Momentum panen raya semestinya jadi ajang penggilingan padi untuk berburu gabah sebagai bahan baku. Namun, ketatnya persaingan, tipisnya margin, dan keterbatasan modal membuat pelaku usaha skala kecil tidak bisa leluasa.
Oleh
Hendriyo Widi, M PASCHALIA JUDITH J
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kendati memasuki masa panen raya, harga gabah di sejumlah sentra padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah masih relatif tinggi hingga awal Maret 2023. Fenomena ”lapar beras” beberapa bulan terakhir membuat persaingan mendapatkan gabah makin ketat. Pelaku usaha perberasan skala kecil, khususnya penggilingan padi, mesti menunggu hingga harga gabah turun dan masuk hitungan.
Situasi itu tergambar saat Kompas menelusuri sentra-sentra padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah, 28 Februari-5 Maret 2023. Sejumlah pengelola usaha penggilingan menyatakan belum mampu memenuhi target pengadaan karena harga gabah masih di atas harga acuan. Kapsitas mesin penggilingan pun belum optimal.
Selama delapan bulan berturut-turut hingga Februari 2023, komoditas beras mengalami inflasi dan menyumbang inflasi umum bulanan. Harga beras juga belum turun kendati pemerintah telah mengimpor 500.000 ton beras dan sebagian wilayah telah memasuki masa panen pertama tahun ini.
Jumair (48), pelaku usaha penggilingan kecil mitra Bulog di Cirebon, Jawa Barat, Rabu (8/3/2023), menyatakan, setelah Surat Edaran Kepala Badan Pangan Nasional RI Nomor: 47/TS.03.03/K/02/2023 tentang Harga Batas Atas Pembelian Gabah atau Beras dicabut pada 7 Maret 2023, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani naik lagi. Menurut dia, hal itu terjadi di Jawa Barat dan sejumlah daerah di Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat, seperti Brebes dan Cilacap.
Sebelum surat edaran tentang harga batas atas diterapkan pada 27 Februari, harga GKP di tingkat petani sempat mencapai Rp 6.500 per kilogram (kg). Namun, setelah batasan harga diterapkan, harga GKP turun menjadi Rp 4.700 per kg. ”Setelah batas atas harga pembelian dicabut, harga GKP petani kembali naik menjadi Rp 5.200 per kg. Hal itu menyebabkan pedagang penebas, termasuk dari korporasi besar, bersaing ketat. Yang memiliki modal kuat yang bakal menang,” tuturnya.
Jumair menambahkan, dengan GKP setinggi itu, penggilingan kecil masih belum dapat memasok beras ke Bulog. Harga GKP itu masih di atas fleksibilitas harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah dan beras. Para pemilik penggilingan pun belum bisa leluasa menyerap gabah petani.
Sejumlah pelaku usaha penggilingan menilai, masuknya korporasi besar ke pasar perberasan membuat persaingan memperebutkan gabah/beras semakin ketat. Akibatnya, harga gabah dan beras bertahan tinggi. Per 10 Maret 2023, harga rata-rata nasional beras medium bahkan tercatat naik 12,38 persen secara tahunan menjadi Rp 11.800 per kg.
Bangkrut dan tutup
Di tengah ketatnya persaingan memperoleh gabah, para pelaku usaha penggilingan dihadapkan pada insentif usaha atau margin yang tipis. Apalagi, pemerintah melalui Perum Bulog gencar menggelar operasi pasar untuk menekan harga beras di tingkat konsumen.
Pemilik penggilingan Fajar Tani di Desa Gempol Kolot, Kecamatan Banyusari, Kabupaten Karawang, Maman H, mengatakan, penggilingannya masih berjalan sepekan sekali. ”Per minggu, jalannya (penggilingan) sekitar 10-20 ton. Proses menggiling 1 hari 1 malam. Misalnya, giling 18 ton dari jam 8 pagi selesainya jam 2 pagi. Hasilnya sekitar 10 ton beras,” tuturnya.
Saat ini dia membeli gabah dari petani untuk bahan baku dengan harga sekitar Rp 5.000 per kg GKP. Namun, di hilir harganya tertekan karena operasi pasar beras masih gencar. Harga beras yang dia jual mesti menyesuaikan nilai ekspektasi operasi pasar, yakni Rp 9.000 per kg. Dengan harga sebesar itu, penggiling tidak mendapatkan harga yang layak, bahkan rugi.
Situasi itu yang beberapa tahun terakhir dialami para pemilik penggilingan skala kecil. Di Kecamatan Banyusari, menurut Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Barokah Tani, Karawang, Tani Suryadinata Wira Lodra, terdapat 50 penggilingan kecil pada sekitar tahun 1990-an. Namun, segenap tekanan membuat sebagian pengusaha penggilingan padi bangkrut dan menutup usaha. Dari 50 penggilingan itu, saat ini hanya 10 penggilingan kecil yang masih berproduksi.
”Penggilingan besar biasanya beli hingga 2.000-5.000 ton gabah untuk menjaga stok, salah satunya saat paceklik, agar pasokan ke konsumen selalu lancar. Hal ini mengakibatkan penggilingan kecil kalah bersaing, apalagi harga GKP saat ini Rp 5.800 per kg,” tuturnya.
Rentang harga
Anggota Dewan Penasihat PP Perhepi, M Husein Sawit, berpendapat, pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan rentang harga di pasar atau harga eceran tertinggi (HET) beras dengan HPP gabah di tingkat petani dan penggilingan. Jika rentang kedua harga terlalu sempit, stabilitas harga memang terjadi. Namun, hal itu justru membuat swasta kurang tertarik menguasai stok karena berpotensi merugikan mereka.
Dampaknya, daya serap gabah petani turun. Apabila harga beras di pasar naik, seperti saat ini, situasinya menjadi sulit dikelola. Apalagi, CBP di Bulog rendah. Kondisi itu justru memerangkap pemerintah untuk kembali mengimpor beras.
Sebaliknya, jika rentang harga terlalu lebar, lanjut Husein, stabilitas harga memang menjadi tidak terlalu ketat. Namun, kondisi itu justru akan membuat swasta semakin tertarik memegang stok sebab ada insentif usaha antarwaktu atau antardaerah sehingga harga gabah di tingkat petani tidak terlalu tertekan.
Kondisi itu juga membuat pemerintah menguasai stok yang wajar dan tidak terlalu masif mengintervensi pasar. Intervensi pasar hanya dibutuhkan saat paceklik saja.
”Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar dapat membuat rentang harga yang wajar, tidak terlalu sempit, dan tidak terlalu lebar. Jangan sampai menjadikan inflasi sebagai acuan utama dalam pembentukan harga tersebut. Pembentukan harga di tingkat petani dan penggilingan juga perlu diperhatikan,” paparnya dalam diskusi yang digelar Alinea.id pada 3 Maret 2023.
Terkait situasi harga yang terjadi pada awal musim panen raya kali ini, Presiden Joko Widodo saat meninjau panen raya di Kartoharjo, Ngawi, Jawa Timur, Sabtu (11/3), meminta Badan Pangan Nasional segera menetapkan HPP GKP oleh Bulog agar harga gabah di tingkat petani tidak jatuh. Bulog juga diperintahkan untuk menyerap gabah petani sebanyak-banyaknya di musim panen raya.
Setelah instruksi tersebut, Badan Pangan Nasional menyatakan bakal segera menerbitkan HPP terbaru gabah dan beras untuk menjaga keseimbangan harga gabah dan beras di tingkat petani, penggilingan, pedagang, dan masyarakat.
HPP terbaru gabah dan beras direncanakan terbit saat masuk puncak panen raya tahun ini. Menurut Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, usulan HPP terbaru telah memperhatikan masukan seluruh pemangku perberasan dengan mempertimbangkan biaya pokok produksi, margin petani, kualitas gabah dan beras, serta dampak kenaikan inflasi.
”HPP yang diusulkan mengacu masukan organisasi petani, penggilingan, dan kementerian/lembaga terkait, yang dihitung berdasarkan struktur ongkos usaha tani dan perkembangan harga keekonomian gabah/beras saat ini,” ujarnya.
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan Badan Pangan Nasional, di Bogor, Kamis (2/3/2023), Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) mengusulkan HPP GKP baru sebesar Rp 5.700 per kg, sementara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengusulkan Rp 5.550 per kg, Serikat Petani Indonesia (SPI) Rp 5.600 per kg, Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Rp 5.400 per kg, dan Aliansi Petani Indonesia (API) Rp 5.800 per kg.
Selain itu, Penggerak Pembangunan Masyarakat Desa (Gerbangmassa) mengusulkan harga GKP Rp 5.375 per kg, sedangkan Kementerian Pertanian Rp 4.800-Rp 5.100 per kg. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga mengusulkan harga GKP Rp 4.850-Rp 5.000 per kg.