami lebih fokus membahas perkuatan kerja sama regional untuk memperkuat sektor keuangan makro. CMIM merupakan salah satu alternatif. Masih banyak potensi kerja sama sektor keuangan yang tidak hanya terbatas pada pembiayaan jaring pengaman keuangan atau likuiditas,” katanya.
Perry juga menuturkan, para gubernur bank sentral ASEAN juga telah membahasnya. Namun, fokus utama dalam pertemuan kali ini adalah membuat langkah-langkah mitigasi untuk menahan efek limpahan ketidakpastian ekonomi global dan membangun ketahanan keuangna makro untuk menghadapi potensi krisis di masa depan.
“Lebih baik memitigasi risiko dengan memperkuat kuangan makro kawasan daripada bertindak di saat krisis telah terjadi. Oleh karena itu, kami sepakat untuk menggulirkan tiga prioritas untuk memperkuat keuangan makro kawasan,” tuturnya.
CMIM merupakan kesepakatan pertukaran mata uang multilateral yang melibatkan 10 anggota ASEAN, China, Jepang, dan Korea Selatan (ASEAN+3) yang diluncurkan pada 24 Maret 2010. Salah satu tujuan dari CMIM adalah memberikan pembiayaan likuiditas jangka pendek. Semula, CMIM memiliki cadangan valuta asing sebesar 120 miliar dollar AS pada 2010. Kemudian pada 2012, cadangan tersebut ditambah menjadi 240 miliar dollar AS.