Ekonomi Dunia Melambat, Indonesia Tidak Lepas dari Risiko
Tekanan berkelanjutan pada harga pangan, pupuk, energi, serta keresahan sosial menjelang tahun politik akan menjadi risiko utama bagi perekonomian Indonesia tahun depan.
Oleh
agnes theodora
·3 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Pembangunan gedung bertingkat di kawasan Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (18/11/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah terpaan krisis bertubi-tubi, ekonomi global diperkirakan semakin melambat tahun depan. Meski diyakini lolos dari resesi, Indonesia tidak lepas dari risiko pelambatan. Imbas gejolak ekonomi global perlu diantisipasi dengan memperkuat skenario subsidi guna menjaga daya beli masyarakat dan menjaga kenaikan suku bunga tetap moderat dan bertahap.
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporan terbaru edisi November 2022 memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia akan turun dari proyeksi 3,1 persen pada tahun ini menjadi 2,2 persen pada 2023, kemudian naik ke 2,7 persen pada 2024.
Pertumbuhan ekonomi dunia dinilai telah kehilangan momentum di tengah terpaan krisis bertubi-tubi pascapandemi dan Perang Rusia-Ukraina. Negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Eropa, akan mengalami perlambatan ekonomi paling tajam. Sebaliknya, negara ekonomi pasar berkembang (emerging markets) utama di Asia akan menyumbang nyaris tiga perempat dari pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global pada tahun depan.
Indonesia termasuk dalam negara berkembang yang prospek ekonominya masih relatif stabil di tengah gejolak ekonomi global. OECD memperkirakan, ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,3 persen tahun ini, melambat menjadi 4,7 persen tahun depan, dan kembali naik ke 5,1 persen pada 2024.
Meski demikian, Indonesia tidak lepas dari risiko. Tren kenaikan inflasi yang diperkirakan berlanjut serta upaya pengendaliannya yang belum optimal dapat menggerus daya beli masyarakat, menekan roda permintaan serta konsumsi domestik. Hal ini perlu diantisipasi mengingat dukungan dari kebijakan makro akan melemah tahun depan di tengah dampak pengetatan kebijakan moneter negara maju dan upaya menjaga defisit APBN sebesar 2,84 persen.
Bukan hanya faktor eksternal, laporan OECD juga menyoroti risiko turbulensi politik dan keresahan sosial menjelang Pemilihan Umum 2024 yang dapat menurunkan persepsi investor global terhadap stabilitas dan daya tahan perekonomian Indonesia.
”Tekanan berkelanjutan pada harga pangan, pupuk, energi, dan keresahan sosial menjelang tahun politik akan menjadi risiko utama bagi ekonomi Indonesia tahun depan,” demikian isi laporan yang dirilis pada Selasa (22/11/2022).
Tekanan berkelanjutan pada harga pangan, pupuk, energi, dan keresahan sosial menjelang tahun politik akan menjadi risiko utama bagi ekonomi Indonesia tahun depan.
Antisipasi
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, imbas kondisi resflasi global terhadap perekonomian domestik tetap perlu diantisipasi melalui instrumen fiskal dan moneter. Misalnya, memperkuat skenario subsidi untuk menjaga daya beli masyarakat dan menjaga agar kenaikan suku bunga tetap moderat dan bertahap.
”Sebisa mungkin juga bank sentral menjaga agar nilai tukar rupiah tidak terlalu terdepresiasi, ini akibatnya sangat buruk untuk dunia usaha,” katanya, Rabu (23/11/2022).
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)
Pengendara melintasi videotron bursa efek di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Kamis (5/8/2021).
Terkait subsidi, Tauhid menilai, harga bahan bakar minyak (BBM) kemungkinan besar tidak akan kembali dinaikkan. Kondisi tahun depan yang mulai marak dengan nuansa politik jelang pemilu akan membuat pemerintah menghindari kebijakan nonpopulis yang berpotensi membuat gaduh.
Di satu sisi, harga BBM yang stabil di pasaran akan menahan kenaikan inflasi. Di sisi lain, itu akan membebani anggaran subsidi BBM pada APBN 2023, di tengah ruang fiskal yang semakin sempit.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, meski kondisi ekonomi dalam negeri saat ini masih terkendali, pemerintah tetap mewaspadai imbas risiko ekonomi global tahun depan. ”Seberapa besar downside risk-nya kita cermati, bagaimana pertumbuhan ekonomi di akhir tahun dan bagaimana perkembangan gejolak ekonomi global memengaruhi faktor-faktor pertumbuhan kita,” katanya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Buruh di Pasar Senen, Jakarta Pusat, membongkar sayur mayur yang didatangkan dengan angkutan bak terbuka dari Sukabumi, Senin (24/10/2022).
Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, untuk menghadapi perlambatan ekonomi global tahun depan, Indonesia harus mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Sumber pertumbuhan baru itu, ujarnya, adalah hilirisasi industri yang akan memberi nilai tambah pada hasil pengolahan sumber daya alam. Selain itu, memperkuat keberadaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), khususnya untuk lebih mudah mengakses sumber finansial dan pasar, serta mengembangkan ekonomi hijau.
”Ini memang pekerjaan rumah besar, tetapi kalau bisa kita lakukan dengan baik dan terencana, ini bisa membuka sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru, ini kata kunci yang kita butuh untuk menyambut kondisi ekonomi dunia yang tidak pasti,” katanya.