Perlambatan Ekonomi Sejumlah Negara Mulai Pengaruhi Kinerja Ekspor RI
Penurunan kinerja ekspor RI bulan lalu tidak hanya dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas global. Perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor utama juga berpengaruh besar terhadap penurunan ekspor tersebut.
Oleh
Hendriyo Widi
ยท4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (23/9/2021).
JAKARTA, KOMPAS - Kinerja ekspor Indonesia pada September 2022 turun 10,99 persen secara bulanan. Perlambatan ekonomi sejumlah negara tujuan ekspor utama dan penurunan harga komoditas global menjadi penyebabnya.
Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (17/10/2022), merilis, ekspor Indonesia pada September 2022 mencapai total 24,8 miliar dollar AS atau turun 10,99 persen secara bulanan. Ekspor nonmigas juga turun 10,31 persen secara bulanan menjadi 23,48 miliar dollar AS.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Setianto mengatakan, penurunan nilai ekspor tersebut disebabkan oleh penurunan ekspor komoditas unggulan, yakni besi baja dan minyak kepala sawit mentah (CPO). "Penurunan ekspor Indonesia juga disebabkan oleh penurunan permintaan dan harga komoditas di pasar global," ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Penurunan ekspor Indonesia juga disebabkan penurunan permintaan dan harga komoditas di pasar global.
BPS menunjukkan, harga CPO global pada September 2022 turun 11,37 persen secara bulanan dan 23,03 persen secara tahuhan menjadi 909,32 dollar AS per ton. Volume ekspor CPO Indonesia juga turun dari 3,6 juta ton pada Agustus 2022 menjadi 2,55 juta ton pada September 2022.
Begitu juga besi baja. Harganya turun dari 108,85 dollar AS per ton pada Agustus 2022 menjadi 99,8 dollar AS per ton. Volume ekspor komoditas itu selama kurun Agustus-September 2022 juga turun dari 1,35 juta ton menjadi 1,26 juta ton.
Hanya batubara yang harga dan volumenya masih bertahan tinggi. Harga batubara pada September 2022 mencapai 321,5 dollar AS per ton, naik dari Agustus 2022 yang berada di level 290 dollar AS per ton. Volume ekspor batubara pada Agustus-September 2022 juga naik dari 32,8 juta ton menjadi 33,2 juta ton.
"Hal ini ditopang oleh kenaikan permintaan dari China dan sejumlah negara di Eropa yang tengah mengalami krisis energi akibat imbas perang Rusia-Ukraina," kata Setianto.
Ekspor batubara ke China naik 41,19 persen dari 672,19 juta dollar AS pada Agustus 2022 menjadi 949,08 juta dollar AS pada September 2022. Pada Juli-September 2022, ekspor batubara ke kawasan Eropa juga naik cukup signifikan. Nilai ekspornya melonjak dari 95,66 juta dollar AS pada Juli 2022 menjadi 161,69 juta dollar AS pada September 2022.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Irman Faiz berpendapat, penurunan kinerja ekspor Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas global. Perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor utama, seperti Amerika Serikat dan China, juga berpengaruh besar terhadap penurunan kinerja ekspor Indonesia.
Berdasarkan data BPS, nilai ekspor RI ke Uni Eropa pada Agustus-September 2022 turun atau minus 21,47 persen, India -29,23 persen, Amerika Serikat -18,26 persen, Jepang -2,53 persen, dan China -0,09 persen.
Penurunan kinerja ekspor Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh penurunan harga komoditas global. Perlambatan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor utama, seperti Amerika Serikat dan China, juga berpengaruh besar terhadap penurunan kinerja ekspor Indonesia.
Pekerja menimbang tandan buah segar kelapa sawit di Desa Kuala Air Hitam, Kecamatan Selesai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Kamis (14/2/2019).
Menurut Irman, perlambatan ekonomi dan penurunan harga komoditas global itu diperkirakan akan memengaruhi kinerja ekspor Indonesia hingga tahun depan. Kendati demikian, neraca perdagangan hingga akhir tahun ini masih akan surplus sehingga dapat berkontribusi untuk menjaga fundamen nilai tukar rupiah.
Pada September 2022, neraca perdagangan RI surplus sebesar 4,99 miliar dollar AS. Hal itu membuat surplus neraca perdagangan Januari-September 2022 semakin bertambah menjadi 39,87 miliar dollar AS.
Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan, ekonomi China diperkirakan tumbuh 3,2 persen pada 2022 dan 4,4 persen pada 2023. Angka itu jauh di bawah pertumbuhan ekonomi pada 2021 yang mencapai 8,1 persen.
Ekonomi Amerika Serikat juga diperkirakan bakal tumbuh 1,6 persen pada 2022 dan 1 persen pada 2023. Turun drastis dari pertumbuhan ekonomi pada 2021 yang sebesar 5,7 persen. Sementara perekonomian kawasan Eropa pada 2022 dan 2023 diperkiran tumbuh masing-masing 3,1 persen dan 0,5 persen, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi pada 2021 yang sebesar 5,2 persen.
Pada 5 Oktober 2022, Organisasi Pedagangan Dunia (WTO) menyebutkan, perdagangan dunia akan kehilangan momentum pada paruh kedua tahun ini meskipun masih tumbuh baik. Namun, pada tahun depan, perdagangan dunia akan mengalami guncangan yang cukup besar akibat beban ekonomi yang dialami negara-negara di dunia.
Proyeksi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tentang Pertumbuhan Ekonomi dan Volume Perdagangan Global pada 2022 dan 2023.
Pada 2022, WTO memproyeksikan volume perdagangan global masih tumbuh 3,5 persen, lebih baik dari perkiraan April 2022 yang diperkirakan hanya tumbuh 3 persen. Namun pada 2023, volume perdagangan global diperkirakan hanya tumbuh 1 persen, turun drastis dari perkirakaan sebelumnya yang sebesar 3,4 persen. WTO juga mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2022 dan 2023 dari 3,2 persen masing-masing menjadi 2,8 persen dan 2,3 persen.
Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, permintaan impor diperkirakan akan melemah karena pertumbuhan di negara-negara ekonomi utama melambat karena berbagai faktor, Di Eropa, harga energi yang tinggi akibat perang Rusia-Ukraina akan menekan pengeluaran rumah tangga dan meningkatkan biaya produksi.
Di Amerika Serikat, pengetatan kebijakan moneter akan menekan pengeluaran yang sensitif terhadap kenaikan suku bunga, seperti di sektor perumahan, kendaraan bermotor, dan investasi tetap. Adapun China, masih bergelut dengan kebijakan nol Covid-19 yang menyebabkan produksi terganggu dan permintaan melemah.
โKondisi tersebut menunjukkan perdagagnan terbebani oleh beberapa guncangan, seperti perang di Ukraina, harga energi yang tinggi, inflasi, dan pengetatan moneter. Hal itu masih diperparah dengan restriksi ekspor sejumlah komoditas yang dilakukan sejumlah negara,โ ujarnya melalui siaran pers.