Kendati Trennya Turun, Harga Pangan Dunia Cetak Rekor Tertinggi
FAO mencatat, rata-rata indeks harga pangan pada 2022 sebesar 143,7, tertinggi sejak indeks digulirkan pada 1990. Di sisi lain, RI memperkuat upaya pengadaan cadangan pangan pemerintah berupa beras, jagung, dan kedelai.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kendati mencetak rekor tertinggi dan trennya turun, harga pangan dunia masih lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19. Organisasi Pangan dan Pertanian atau FAO mengingatkan setiap negara tidak boleh lengah karena harga pangan masih berpotensi bergejolak pada tahun ini. Memitigasi potensi kerawanan pangan tetap perlu dilakukan.
Berdasarkan laporan FAO yang dirilis pada Jumat (6/1/2023), rata-rata indeks harga pangan dunia pada 2022 sebesar 143,7 atau 14,3 persen lebih tinggi dari rata-rata indeks pada 2021. Rata-rata indeks pada 2022 itu tertinggi sejak FAO menggulirkan indeks harga pangan pada 1990.
Sepanjang 2022, indeks harga pangan dunia juga terus turun selama sembilan bulan berturut-turut setelah mencapai titik tertinggi pada Maret 2022, yakni sebesar 159,7. Per Desember 2022, indeks harga pangan itu sebesar 132,4. Hal itu disebabkan penurunan tajam harga minyak nabati internasional bersamaan dengan penurunan harga serealia dan daging yang diimbangi kenaikan harga gula dan produk dari susu.
Kepala Ekonom FAO Maximo Torero mengatakan, tren penurunan harga pangan itu merupakan kabar baik bagi dunia setelah selama dua tahun harganya sangat fluktuatif. Kendati begitu, harga pangan tersebut masih tinggi.
”Penting bagi setiap negara tetap waspada dan fokus memitigasi kerawanan pangan global karena harga pangan dunia tetap tinggi. Hal itu mengingat banyak bahan pangan pokok mendekati bahkan mencetak rekor tertinggi, harga beras mulai meningkat, dan masih banyak risiko yang terkait dengan pasokan ke depan,” ujarnya di Roma, Italia, melalui siaran pers.
Rata-rata indeks harga pangan dunia pada 2022 sebesar 143,7 atau 14,3 persen lebih tinggi dari rata-rata indeks pada 2021. Rata-rata indeks pada 2022 itu tertinggi sejak FAO menggulirkan indeks harga pangan pada 1990.
Dalam laporan tersebut, FAO menyebutkan, harga gandum dunia mulai turun berkat Prakarsa Butir Laut Hitam setelah harga rata-ratanya mencapai rekor tertinggi baru pada 2022, yakni naik 15,6 persen dibandingkan 2021. Harga beras di Asia juga bertahan tinggi dan naik 2,9 persen akibat depresiasi nilai tukar mata uang negara-negara tersebut terhadap dollar AS.
Selain itu, harga gula juga naik akibat gangguan cuaca di India dan penundaan musim giling tebu di Thailand dan Australia. Indeks harga gula pada Desember 2022 sebesar 118,2 atau naik 2,4 persen dibandingkan November 2022. Hal itu merupakan kenaikan indeks harga gula bulanan kedua berturut-turut dan mencapai level tertinggi dalam enam bulan terakhir.
Gejolak harga komoditas-komoditas tersebut masih berpontesi terjadi pada tahun ini lantaran perang Rusia-Ukraina masih berlanjut, serta potensi terjadinya resesi tiga ekonomi besar dunia, yakni Amerika Serikat, China, dan Uni Eropa.
Untuk mengantisipasi kenaikan harga dan menjaga stabilitas stok pangan pada tahun ini, Indonesia mulai memperkuat cadangan pangan pemerintah (CPP). Pengadaan CPP itu dilakukan dengan menyerap hasil panen tanaman pangan di dalam negeri dan impor.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menuturkan, berdasarkan rapat koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Indonesia akan mengimpor sejumlah bahan pangan untuk menjaga stok pangan tahun ini. Pemerintah telah meminta Perum Bulog mengimpor beras sebanyak 500.000 ton dan baru terealisasi sekitar 100.000 ton.
Selain itu, pemerintah juga mengalokasikan impor gula mentah untuk bahan baku industri gula rafinasi sebanyak 3,6 juta ton dan gula kristal putih atau gula konsumsi 991.000 ton. Impor kedua komoditas tersebut tetap akan mengedepankan perlindungan petani.
”Saya telah meminta Bulog tidak boleh mengimpor beras lagi maksimal hingga akhir Januari 2023 karena panen raya akan berlangsung pada Februari-Maret 2023,” tuturnya.
Sebelumnya, pemerintah juga meminta Bulog untuk mengimpor kedelai sebanyak 350.000 ton. Impor tersebut dalam rangka menstabilkan harga kedelai impor di dalam negeri dan pelaksanaan program subsidi kedelai bagi perajin tahu dan tempe sebesar Rp 1.000 per kilogram (kg).
Berdasarkan Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, harga rata-rata nasional beras medium dan kedelai impor per 5 Januari 2023 masing-masing Rp 11.300 per kg dan Rp 15.100 per kg. Dalam sebulan, harga beras naik sebesar 2,73 persen dan kedelai 1,34 persen.
Sementara itu, Badan Pangan Nasional (Bapanas) memprioritaskan pengadaan CPP berupa beras, jagung pakan, dan kedelai. Khusus beras, Bapanas berharap Bulog dapat memiliki cadangan beras pemerintah (CBP) sebanyak 2,4 juta ton tahun ini dengan stok akhir tahun sebesar 1,2 juta ton.
Untuk merealisasikannya, Bapanas menempuh sejumlah langkah. Pertama, Bapanas akan mengoptimalkan kinerja Bulog untuk menyerap gabah atau beras petani pada tahun ini untuk memperkuat CBP. Per 31 Desember 2022, serapan beras Bulog hanya sebanyak 993.000 ton.
Kedua, Bapanas telah menerbitkan empat regulasi baru terkait dengan pengadaan CPP beras, jagung pakan, dan kedelai. Keempat regulasi itu adalah Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan CBP, Perbadan 13/2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Jagung Pemerintah (CJP), Perbadan 14/2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Kedelai Pemerintah (CKP), dan Perbadan 15/2022 tentang Stabilisasi Pasokan dan Harga Beras, Jagung, dan Kedelai, di Tingkat Konsumen.
Mekanisme pengadaannya akan memprioritaskan serapan di dalam negeri. Hal itu dapat dilakukan, antara lain, dengan cara pembelian langsung, pengalihan stok, kemitraan terintegrasi atau closed loop, dan pertanian kontrak.
Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan, regulasi-regulasi itu mengatur jumlah serta mekanisme pengadaan, pengelolaan, dan penyaluran CBP, CJP, dan CKP. Jumlah cadangan akan ditentukan Bapanas berserta standar mutu masing-masing komoditas.
Penetapan jumlah cadangan pangan itu dilakukan minimal sekali dalam setahun. Penetapan itu akan mempertimbangkan produksi nasional, penanggulangan kedaruratan, langkah pengendalian dan stabilisasi, kerja sama dan bantuan internasional, serta angka kecukupan gizi.
”Mekanisme pengadaannya akan memprioritaskan serapan di dalam negeri. Hal itu dapat dilakukan, antara lain, dengan cara pembelian langsung, pengalihan stok, kemitraan terintegrasi atau closed loop, dan pertanian kontrak,” katanya.