Ekonomi Dunia Bisa Turun Tajam, RI Perlu Berjaga-jaga
Daya tahan ekonomi RI terhitung kuat di ambang resesi global. Namun, potensi efek rambatan dari melemahnya ekonomi negara-negara maju tetap perlu diwaspadai. Kebijakan fiskal yang fleksibel bisa menjadi andalan.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Bank Dunia mempoyeksikan pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini turun tajam menjadi 1,7 persen dari sebelumnya 3 persen. Meski demikian, ekonomi Indonesia dinilai tetap tumbuh positif sebesar 4,8 persen. Untuk menjaga ekonomi domestik dari efek tekanan global itu, fleksibilitas dalam mengelola fiskal dibutuhkan di tengah berlanjutnya tren pengetatan moneter.
Laporan Global Economic Prospects edisi Januari 2023 yang dirilis Bank Dunia, Selasa (10/1/2023), menilai, risiko resesi global akan semakin nyata tahun ini. Pertumbuhan ekonomi dunia pada 2023 pun dipangkas dari proyeksi laporan sebelumnya pada Juni 2022 sebesar 3 persen menjadi 1,7 persen.
Jika resesi yang dikhawatirkan itu terjadi, ini akan menjadi pertama kalinya dalam 80 tahun terakhir di mana dunia mengalami resesi sebanyak dua kali dalam satu dekade yang sama.
Inflasi meroket, kenaikan suku bunga yang tinggi, laju investasi yang merosot, dan disrupsi ekonomi akibat invasi Rusia ke Ukraina, menambah risiko pelambatan. Untuk saat ini, ekonomi negara maju terkena imbas pelambatan paling signifikan, dengan pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi hingga 95 persen.
Laporan itu memprediksi, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju tahun ini hanya tumbuh 0,5 persen, jauh di bawah tahun lalu, yaitu 2,5 persen. Ekonomi Amerika Serikat diprediksi merosot ke 0,5 persen dan Eropa 0 persen. Sementara itu, ekonomi China diperkirakan jatuh ke 4,3 persen.
Pelambatan di negara berkembang diyakini tidak sedrastis di negara maju dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi dipangkas 70 persen. Namun, dampak yang dirasakan bakal lebih panjang. Pada akhir 2024, level pertumbuhan ekonomi negara berkembang diperkirakan berada 6 persen di bawah kondisi pra-pandemi, meski kondisi ekonomi global pada titik itu diperkirakan sudah mulai membaik.
”Negara berkembang akan menghadapi periode pelambatan ekonomi yang panjang akibat beban utang dan investasi yang melemah. Apalagi, aliran modal global akan lebih banyak terserap ke negara-negara maju yang juga sedang menghadapi krisis kenaikan suku bunga dan beban utang tinggi,” kata Presiden World Bank Group David Malpass dalam keterangannya, dikutip pada Rabu (11/1/2023).
Di tengah gejolak itu, Indonesia masih diyakini tumbuh positif di level 4,8 persen, sama dengan proyeksi versi Desember 2022, meski melambat dari proyeksi versi Juni 2022, yaitu 5,2 persen. Berkat fundamental makro ekonomi yang sehat dan reformasi struktural di bidang administrasi dan kebijakan perpajakan, laju konsumsi rumah tangga diyakini tetap lancar dan optimisme dunia usaha tetap terjaga.
Jika resesi yang dikhawatirkan itu terjadi, ini akan menjadi pertama kalinya dalam 80 tahun terakhir di mana dunia mengalami resesi sebanyak dua kali dalam satu dekade yang sama.
Fleksibilitas fiskal
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet membenarkan, daya tahan ekonomi Indonesia memang terhitung kuat, khususnya selama konsumsi rumah tangga bisa terus terjaga. Namun, potensi efek pelambatan ekonomi global itu tetap perlu diwaspadai.
Pertama, kenaikan inflasi yang bisa berlanjut di dalam negeri akibat efek tingginya inflasi di AS. Kebijakan pengetatan moneter yang dilakukan AS untuk mengontrol inflasi di negaranya itu akan berdampak pada kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia. Ini menjadi tantangan ketika pemerintah pun masih berusaha menekan inflasi kembali ke level normal.
Kondisi itu dikhawatirkan bisa menekan ekonomi domestik. ”Kalau suku bunga acuan meningkat, ongkos pembiayaan lebih mahal. Masyarakat bisa jadi ragu berbelanja, dan lapangan usaha akan berpikir dua kali untuk melakukan ekspansi tahun ini,” ujarnya.
Kedua, melesunya ekonomi China selaku mitra dagang utama Indonesia, yang akan berdampak pada menurunnya kinerja ekspor serta melandainya harga komoditas yang selama ini memberi ”keuntungan” bagi perekonomian Indonesia.
”Windfall yang tidak akan terulang itu akan menekan kinerja penerimaan negara, sementara kita butuh kapasitas fiskal yang kuat. Jadi, kita memang tahan banting, tetapi tetap harus berjaga-jaga,” kata Yusuf.
Di tengah risiko itu, fleksibilitas pemerintah dalam mengelola fiskal dibutuhkan untuk menjadikan APBN sebagai instrumen peredam guncangan saat krisis. Tahun ini, pemerintah sudah memasang target defisit fiskal 2,84 persen dari produk domestik bruto (PDB), kembali ke batas defisit di bawah 3 persen.
Menurut Yusuf, pemerintah bisa fleksibel dan memperlebar defisit itu jika dukungan fiskal yang lebih besar kelak dibutuhkan, asalkan di bawah 3 persen. ”Kalau ternyata kita perlu dukungan fiskal tambahan, tidak masalah kalau defisit sedikit diperlebar. Masih ada ruang 0,16 persen untuk itu,” katanya.
Fleksibilitas fiskal semakin dibutuhkan di tengah tren pengetatan moneter yang kemungkinan berlanjut akibat pelambatan ekonomi AS dan negara maju. ”Jangan sampai moneter mengetat, fiskal juga mengetat. Salah satu harus lebih longgar, dan instrumen fiskal lebih memungkinkan untuk disesuaikan,” ujar Yusuf.
Menjaga penerimaan
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo mengatakan, pemerintah akan berusaha menjaga momentum penerimaan negara dari perpajakan tahun ini dengan melanjutkan langkah reformasi pajak yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). ”Antara lain, integrasi Nomor Induk Kependudukan (NIK) dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang bisa memberikan data lebih valid mengenai wajib pajak di Indonesia,” kata Suryo.
Fleksibilitas fiskal semakin dibutuhkan di tengah tren pengetatan moneter yang kemungkinan berlanjut akibat pelambatan ekonomi AS dan negara maju.
Ada pula langkah perluasan basis pajak, seperti mengoptimalkan pajak digital, menambah obyek pajak melalui pajak atas natura bagi pegawai berpenghasilan menengah-atas, serta perubahan lapisan tarif pajak penghasilan (PPh) Orang Pribadi untuk menuntut kontribusi pajak yang lebih tinggi dari masyarakat menengah-atas, termasuk kelompok super kaya.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, pemerintah sejauh ini belum berencana untuk merevisi target penerimaan pajak. Tahun ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak senilai Rp 1.718 triliun, atau hanya tumbuh 0,07 persen dari tahun lalu akibat basis baseline yang tinggi. ”Tetapi ini akan kami evaluasi lagi seperti apa kondisinya selama triwulan I,” katanya.