Usaha menengah kecil mikro bergeliat seiring dengan maraknya ekonomi berbasis digital. Salah satunya melalui pesatnya pembayaran elektronik dan jejaring layanan pesan-antar.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Deretan kode respons cepat (QR) yang tertempel di sebuah gerobak ronde menandai era baru ekosistem digital. Pembayaran elektronik dan jejaring layanan pesan-antar memang sudah seharusnya menyentuh kalangan pengusaha ultramikro.
Awalnya, kedai ”Wedang Ronde Lek Dhie Milenial” menarik perhatian karena berada di urutan atas rekomendasi ”ronde jogja” yang diulas baik oleh lebih dari 300 pengguna Google. Namun, rasa penasaran yang lebih justru ada pada perpaduan kesederhanaan jajanan jalanan ini dengan atribut futuristik berupa kode QR.
Kaswadi (42) telah berjualan ronde sejak 2011. Dua tahun setelah menjajakan ronde dengan berkeliling, ia kemudian berjualan menetap di Jalan Dagen, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta.
Ada tiga kode QR yang tertempel di geroboknya, yakni berlogo OVO, DANA, dan QRIS. Salah satunya bahkan sudah kedaluwarsa menandakan Kaswadi telah lama berkenalan dengan sistem pembayaran elektronik ini.
Ia mengaku terus mengikuti perkembangan teknologi, apalagi yang dapat berdampak baik bagi bisnis rondenya. Proses mempelajari cara pembayaran digital pun tidak selalu mulus. Ia pernah kena tipu oknum bank gadungan yang membuat semua hasil penjualannya menggunakan transaksi digital raib.
Di antara ketiga QR tersebut, QRIS merupakan yang paling baru dalam ekosistem pembayaran digital di Indonesia. QRIS atau Standar Kode Respons Cepat Indonesia merupakan bentuk standardisasi pembayaran digital untuk beragam platform, antara lain OVO, Gopay, LinkAja, DANA, dan mobile banking. QRIS sendiri diluncurkan oleh Bank Indonesia (BI) pada 17 Agustus 2019 dan berlaku efektif pada 1 Januari 2020.
Setengah tahun setelah diimplementasikan, BI mencatat ada 3,67 juta pengguna QRIS (12 Juni 2020). Angka tersebut melesat menjadi 6,55 juta pengguna atau naik 80 persen per 19 Maret 2021. Terakhir, target BI untuk mencapai 12 juta pengguna tercapai pada November 2021.
Mayoritas pengguna QRIS ternyata berasal dari pengusaha mikro. Pada Juni 2020, terdata 2,53 juta pengguna. Angka ini naik menjadi 4,02 juta atau senilai 58 persen pada Maret 2021. Peningkatan ini merupakan kabar baik di tengah ekosistem pembayaran digital yang semakin banyak diminati oleh masyarakat Indonesia.
Tak pelak, peningkatan ini turut menampilkan potret pergeseran preferensi masyarakat dalam metode pembayaran. Metode klasik dengan tunai maupun kartu debit atau kartu kredit terkikis dengan kehadiran kode QR.
Tanpa perlu repot merogoh dompet, pembayaran dapat dilakukan dengan aplikasi dompet digital maupun mobile banking melalui ponsel pintar yang hampir selalu ada dalam genggaman.
Kesadaran publik untuk mengurangi interaksi fisik dalam penerapan protokol kesehatan turut andil dalam penciptaan ekosistem pembayaran digital. Uang tunai hampir makin jarang dimiliki karena faktor kepraktisan ataupun upaya menghindari transmisi virus yang termediasi melalui fisik uang.
Kesadaran publik untuk mengurangi interaksi fisik dalam penerapan protokol kesehatan turut andil dalam penciptaan ekosistem pembayaran digital.
Pergeseran preferensi publik inilah yang perlu juga ditangkap oleh pelaku usaha mikro maupun ultramikro. Pengamatan penulis selama enam bulan terakhir, calon pelanggan tidak jarang urung membeli jajanan karena tidak membawa uang tunai. Sementara penjual tidak menyediakan fasilitas pembayaran non-tunai.
Tidak hanya pembayaran digital, Wedang Ronde Lek Dhie Milenial juga terdaftar dalam tiga aplikasi penyedia jasa pesan-antar makanan. Kaswadi mulai bekerja sama dengan GoFood sejak layanan milik Gojek ini hadir di Yogyakarta pada tahun 2017. Ia kemudian melebarkan jejaring pemasarannya dengan GrabFood dan ShopeeFood.
Pengetahuan dan kepekaan Kaswadi terhadap kemajuan teknologi terbukti menyelamatkannya dari keterpurukan ekonomi. Ia menjadi satu dari sekian banyak pedagang di kawasan wisata Malioboro yang terdampak pembatasan kegiatan pariwisata akibat pandemi Covid-19.
Meski kerja sama pemasaran dengan penyedia digital sudah ia mulai jauh sebelum pandemi, omzetnya cukup terselamatkan dengan kerja sama digital ini. Dengan perpaduan berjualan secara klasikal dan daring, Kaswadi mampu mendapatkan omzet Rp 500.000-Rp 600.000 per hari.
Dengan harga semangkuk ronde Rp 10.000, sedikitnya ia menjual 50 mangkuk ronde per malam dengan waktu berjualan dari pukul 17.30 hingga 00.30.
Sayangnya, langkah Kaswadi ini masih urung diikuti oleh teman-teman sesama pedagang kecil. Informasi terkait pembayaran digital dan platform pesan-antar justru disikapi dingin.
”Saya sudah mengajak teman-teman, tapi mereka maunya nitip bayar saja di akun saya. Tidak ada yang mau mengurus sendiri,” ungkap Kaswadi ketika ditemui Kompas pada Minggu (9/1/2022).
Resistensi dari pelaku usaha ultramikro ini menyumbang narasi penting dalam upaya menciptakan iklim usaha yang sesuai dengan tuntutan zaman. Pedagang dengan media gerobak dorong, seperti sate, bakso, dan jajanan lainnya perlu juga terlibat dalam ekonomi dari rumah (stay at home economy).
Padahal, ekosistem digital berjalan kian cepat. Ceruk pasar untuk pembayaran konvensional maupun makan di tempat kian menyempit. Upaya-upaya yang dilakukan oleh perusahaan perbankan maupun pesan-antar terus diarahkan untuk menuju ke ekosistem digital.
Sepanjang masa pandemi, harian Kompas mencatat langkah-langkah perusahaan digital untuk terus menumbuhkan ekonomi pelaku usaha kecil. Misalnya saja GoFood yang mengadakan program Hari Kuliner Nasional (Harkulnas) untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Acara ini melibatkan 74.000 mitra usaha dengan pendapatan rata-rata naik 12 persen per hari (Kompas, 18/3/2021).
Hasil kajian Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia turut melaporkan keberhasilan ekonomi di ranah digital. Pendapatan mitra GoFood tahun 2021 tumbuh Rp 66 triliun dibandingkan 2020. Jumlah pengusaha pemula yang memanfaatkan GoFood naik 47 persen dengan ditopang teknologi dan akses luas ke pelanggan (Kompas, 22/10/2021).
Meningkatkan jejaring kerja sama pemasaran dengan penyedia lokapasar (marketplace) dan perlahan mengubah manajemen bisnis ke arah daring perlu turut disadari oleh pelaku usaha kecil. Apalagi, kalangan inilah yang paling merasakan dampak ekonomi karena pandemi Covid-19.
Di tahun 2022, layanan pesan-antar makanan pun diprediksi akan terus dimanfaatkan oleh masyarakat. Momen isolasi diri di masa pandemi telah membentuk kebiasaan masyarakat untuk memanfaatkan teknologi yang memangkas jarak dan waktu untuk berbelanja kebutuhan hidup, termasuk makanan. (LITBANG KOMPAS)