Ada kesenjangan pendapatan antara wirausaha perempuan dan laki-laki di bidang e-dagang, yakni 22 persen. Salah satu penyebabnya adalah beban ganda perempuan, terutama bagi perempuan wirausaha yang sudah berumah tangga.
Oleh
MEDIANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masih banyak usaha milik perempuan tergolong dalam kelompok survivalist atau hanya bertujuan menghasilkan pendapatan cukup untuk menunjang kebutuhan sehari-hari dan mempertahankan bisnis. Pemanfaatan teknologi digital dipercaya mampu membantu wirausaha perempuan mengatasi isu tersebut, meski berpotensi menimbulkan persoalan baru.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Perumusan Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita Crystallin, mengatakan, porsi usaha milik perempuan yang masuk kategori survivalist diperkirakan mencapai 70,7 persen. Lebih dari setengah dari semua usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia masuk dalam kategori survivalist.
“Di kalangan UMKM, kelompok suvivalist bahkan lebih tinggi di kalangan perempuan. Hasil kajian Bappenas dan Bank Dunia pada 2016 menunjukkan, hanya 15 persen usaha perempuan yang berorientasi ingin bertumbuh bisnisnya,” ujar Masyita dalam webinar ”Perempuan di Era Digital:Pemanfaatan Layanan Digital untuk Pertumbuhan Bisnis”, Rabu (8/3/2023), di Jakarta.
Berdasarkan laporan Bank Dunia terkait digitalisasi, 60 persen pengusaha perempuan mengaku mengakses perdagangan secara elektronik (e-dagang) untuk memperluas lini penjualan atau pemasaran. Kendati hal ini positif, menurut Masyita, tantangan utamanya adalah keandalan akses internet dan literasi digital yang relatif masih rendah.
Wakil Direktur Kebijakan Women World’s Banking di Asia Tenggara, Vitasari Anggraeni, menambahkan, ada kesenjangan pendapatan antara wirausaha perempuan dan laki-laki yang terjun ke e-dagang yang besarannya mencapai 22 persen. Salah satu penyebabnya adalah beban ganda perempuan, terutama bagi perempuan wirausaha yang sudah berumah tangga.
“Temuan riset kami menunjukkan perempuan wirausaha yang berbisnis di e-dagang tetap tidak bisa cepat terima, kirim, dan stok barang pesanan. Mereka tetap memikirkan peran mereka di rumah tangga,” kata Vitasari.
Salah satu solusi mengatasi hal itu, menurut Ekonom senior Bank Dunia, Ririn Salwa Purnamasari, adalah dengan menyiapkan tempat penitipan anak (child care). Di banyak negara maju, fasilitas child care membantu perempuan pekerja dan malah berkembang menjadi ‘bisnis’. Ada sejumlah perempuan yang akhirnya memiliki kesempatan bekerja di fasilitas child care.
“Bagi perempuan yang punya usaha di platform e-dagang, keberadaan fasilitas child care bisa membantu mereka lebih fokus. Cuma, mungkin pengelolaan fasilitas ini tidak harus sama dengan fasilitas child care pada umumnya,” ucap Ririn.
Transisi digital
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste, Satu Kahkonen, menambahkan pentingnya transisi digital yang adil dan setara. Solusi lain yang dia rekomendasikan adalah pelatihan literasi dan kompetensi digital, mendorong rancangan teknologi yang responsif bagi perempuan, dan partisipasi perempuan untuk penelitian teknologi.
“Kami juga mendorong pekerjaan rumah tangga itu harus setara antara perempuan dan laki-laki,” tutur Satu.
Menyoal keandalan akses internet, Direktur Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi pada Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, Ahmad Dading Gunadi, menyampaikan, pemerataan infrastruktur jaringan internet telah masuk program nasional sehingga perempuan wirausaha bisa semakin memanfaatkannya untuk berbisnis. Lalu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20 tahun ke depan, pemerintah mendorong pengarusutamaan gender di semua sektor industri.
“Pemerintah telah menargetkan 30 juta UMKM onboarding di e-dagang. Di antara target jumlah itu, kami harap banyak wirausaha perempuan terlibat,” kata Ahmad.