Antisipasi Pasar Utama ”Melempem”, Kejar Perluasan Pasar Ekspor Nontradisional
Ekspor RI ke beberapa negara pasar nontradisional tumbuh signifikan sepanjang 2022. Ini bisa menjadi modal RI pada tahun ini di tengah melambatnya perdagangan dan ekonomi sejumlah negara tujuan utama ekspor.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Kesibukan aktivitas bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Senin (14/1/2019). Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola PT Pelindo II ini setidaknya melayani 300.000 peti kemas per bulan.
JAKARTA, KOMPAS — Sepanjang 2022, kinerja ekspor RI tumbuh impresif. Pada tahun ini, kinerja itu tetap perlu dijaga di tengah perlambatan ekonomi sejumlah negara mitra dagang dan gejolak harga komoditas global. Salah satu upayanya adalah mengejar perluasan pasar ekspor nontradisional.
Badan Pusat Statistik, Senin (16/1/2023), merilis, total ekspor RI selama Januari-Desember 2022 mencapai 291,98 miliar dollar AS, sementara total impornya 237,52 miliar dollar AS. Hal itu membuat neraca perdagangan RI tahun lalu surplus 54,46 miliar dollar AS.
Ekspor nonmigas berkontribusi paling besar, yakni 94,51 persen dari total ekspor sepanjang 2022. Kenaikan harga komoditas pangan dan energi, terutama batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO), menjadi penopang utama. Kontribusi bahan bakar mineral, serta lemak dan minyak hewani/nabati terhadap ekspor RI masing-masing sebesar 54,98 miliar dollar AS (19,92 persen) dan 35,2 miliar dollar AS (12,76 persen).
Tiga besar negara penyumbang surplus perdagangan RI sepanjang 2022 adalah Amerika Serikat, India, dan Filipina. Sementara negara-negara yang berkontribusi besar terhadap defisit perdagangan RI adalah Australia, Thailand, dan China.
Kenaikan harga komoditas pangan dan energi, terutama batubara dan minyak kelapa sawit mentah (CPO), menjadi penopang utama.
BPS juga menunjukkan, ekspor Indonesia di sejumlah negara nontradisional juga tumbuh signifikan. Hal itu bisa menjadi modal bagi RI untuk menjaga kinerja ekspor pada tahun ini di tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global dan melambatnya perekonomian sejumlah mitra dagang utama RI.
Kepala BPS Margo Juwono mengatakan, negara-negara pasar ekspor tradisional, seperti China, Amerika Serikat, India, dan Jepang, masih berkontribusi besar terhadap ekspor RI. Namun, ekspor RI ke sejumlah negara-negara pasar ekspor nontradisonal juga ada yang tumbuh impresif.
Pada 2021, sebanyak 56 negara bukan pasar utama dari 240 negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia menyumbang ekspor nasional kurang dari 1 juta dollar AS. Pada 2022, ekspor RI ke sejumlah negara tersebut meningkat cukup signifikan.
Ekspor RI ke Bhutan, misalnya, naik 67,39 juta dollar AS, ke Botswana naik 3,72 juta dollar AS, ke Chad naik 1,4 juta dollar AS, ke Aruba naik 1,12 juta dollar AS, dan ke Kepulauan Virgin naik 820.000 dollar AS. Produk-produk ekspor RI ke negara tersebut antara lain mesin dan perlengkapan elektrik, perlengkapan mekanis, kendaraan dan bagiannya, dan farmasi.
”Ke depan, upaya memperluas pasar nontradisonal ini diharapkan terus berlanjut sehingga dapat meningkatkan produksi dalam negeri sekaligus memperkuat perekonomian. Perluasan pasar ekspor tersebut penting agar RI tidak bergantung pada pasar-pasar tradisional,” kata Margo dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Ke depan, upaya memperluas pasar nontradisonal ini diharapkan terus berlanjut sehingga dapat meningkatkan produksi dalam negeri sekaligus memperkuat perekonomian. Perluasan pasar ekspor tersebut penting agar RI tidak bergantung pada pasar-pasar tradisional.
Laporan Bank Dunia tentang Prospek Ekonomi Global Edisi Januari 2023 yang dirilis pada 10 Januari 2023 menyebutkan, risiko resesi global akan semakin nyata tahun ini. Pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 dipangkas dari 3 persen menjadi 1,7 persen.
Ekonomi negara-negara maju diperkirakan hanya tumbuh 0,5 persen, jauh di bawah tahun lalu yang sebesar 2,5 persen. Ekonomi Amerika Serikat diprediksi merosot ke 0,5 persen dan Eropa 0 persen. Sementara itu, ekonomi China diperkirakan jatuh ke 4,3 persen.
Perlambatan ekonomi global tersebut akan berimbas pada melandainya laju perdagangan global menjadi 1,6 persen pada 2023. Pertumbuhan tersebut jauh lebih rendah dari perkiraan pada 2022 yang sebesar 4 persen.
Selain itu, kendati tren harga komoditas global mulai turun meskipun masih lebih dari sebelum pandemi Covid-19, gejolak harganya masih berpotensi terjadi. Depresiasi nilai tukar mata uang setiap negara terhadap dollar AS juga akan meningkatkan biaya komoditas dan produk impor.
”Mengingat kondisi ekonomi yang rapuh, setiap perkembangan baru yang merugikan, seperti inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan, kenaikan suku bunga yang tiba-tiba untuk menahan inflasi, meluasnya kembali pandemi, dan meningkatnya ketegangan geopolitik, dapat mendorong ekonomi global ke dalam resesi,” sebut Bank Dunia dalam laporan itu.
Seorang pekerja menunjukkan jenis kedelai impor yang dijual di sentra pembuatan tahu di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, Selasa (8/11/2022). Pemerintah melalui Perum Bulog mengimpor kedelai sebanyak 350.000 ton untuk menurunkan kenaikan harga kedelai impor yang turut mempengaruhi harga tahu dan tempe.
Dampak masih tingginya harga komoditas global itu masih dirasakan Indonesia. Salah satu contohnya adalah kedelai. Kedelai impor yang semula bisa dibeli di pasar dalam negeri seharga Rp 10.000-Rp 11.000 per kilogram, harganya pada 1-13 Januari 2023 bertahan di level Rp 15.200 per kg.
Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri, pemerintah meminta Perum Bulog mengimpor kedelai sebanyak 350.000 ton. Sebagian kedelai impor asal AS, yakni sebanyak 56.000 ton, telah tiba di Krakatau International Port, Cilegon, Banten, Minggu (15/1/2023). Kedelai tersebut diimpor Perum Bulog melalui perusahaan swasta.
”Kedelai impor tersebut akan dijual Rp 12.000 per kg sehingga tidak memberatkan para pelaku usaha. Harga tersebut juga mengacu kepada harga acuan penjualan (HAP) yang ditetapkan Badan Pangan Nasional,” kata Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi.
Peraturan Badan Pangan Nomor 11 Tahun 2022 tentang HAP di Tingkat Konsumen untuk Komoditas Kedelai, Bawang Merah, Cabai Rawit Merah, Cabai Merah Keriting, Daging Sapi/Kerbau, dan Gula Konsumsi. HAP kedelai lokal di tingkat konsumen ditetapkan Rp 11.400 per kg, sedangkan kedelai impor Rp 12.000 per kg.
Sementara itu, di sektor logistik laut, arus peti kemas penopang perdagangan luar dan dalam negeri tetap tumbuh meski masih lambat. PT Pelindo Terminal Petikemas mencatat, total volume peti kemas sepanjang 2022 mencapai 11,16 juta TEUs atau tumbuh 1,08 persen dibandingkan 2021 yang sebesar 11,04 juta TEUs.
Dari jumlah itu, total volume peti kemas luar negeri mencapai 3,48 juta TEUs atau tumbuh 2,04 persen secara tahun. Adapun total volume peti kemas dalam negeri sebesar 7,67 juta TEUs, tumbuh 0,65 persen secara tahunan.
Sekretaris Perusahaan PT Pelindo Terminal Petikemas Widyaswendra mengatakan, capaian arus peti kemas sepanjang 2022 itu sedikit di bawah target yang telah ditetapkan, yakni 11,65 juta TEUs. Banyak faktor yang memengaruhi tidak tercapainya target itu, seperti dampak perang Rusia-Ukraina, penutupan pelabuhan di China untuk mengendalikan pandemi, dan cuaca buruk di perairan nasional.
”Kami memprediksi arus peti kemas pada 2022 akan naik 5-7 persen dari 2021. Namun, realisasinya hanya 1,08 persen. Pada tahun ini, kami menargetkan bisa mendongkrak volumenya menjadi 11,53 juta TEUs,” ujarnya melalui siaran pers.
Salah satu upayanya, kata Widyaswendra, meningkatkan produktivitas dengan mengurangi waktu singgah dan digitalisasi sistem operasi terminal peti kemas. Khusus untuk peningkatan arus peti kemas luar negeri, perusahaan akan menyediakan terminal yang berfungsi sebagai pusat perpindahan barang atau transhipment hub.