Perdagangan Antarwilayah RI Turun dalam Tiga Tahun Terakhir Ini
Penurunan perdagangan antarwilayah dalam tiga tahun terkahir ini tak boleh diabaikan. Perkuat perdagangan itu dengan pengembangan sistem rantai pasok antarwilayah atau pulau berbasis industri dan substitusi impor.
JAKARTA, KOMPAS — Dalam tiga tahun terakhir, nilai perdagangan antarwilayah di Indonesia turun. Padahal, perdagangan tersebut diperlukan sebagai motor penggerak ekonomi nasional di tengah ketidakpastian ekonomi global yang diperkirakan semakin meningkat tahun ini. Untuk itu, pemerintah pusat dan daerah diharapkan menggeliatkan kembali perdagangan antarwilayah.
Dalam publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Perdagangan Antarwilayah Indonesia 2022 yang dirilis pada 19 Desember 2022, nilai perdagangan antarwilayah pada 2021 sebesar Rp 1.129,51 triliun. Capaian itu lebih rendah dari 2020, 2019, dan 2018 yang masing-masing sebesar Rp 1.196,98 triliun, Rp 1.628 triliun, dan Rp 2.099,91 triliun.
Sepanjang 2021, lima komoditas terbesar yang diperdagangkan adalah batubara, kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, minyak kelapa sawit mentah, dan cerutu. Pada tahun tersebut, dari 34 provinsi, hanya sembilan provinsi yang mengalami surplus perdagangan, yakni Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, DI Yogyakarta, Jawa Barat, DKI Jakarta, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Maluku Utara.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance Rusli Abdullah, Senin (9/1/2023), mengatakan, faktor utama penyebab penurunan nilai perdangangan antarwilayah itu adalah terbatasnya pergerakan barang. Hal itu disebabkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) untuk menekan tingkat kasus Covid-19.
Perdagangan antarwilayah itu perlu dipulihkan dan digeliatkan kembali untuk memperkuat perekonomian nasional di tengah semakin tidak menentunya ekonomi global. Peningkatan perdagangan tersebut diharapkan tidak hanya mencakup pangan dan energi, tetapi juga produk usaha dan industri kecil menengah.
”Hal itu bisa dilakukan melalui pengembangan sistem rantai pasok antarwilayah atau pulau berbasis industri dan substitusi impor, diversifikasi pangan, mitigasi risiko cuaca buruk, dan perkuatan usaha atau industri, terutama di wilayah timur RI,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta.
Nilai perdagangan antarwilayah pada 2021 sebesar Rp 1.129,51 triliun. Capaian itu lebih rendah dari 2020, 2019, dan 2018 yang masing-masing sebesar Rp 1.196,98 triliun, Rp 1.628 triliun, dan Rp 2.099,91 triliun.
Baca Juga: Raffles dan Era Virtual
Rusli menjelaskan, pengembangan sistem rantai pasok berbasis industri dan substitusi impor sangat diperlukan karena perdagangan antarwilayah masih didominasi komoditas mentah. Selain itu, selama ini, sejumlah industri nasional, terutama di Pulau Jawa, masih bergantung pada komoditas impor.
Ia mencontohkan, meskipun merupakan salah satu negara produsen kakao terbesar dunia, Indonesia masih mengimpor kakao. Pemerintah juga berencana mensubtitusi gandum impor dengan sorgum dan sagu yang dihasilkan sejumlah daerah di Indonesia.
Dari tiga komoditas itu saja, Indonesia sebenarnya dapat meningkatkan perdagangan antarwilayah sekaligus menggeliatkan perekonomian daerah. Caranya dengan membangun rantai pasok kedua komoditas itu untuk bahan baku industri makanan dan minuman sekaligus mensubstitusi impor.
”Akan lebih baik lagi jika pemerintah daerah memiliki inisiatif meningkatkan usaha atau industri olahan kedua ketiga komoditas itu menjadi barang setengah jadi, bahkan produk jadi. Hal itu tidak hanya sekadar memberikan nilai tambah produk, tetapi juga menumbuhkan diversifikasi pangan nasional,” kata Rusli.
Indonesia sebenarnya dapat meningkatkan perdagangan antarwilayah sekaligus menggeliatkan perekonomian daerah. Caranya dengan membangun rantai pasok kedua komoditas itu untuk bahan baku industri makanan dan minuman sekaligus mensubstitusi impor.
Baca Juga: Target Substitusi Impor Dinilai Tidak Realistis
International Cocoa Organization mencatat, pada 2020-2022 Indonesia merupakan negara produsen biji kakao terbesar keenam dunia di bawah Pantai Gading, Ghana, Ekuador, Kamerun, dan Nigeria. Produksi biji kakao Indonesia sebanyak 200.000 ton pada 2020, 170.000 ton pada 2021, dan 180.000 ton pada 2022. Daerah penghasil kakao terbesar adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Barat.
Terkait sorgum, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mencatat, hingga Juni 2022 realisasi luas tanam sorgum di enam provinsi mencapai 4.355 hektar (ha). Produksinya diperkirakan sebanyak 3,63 ton per ha dengan rata-rata produktivitas 3,63 ton per ha.
Pada tahun ini, pemerintah menargetkan dapat menanam sorgum di 17 provinsi di lahan seluas 30.000 ha dan produksi mencapai 115.848 ton. Saat ini, daerah penghasil sorgum terbesar adalah Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Jawa Tengah.
Adapun berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi sagu di Indonesia pada 2021 sebanyak 367.132 ton. Jumlah itu meningkat tipis 0,09 persen dibandingkan 2020 yang sebanyak 359.838 ton. Sagu tersebut berasal dari perkebunan rakyat, terutama di Riau, Papua, dan Maluku.
Rusli menambahkan, selain komoditas-komoditas itu, pemerintah juga bisa mengembangkan usaha atau industri pengolahan ikan, karet, dan kelapa. Semua komoditas itu dapat dipetakan dan dibangun atau dibenahi rantai pasoknya.
Baca Juga: Ekosistem Sorgum dan Sagu Perlu Dibangun
Tol laut
Dalam publikasi BPS juga disebutkan, angkutan darat masih mendominasi perdagangan antarwilayah di Indonesia, yakni 77,56 persen. Adapun transportasi air dan udara menguasai pasar angkutan barang masing-masing 18,88 persen dan 3,56 persen.
Khusus untuk wilayah Indonesia bagian timur, seperti Papua dan Maluku, angkutan air berperan dominan. Di Maluku dan Papua Barat, misalnya, transportasi air menguasai masing-masing 75,52 persen dan 80,12 persen pasar angkutan barang.
Untuk meningkatkan akses pergerakan dan menekan disparitas harga barang, terutama di wilayah terpencil, tertinggal, terdepan, dan perbatasan (3TP). Kementerian Perhubungan membuka 39 rute tol laut pada tahun ini. Dari total dana subsidi transportasi perintis darat, laut, dan udara Rp 3,51 triliun pada 2023, sebesar Rp 535,82 miliar dialokasikan untuk program Tol Laut dan Rp 63,4 miliar untuk kapal ternak.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Minggu (8/1), mengatakan, pada tahun ini pembukaan 39 rute tol laut itu bertujuan agar harga pangan di wilayah 3TP lebih terjangkau. Rute tol laut tersebut terdiri dari 20 rute penugasan pemerintah dan 19 rute yang dilelang untuk swasta. Rute penugasan pemerintah akan dioperasikan oleh PT Pelni (Persero) sebanyak 11 trayek, PT ASDP 5 trayek, dan PT Djakarta Lloyd 4 trayek.
Kemenhub mencatat, hingga pertengahan Desember 2022, muatan berangkat angkutan tol laut di 33 trayek mencapai 20.000 TEUs, sedangkan muatan baliknya 6.600 TEUs. Adapun Kementerian Perdagangan menyebut tol laut mampu menurunkan harga barang di sejumlah daerah antara 20 persen dan 50 persen.
Baca Juga: Berhasil Atasi Disparitas Harga, Gerai Rumah Kita agar Diperbanyak
Pakar transportasi dan akademisi Program Studi Teknik Sipil Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Djoko Setijowarno, berpendapat, dana subsidi tol laut pada tahun ini bisa tidak maksimal seperti sebelum-sebelumnya mengingat muatan baliknya masih sangat terbatas. Oleh karena itu, pemerintah daerah seharusnya lebih proaktif mengembangkan usaha atau industri di daerah masing-masing.
”Langkah itu penting agar kapal-kapal yang mengangkut komoditas dari wilayah barat dapat terisi komoditas produksi wilayah setempat ketika kembali lagi ke rute awal,” kata Djoko.
Pemerintah daerah seharusnya lebih proaktif mengembangkan usaha atau industri di daerah masing-masing.
Sementara itu, Rusli juga mengingatkan pemerintah agar tol laut tidak sekadar dijalankan untuk memperlancar arus barang pokok dan penting, serta menekan dispasritas harga. Tol laut tersebut juga perlu terintegrasi dengan sistem rantai pasok antarwilayah atau pulau berbasis industri dan substitusi impor. Investasi di daerah-daerah kepulauan yang menjadi hub atau titik koneksi juga perlu terus didorong dengan mengedepankan sumber daya alam setempat.
”Perdagangan antarwilayah itu juga perlu diperkuat dengan mitigasi bencana dengan cara memperhatikan pola bencana di Indonesia. Untuk wilayah kepulauan, misalnya, cuaca buruk dan gelombang tinggi yang biasa terjadi pada akhir hingga awal tahun, bisa diantisipasi dengan penjadwalan pengiriman bahan makanan jauh hari,” tutur Rusli.
Baca Juga: Cuaca Buruk Hambat Distribusi Bahan Pokok Wilayah Kepulauan