Komitmen ASEAN untuk Transisi Energi Terus Diperkuat
Komitmen bersama negara Asia Tenggara dalam transisi energi membutuhkan penyelarasan aturan agar investor dapat lebih mudah masuk. ASEAN Taxonomy versi terbaru diharapkan memberikan aturan detail untuk menjawabnya.
Oleh
Raynard Kristian Bonanio Pardede
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara di Asia Tenggara membutuhkan pembiayaan besar agar dapat secara signifikan mengurangi tingkat emisi karbon pada tahun 2030. Meski demikian, aturan yang ada belum tersinkronisasi dengan baik sehingga pendanaan dan investasi belum dapat masuk dengan lancar.
Menjawab hal tersebut, perhimpunan negara Asia Tenggara (ASEAN) mencetuskan ASEAN Taxonomy for Sustanaible Finance versi kedua, dengan harapan adanya pendekatan baru dalam menarik investasi masuk ke kawasan.
Dalam acara ASEAN Finance Ministers and Central Bank Governors Meeting 2023 (AFMGM) di Bali, Kamis (30/3/2023), Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pembiayaan transisi energi membutuhkan biaya yang besar, untuk itu diperlukan bantuan pendanaan investasi dari sektor swasta. Untuk Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi karbon sebesar 31 persen berada di angka 281 milliar dollar AS.
”Dari jumlah tersebut, porsi paling besar untuk transisi energi. Namun, tidak bisa sekadar switch off karena permintaan untuk energi tetap tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Dari berbagai proyek transisi energi, kesulitan besar yang dihadapi Indonesia adalah mencari pendanaan untuk memberhentikan operasional PLTU, salah satunya PLTU Cirebon-1, Jawa Barat, dengan kapasitas 660 megawatt. Tantangannya adalah mencari dana untuk mengompensasi biaya yang diterima perusahaan, imbas pemotongan kontrak jangka panjang akibat pensiun dini tersebut.
Bila pensiun dini, PLTU Cirebon-1 tidak akan beroperasi sesuai dengan kontrak antara PT PLN dan Cirebon Electric Power, pemilik PLTU tersebut, yaitu hingga 2042.
”Siapa yang mau mendanai pemberhentiannya? Kita harus matangkan setiap detailnya agar ada kejelasan. Program pemberhentian ini akan jadi percontohan ke depannya. Bagaimana sebuah pembangkit listrik diberhentikan dan bagaimana mekanismenya nanti,” ujarnya.
Mengatasi hal tersebut, hal utama yang perlu dilakukan adalah merumuskan aturan detial agar investasi atau pendanaan dapat masuk. Aturan di level regional diperlukan agar investor melihat komitmen kuat antara negara-negara di Asia Tenggara.
Aturan yang dibuat harus selaras dengan aturan investasi energi terbarukan yang dimiliki negara lain agar dana lebih mudah masuk. Selama ini, perbedaan definisi dan minimnya detail data serta aturan membuat investor ragu masuk ke Indonesia.
”Di pertemuan pengusaha Amerika dan Eropa dengan pengusaha ASEAN, mereka berpikir, ’mendanai program pemberhentian PLTU’ itu sama saja dengan masih ’mendanai batubara’. Ada perbedaan pandangan, makanya aturan kita harus selaras juga dengan asas kepatuhan mereka,” ujarnya.
Ketua ASEAN Taxonomy Board Noorafidah Sulaiman menerangkan, ASEAN Taxonomy versi kedua diharapkan dapat menjawab permasalahan yang dihadapi tersebut mengingat ASEAN Taxonomy versi pertama hanya aturan secara umum. Sebagai informasi, ASEAN Taxonomy Board merupakan badan yang dibentuk pada Maret 2021 dengan tugas merumuskan aturan pendanaan berkelanjutan di negara Asia Tenggara.
Di dalam aturan terbaru ini terdapat beberapa detail, seperti adanya metodologi dalam menilai dampak lingkungan suatu aktivitas ekonomi yang ada. Hal lainnya adalah adanya kriteria pemantauan teknis untuk sektor-sektor energi, seperti lisrik, gas, uap, yang disesuaikan dengan standar lingkungan secara global.
Aturan terbaru ini juga mencoba menyelaraskan kerangka pemikiran yang berbeda antarnegara ASEAN, khususnya dalam hal pertumbuhan ekonomi, sektor keuangan, dan kemampuan infrastruktur.
”Aturan ini diharapkan mengonsolidasikan upaya negara-negara Asia Tenggara untuk mendapatkan energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil,” ucap perempuan yang menjabat sebagai Deputy Managing Director Brunei Darussalam Central Bank ini.
Kesinambungan aturan
Terbitnya ASEAN Taxonomy versi kedua diharapkan dapat menarik minat investor tidak hanya dari kawasan, tetapi juga dari luar Asia Tenggara. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Mahendra Siregar menjelaskan, dengan adanya aturan ini, komunikasi antara Indonesia dan investor dari Asia Tenggara, Amerika, atau Eropa semakin baik.
Kehadiran aturan yang detail membuat mereka tertarik untuk berpartisipasi dalam pendanaan berkelanjutan di Asia Tenggara.
”Mereka sekarang menjadi lebih clear dengan aturan yang ada di kawasan, dan membuat mereka menjadi tertarik,” ujarnya.
Menteri Keuangan Singapura Lawrence Wong menambahkan, kunci untuk mendapatkan pendanaan hijau dapat dihimpun dalam 3D (data, disclosure, dan definition). Pertama terkait data, negara-negara perlu transparan terkait kondisi riil agar investor mendapatkan informasi yang utuh.
Selanjutnya, mengenai disclosure atau pengungkapan, negara perlu secara akuntabel melaporkan perkembangan pembiayaannya. Terakhir, negara perlu memberikan definisi yang tegas, apa yang dimaksudkan dengan ”transisi energi” dan apa saja strategi untuk melakukannya.
”Taxonomy ASEAN yang terbaru ini diharapkan menjawab itu, dengan harapan membuka pendanaan bagi negara-negara di Asia Tenggara,” ucapnya.