ASEAN Perlu Perkuat Bauran Kebijakan Menuju Episentrum Ekonomi Global
ASEAN tengah bergerak menjadi kawasan episentrum pertumbuhan ekonomi global. Di sisi lain, Bank Dunia memproyeksikan dunia berpotensi kehilangan satu dekade pertumbuhan ekonomi.
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
DOKUMENTASI BANK INDONESIA
(Dari kiri ke kanan) Gubernur Bank Sentral Filipina Felipe M Medalla, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati menjadi pembicara dalam Gala Seminar Keketuaan ASEAN Indonesia 2023 bertajuk Meningkatkan Kalibrasi Kebijakan untuk Ketahanan Keuangan Makro yang digelar secara hibrida, Rabu (29/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — ASEAN tengah bergerak menjadi kawasan episentrum pertumbuhan ekonomi global. Untuk merealisasikan hal itu, khususnya di sektor keuangan makro, ASEAN perlu memperkuat kalibarasi bauran kebijakan, reformasi struktural, dan investasi.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Rabu (29/3/2023), mengatakan, di tengah ketidakpastian ekonomi dan krisis multidimensi global, ekonomi ASEAN tetap resilien. Hal itu terjadi lantaran negara-negara di kawasan Asia Tenggara konsisten mengadopsi bauran kebijakan fiskal dan moneter dengan prinsip kehati-hatian (prudent).
ASEAN juga melakukan reformasi struktural di berbagai sektor. Di sektor keuangan makro, misalnya, sejumlah negara anggota ASEAN telah berkomitmen membangun konektivitas sistem pembayaran ASEAN (ASEAN Payment Connectivity/APC).
”Tahun lalu, lima negara anggota ASEAN yang telah berkomitmen mengintegrasikan sistem pembayaran antarnegara tersebut adalah Indonesia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Malaysia. Tahun depan, kami berharap semua negara anggota ASEAN bisa mewujudkan APC tersebut,” kata Perry dalam Gala Seminar Keketuaan ASEAN Indonesia 2023 bertajuk ”Meningkatkan Kalibrasi Kebijakan untuk Ketahanan Keuangan Makro” yang digelar secara hibrida, Rabu (29/3/2023).
Seminar tersebut merupakan bagian dari rangkaian Pertemuan Para Menteri Kuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN (AFMGM). Pertemuan tersebut digelar di Nusa Dua, Bali, pada 28-31 Maret 2023.
Di tengah ketidakpastian ekonomi dan krisis multidimensi global, ekonomi ASEAN tetap resilien. Hal itu terjadi lantaran negara-negara di kawasan Asia Tenggara konsisten mengadopsi bauran kebijakan fiskal dan moneter dengan prinsip kehati-hatian.
Perry juga menekankan pentingnya koordinasi kebijakan antarnegara di ASEAN di tengah ketidakpastian ekonomi global yang masih berlanjut hingga tahun ini. Bauran kebijakan yang tidak hanya bertumpu pada masing-masing negara, tetapi juga secara regional sangat dibutuhkan untuk memperkuat ketahanan ekonomi ASEAN dan menjadikan ASEAN sebagai episentrum pertumbuhan ekonomi global.
BI memperkirakan, pertumbuhan ekonomi di lima negara terbesar ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina (ASEAN-5), berkisar 4,6-4,7 persen pada tahun 2023 dan 5,6 persen pada 2024. Pada 2022, ekonomi ASEAN-5 diperkirakan tumbuh sebesar 5,3 persen.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati mengatakan, untuk menjadikan ASEAN sebagai episentrum pertumbuhan global, ASEAN perlu menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang bagus secara berkelanjutan. Kerja sama antarotoritas moneter dan keuangan perlu diperkuat untuk membangun sistem keuangan ASEAN dengan prinsip kehati-hatian agar tetap resilien.
”ASEAN juga harus membangun benchmark (tolok ukur atau patokan) kawasan yang kuat dan melakukan reformasi struktural di berbagai sektor. Dengan begitu, ASEAN bisa tetap atraktif untuk investasi,” ujarnya.
Logo ASEAN Indonesia 2023 menghiasi kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Kamis (2/2/2023). Indonesia akan menyelenggarakan rangkaian pertemuan The ASEAN Foreign Ministers (AMM) Retreat di Jakarta pada 3-4 Februari 2023. Pertemuan ini merupakan pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN pertama di masa Keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023. Keketuaan Indonesia tahun ini mengusung tema ASEAN Matters : Epicentrum of Growth
Likuiditas dan inflasi
Sri Mulyani juga menyinggung tentang perjanjian Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) yang merupakan jaring pengaman keuangan regional. Perjanjian tersebut harus diperbarui agar skemanya lebih fleksibel dan dapat benar-benar dimanfaatkan negara-negara anggotanya.
CMIM merupakan kesepakatan pertukaran mata uang multilateral yang melibatkan 10 anggota ASEAN, China, Jepang, dan Korea Selatan (ASEAN+3) yang diluncurkan pada 24 Maret 2010. Salah satu tujuan dari CMIM adalah memberikan pembiayaan likuiditas jangka pendek. Semula, CMIM memiliki cadangan valuta asing sebesar 120 miliar dollar AS pada 2010. Kemudian pada 2012, cadangan tersebut ditambah menjadi 240 miliar dollar AS.
Adapun Gubernur Bank Sentral Filipina Felipe M Medalla menekankan pentingnya ASEAN bersama-sama menghadapi inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi. Adaptasi kebijakan yang cepat sangat diperlukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Hal itu termasuk bauran kebijakan ekonomi makro setiap negara.
BI memperkirakan tekanan inflasi ASEAN-5 pada tahun ini akan melandai setelah pada 2022 mencapai 6,3 persen. Tingkat inflasi ASEAN-5 pada 2023 dan 2024 diperkirakan masing-masing sebesar 3,3 persen dan 3,2 persen.
Sementara itu, dalam laporan bertajuk ”Penurunan Prospek Pertumbuhan Jangka Panjang: Tren, Ekspektasi, dan Kebijakan” yang dirilis pada 27 Maret 2023, Bank Dunia mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi global yang berkelanjutan selama hampir tiga dekade mulai berakhir. Hal itu disebabkan oleh krisis multidimensi, terutama akibat dampak pandemi Covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina.
Bank Dunia mencatat, potensi pertumbuhan rata-rata produk domestik bruto (PDB) dunia pada 2022-2030 diperkirakan sebesar 2,2 persen per tahun. Pertumbuhan PDB itu turun dari periode 2011-2021 dan 2000-2010 yang masing-masing sebesar 2,6 persen dan 3,5 persen per tahun. Khusus negara-negara berkembang, pertumbuhan PDB tersebut akan turun menjadi 4 persen per tahun dibandingkan periode 2000-2010 yang sebesar 6 persen per tahun.
”Ekonomi global bisa kehilangan satu dekade pertumbuhan. Hal ini bisa berimplikasi serius terhadap kemampuan dunia mengatasi berbagai tantangan yang semakin kompleks, seperti kemiskinan, penurunan pendapatan, dan perubahan iklim,” kata Kepala Ekonom Bank Dunia Indermit Gill melalui siaran pers.
Ekonomi global bisa kehilangan satu dekade pertumbuhan. Hal ini bisa berimplikasi serius terhadap kemampuan dunia mengatasi berbagai tantangan yang semakin kompleks, seperti kemiskinan, penurunan pendapatan, dan perubahan iklim.
Dalam laporan itu, Bank Dunia menyebutkan, potensi kehilangan pertumbuhan itu dapat dihindari jika para pembuat kebijakan meningkatkan serapan tenaga kerja, produktivitas perdagangan dan industri, serta investasi. Jika ketiga hal itu berhasil dicapai, potensi pertumbuhan PDB bisa meningkat menjadi 0,7 persen dari 2,2 persen menjadi 2,9 persen.