Surplus Neraca Perdagangan RI Pelan-pelan Bisa Tergerus
Surplus neraca perdagangan RI diperkirakan bakal semakin susut hingga akhir tahun ini. Selama ini, surplus neraca perdagangan itu lebih banyak ditopang kenaikan harga komoditas, sedangkan volumenya tumbuh stagnan.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pusat Statistik mengingatkan, surplus neraca perdagangan Indonesia pelan-pelan bisa tergerus. Faktor penyebabnya adalah mulai berakhirnya windfall sejumlah komoditas, stagflasi, dan konflik geopolitik sejumlah negara mitra dagang utama Indonesia serta membengkaknya impor minyak dan gas bumi.
Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (15/8/2022), merilis, pada Juli 2022, neraca perdagangan RI surplus 4,23 miliar dollar AS. Surplus tersebut melanjutkan tren surplus berturut-turut selama 27 bulan terakhir atau sejak Mei 2022. Namun, surplus neraca itu susut dari Juni 2022 yang sebesar 5,15 miliar dollar AS.
Penyusutan surplus dipengaruhi oleh penurunan ekspor dan kenaikan impor. Ekspor Juli 2022 tercatat turun 2,2 persen secara bulanan menjadi 25,57 miliar dollar AS dan impor meningkat 1,64 persen secara bulanan menjadi 21,35 miliar dollar AS.
Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa BPS Setianto mengatakan, nilai ekspor pada Juli 2022 turun akibat sejumlah faktor. Pertama, harga sejumlah komoditas global, seperti minyak kelapa sawit mentah (CPO), minyak mentah, dan nikel turun.
Hanya batubara dan gas alam yang harganya masih tinggi. Penurunan sejumlah harga komoditas itu, terutama CPO dan minyak mentah, menandai mulai berakhirnya windfall atau ”durian runtuh”.
”Hal ini perlu diwaspadai karena akan berpengaruh pada neraca perdagangan ke depan. Selama ini, surplus neraca perdagangan RI lebih banyak ditopang oleh kenaikan harga komoditas, sedangkan volume stagnan,” kata Setianto.
Selama ini, surplus neraca perdagangan RI lebih banyak ditopang kenaikan harga komoditas, sedangkan volume stagnan.
BPS menunjukkan, pada periode awal 2020-Juli 2022, harga batubara global bergerak dari di bawah 100 dollar AS per ton menjadi 360,4 dollar AS per ton. Namun, volume ekspornya stagnan di kisaran 20-33,5 juta ton per bulan.
Begitu juga CPO yang ekspornya berkontribusi sekitar 15 persen dari total ekspor. Harganya bergerak dari kisaran 500-1.000 dollar AS per ton pada 2020 menjadi kisaran 1.000-1.800 dollar AS pada Januari-Juli 2022. Adapun volumenya bergerak di kisaran 1,5-2 juta ton.
Faktor kedua, lanjut Setianto, perlambatan ekonomi yang dibarengi inflasi tinggi yang mendera negara mitra dagang utama RI, seperti China, Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. China, misalnya, yang berkontribusi terhadap ekspor RI sebesar 23,21 persen, perekonomian hanya tumbuh 0,4 persen pada triwulan II-2022. Ekspor nonmigas RI ke China pada Juli 2022 turun 1,27 persen secara bulanan.
Faktor ketiga adalah konflik geopolitik China-Taiwan. Kedua negara itu merupakan mitra dagang strategis Indonesia. Kontribusi ekspor Indonesia ke China dan Taiwan masing-masing sebesar 23,21 persen dan 3 persen dari total ekspor pada 2021.
”Komoditas ekspor utama RI ke China adalah bahan bakar mineral, besi dan baja, serta lemak dan minyak hewan/nabati, sedangkan ke Taiwan adalah mesin dan pesawat mekanik, mesin atau peralatan listrik, serta besi dan baja,” ujarnya.
Impor migas naik
BPS juga menyebutkan, surplus neraca perdagangan juga tergerus oleh peningkatan impor minyak dan gas bumi (migas). Sepanjang Januari-Juli 2022, impor minyak mentah mencapai 14,37 miliar dollar AS, naik 97,71 persen dari periode yang sama 2021.
Setianto menjelaskan, lonjakan impor itu dipengaruhi oleh harga minyak mentah dan permintaan domestik yang masih tinggi. Pada periode Januari-Juli 2022, Indonesia mengimpor minyak mentah sebanyak 14,3 juta ton, naik 17,63 persen secara tahunan. Demikian pula impor elpiji yang nilainya naik 49,64 persen secara tahunan menjadi 3,12 miliar dollar AS dan volumenya tumbuh 4,94 persen secara tahunan menjadi 3,9 juta ton.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Irman Faiz, berpendapat, surplus neraca perdagangan diperkirakan semakin menyempit hingga akhir tahun. Hal itu seiring dengan penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global.
Namun, akumulasi surplus neraca perdagangan sepanjang tahun ini akan menjaga defisit transaksi berjalan (CAD) tidak terlalu melebar di sekitar 0,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Surplus neraca perdagangan Januari-Juli 2022 mencapai 29,17 miliar dollar AS atau hampir dua kali lipat surplus Januari-Juli 2021 yang sebesar 15,95 miliar dollar AS.
”Oleh karena itu, rupiah masih cukup tangguh menghadapi tekanan eksternal dari pengetatan kebijakan moneter global dan meningkatnya ketidakpastian geopolitik. Meskipun begitu, RI tetap perlu mewaspadai pengaruh susutnya surplus neraca perdagangan terhadap cadangan devisa,” kata Irman.
Surplus neraca perdagangan diperkirakan semakin menyempit hingga akhir tahun. Hal itu seiring dengan penurunan harga komoditas dan perlambatan ekonomi global.
Bank Indonesia (BI) mencatat, cadangan devisa Indonesia pada akhir Juli 2022 mencapai 132,2 miliar dollar AS. Cadangan devisa itu turun 4,2 miliar dollar AS dari akhir Juni 2022 yang sebesar 136,4 miliar dollar AS. Penurunan cadangan devisa itu, antara lain, disebabkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebutuhan menstabilkan nilai tukar rupiah.
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor atau 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Jumlah cadangan devisa itu masih berada di atas standar kecukupan internasional sekitar tiga bulan impor.
Irman menambahkan, pelemahan pertahanan lapis pertama (first line of defense) itu akan meningkatkan tekanan bagi BI untuk menyesuaikan suku bunga kebijakan di saat tekanan eksternal meningkat. Namun, lantaran inflasi inti domestik masih di bawah ambang batas dan dollar AS tengah dalam tren melemah, BI diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga acuan pada Agustus 2022.