Menyiagakan Jangkar dan Sekoci Ekonomi
Pertaruhan terbaik di saat krisis adalah kesiapan dari dalam. Jangkar disiplin fiskal yang kuat, pembagian sekoci subsidi sesuai prioritas, dan kepekaan pemerintah untuk mengesampingkan dulu belanja yang tidak mendesak.
Ilustrasi
Kondisi ekonomi negara hari-hari ini ibarat kapal yang sedang berlayar di lautan bergejolak. Setiap negara memerlukan kondisi fiskal atau keuangan yang sehat sebagai ‘jangkar’ untuk mencegah kapal terguling meski dihantam hempasan ombak yang tak terduga.
Ini bukan perumpamaan baru. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berkali-kali memakai permisalan ini untuk menjelaskan alasan di balik keputusan pemerintah menerapkan disiplin fiskal pada tahun 2023, alias kembali menekan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di bawah 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
“Saat market lagi turbulensi, kalau kita tidak punya jangkar disiplin fiskal yang kuat, bahkan ekonomi sekuat Inggris pun ngglimpang (jatuh),” kata Sri Mulyani dalam Kompas100 CEO Forum, awal Desember 2022.
Baca juga: Defisit Fiskal Ditekan Lebih Awal
Pada dasarnya, kebijakan anggaran suatu negara bisa berupa defisit, surplus, atau berimbang. Kebijakan fiskal defisit (ekspansif) terjadi ketika pemerintah dengan sengaja menetapkan belanja lebih besar dari penerimaan negara.
Sebaliknya, kebijakan fiskal surplus (kontraktif) dilakukan dengan menahan belanja agar lebih kecil dari pendapatan. Sementara itu, kebijakan fiskal berimbang terjadi ketika belanja ditetapkan setara dengan pendapatan negara.
Mayoritas negara menggunakan rezim defisit untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi tertentu lewat belanja pemerintah yang diperbesar.
Indonesia sendiri sudah menganut sistem defisit anggaran sejak awal kemerdekaan. Dulu, defisit terjadi karena pengeluaran besar di bidang militer untuk mempertahankan kemerdekaan RI dan meredam pergolakan di daerah.
Pada era Orde Baru, Indonesia sempat menerapkan kebijakan fiskal berimbang. Namun, sebagian besar pendapatan negara saat itu ternyata bersumber dari utang luar negeri, yang dalam APBN dianggap sebagai bagian dari penerimaan negara dan disebut dengan istilah “penerimaan pembangunan”.
Pascakrisis ekonomi 1997-1998, seperti diatur di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengelolaan kas negara dibenahi besar-besaran. Utang tidak lagi dikategorikan sebagai penerimaan, melainkan sumber pembiayaan anggaran negara. Besaran defisit APBN pun ditetapkan maksimal tiga persen dan utang maksimal 60 persen dari PDB.
Pascakrisis ekonomi 1997-1998, seperti diatur di Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pengelolaan kas negara dibenahi besar-besaran.
Batas itu dibutuhkan, mengingat defisit anggaran punya risiko besar jika tidak dikelola dengan baik. Sistem "besar pasak daripada tiang" memerlukan pendanaan besar, salah satunya dari utang. Belajar dari pengalaman Orde Baru, batas defisit di bawah 3 persen ditetapkan untuk mencegah negara berutang terlalu banyak.
Selama pandemi Covid-19, demi memaksimalkan peran APBN untuk mengatasi krisis, batas itu mau tidak mau dilonggarkan. Pemerintah pun menerbitkan aturan baru bahwa defisit bisa diperlebar di atas 3 persen. Pada tahun 2020, realisasi defisit fiskal mencapai 5,78 persen dan pada 2021 menyentuh 4,65 persen. Utang negara selama pandemi pun meningkat hingga hampir 50 persen.
Ditekan lebih awal
Untuk kembali menyehatkan APBN, pemerintah menargetkan defisit harus balik ke bawah 3 persen pada 2023. Ternyata, faktor pandemi yang kian terkendali, meningkatnya pemasukan negara akibat tren kenaikan harga komoditas, dan surplus neraca perdagangan sepanjang tahun 2022 membuat defisit itu mampu ditekan lebih cepat.
Sampai 14 Desember 2022, defisit APBN tercatat hanya 1,22 persen, jauh di bawah target defisit 4,5 persen dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 tentang APBN 2022. Sebelumnya, selama sembilan bulan berturut-turut, APBN bahkan mencatat surplus. Defisit baru terjadi pada Oktober 2022, yakni 0,91 persen terhadap PDB.
Pemerintah pun dapat mengurangi porsi utang atau pembiayaan anggaran menjadi Rp 469,8 triliun, jauh di bawah asumsi awal Rp 840,2 triliun. Setelah dipakai untuk menutup defisit sebesar 1,22 persen atau Rp 237,7 triliun, sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) yang terakumulasi menjelang akhir tahun 2022 pun mencapai Rp 232,2 triliun.
Sampai 14 Desember 2022, defisit APBN tercatat hanya 1,22 persen, jauh di bawah target defisit 4,5 persen dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2022 tentang APBN 2022.
Di satu sisi, dengan defisit terjaga rendah, akumulasi SiLPA dan SAL (saldo anggaran lebih) yang dicapai cukup besar sebagai dana cadangan (cash buffer) untuk tahun 2023. Ini memudahkan transisi kas negara menuju kondisi perekonomian tahun ini yang diprediksi semakin melambat.
Baca juga: Pelan-Pelan Normalisasi Stimulus Fiskal
Dana cadangan itu bisa dipakai untuk “menambal” kebutuhan belanja pemerintah, di tengah penerimaan negara yang bakal turun seiring berakhirnya tren kenaikan harga komoditas dan melambatnya kinerja ekspor akibat kondisi ekonomi global yang memburuk.
Namun, dana cadangan yang berasal dari utang perlu dikelola dengan hati-hati karena ada beban bawaan dalam bentuk tanggungan cost of fund atau beban pembayaran bunga utang pemerintah di APBN berikutnya. Pembayaran bunga utang pemerintah dalam APBN 2023 tercatat cukup tinggi, yaitu Rp 441,4 triliun, setara dengan 14,5 persen dari total belanja negara. Beban ini berpotensi semakin berat karena efek depresiasi nilai tukar rupiah.
Sekoci
Oleh karena itu, meski ada “uang lebih” yang terkumpul, penggunaannya tidak bisa serampangan. Kembali ke metafora berlayar di tengah badai, APBN tak cukup hanya jadi jangkar. Ia juga perlu menjadi ‘sekoci’ penyelamat ketika kapal limbung. Masalahnya, tidak semua bisa diselamatkan karena sekoci terbatas.
Baca juga: Resesi Global dan Pilihan Kebijakan
Di tengah kondisi itu, ruang fiskal tambahan yang ada tetap perlu dibelanjakan secara selektif sesuai skala prioritas. Dalam situasi ekonomi global yang semakin tidak pasti, belanja APBN harus lebih tajam diarahkan untuk memperkuat perekonomian domestik. Misalnya, menambah program perlindungan sosial dan menjaga daya beli masyarakat menengah-bawah yang rentan terhadap guncangan ekonomi sekecil apapun.
Ruang fiskal tambahan yang ada tetap perlu dibelanjakan secara selektif sesuai skala prioritas.
Insentif untuk memancing permintaan warga menengah-atas juga bisa diberikan, mengingat konsumsi yang menggerakkan ekonomi mayoritas berasal dari kelompok ini. Namun, perlu dipastikan insentif itu ditujukan ke sektor dengan efek pengganda (multiplier) tinggi.
Wacana yang kurang mendesak, seperti rencana pemberian subsidi pembelian mobil dan motor listrik, seharusnya bisa ditunda di tengah keterbatasan fiskal. Apalagi, ekosistem industri kendaraan listrik di dalam negeri belum terbentuk sehingga efek penggandanya dalam menggerakkan perekonomian domestik tidak akan maksimal.
Tahun ini, dunia diperkirakan akan menghadapi skenario badai yang 'sempurna' atau perfect storm akibat perlambatan ekonomi global, peningkatan inflasi, dan tingginya tensi geopolitik.
Kita bisa berharap keajaiban dari luar tiba-tiba terjadi. Amerika Serikat menghentikan kenaikan suku bunganya, dollar AS berhenti menguat dan rupiah melambung, perang Rusia-Ukraina berakhir, dan China kembali membuka ekonominya.
Akan tetapi, pertaruhan terbaik di saat krisis adalah kesiapan dari dalam. Jangkar disiplin fiskal yang kuat, pembagian sekoci subsidi sesuai prioritas, dan kemauan politik pemerintah untuk mengesampingkan dulu belanja yang tidak mendesak.
Baca juga: Ruang Fiskal Terbatas, Subsidi Motor Listrik Tidak Pas