Pertumbuhan ekspor tahunan Indonesia terus menyusut sejak Juli 2022. Hal itu sejalan dengan laporan terbaru UNCTAD yang menyebut perdagangan global mulai turun sejak triwulan III-2022 dan akan berlanjut pada 2023.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Sejumlah truk mengantre mengisi muatan dari kapal di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (14/1/2019). Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola oleh Pelindo II ini setidaknya melayani 300.000 peti kemas per bulan.
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekspor Indonesia secara tahunan terus menyusut kendati masih menjadi penopang surplus neraca perdagangan nasional. Hal itu disebabkan koreksi harga komoditas dan perlambatan permintaan global.
Minyak kelapa sawit mentah (CPO), batubara, serta besi dan baja masih menjadi unggulan utama. Namun, di sisi lain, ekspor pakaian dan aksesorinya masih tumbuh dan masuk jajaran 10 komoditas utama penyumbang ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS), Kamis (15/12/2022), merilis pertumbuhan ekspor migas dan nonmigas RI secara tahunan pada 2022 mulai turun sejak Juli 2022. Pertumbuhan ekspor tahunan yang pernah mencapai 31,98 persen pada Juli 2022 turun terus di bulan-bulan berikutnya hingga menjadi 5,58 persen pada November 2022.
Total nilai ekspor dan impor pada November 2022 masing-masing 24,12 miliar dollar AS dan 18,96 miliar dollar AS. Dengan begitu, neraca perdagangan RI surplus 5,16 miliar dollar AS, melanjutkan tren surplus selama 31 bulan berturut-turut. Adapun surplus neraca perdagangan sepanjang Januari-November 2022 sebesar 50,59 miliar dollar AS.
Pertumbuhan ekspor tahunan yang pernah mencapai 31,98 persen pada Juli 2022 turun terus di bulan-bulan berikutnya hingga menjadi 5,58 persen pada November 2022.
Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah mengatakan, kinerja ekspor Indonesia masih ditopang tiga komoditas unggulan, yakni batubara, CPO, serta besi dan baja. Namun, pada November 2022, ekspor komoditas unggulan itu turun, kecuali besi dan baja.
”Volume dan nilai ekspor CPO dan batubara turun akibat pengaruh penurunan permintaan dan harga. Sementara besi dan baja, meskipun volume ekspor turun, nilainya masih meningkat berkat kenaikan harga bijih besi dan nikel,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Berdasarkan data BPS, volume dan nilai ekspor CPO pada November 2022 masing-masing 2,73 juta ton dan 2,34 miliar dollar AS. Volume dan nilai ekspor batubara masing-masing 29,69 juta ton dan 4,16 miliar dollar AS. Adapun besi dan baja, volume dan nilai ekspornya masing-masing 1,35 juta ton dan 2,34 miliar dollar AS.
BPS juga mencatat, ada tujuh komoditas lain yang berkontribusi besar terhadap ekspor. Salah satunya pakaian rajutan dan aksesorinya. Nilai ekspor komoditas tersebut tumbuh 29,62 persen secara bulanan menjadi 370,7 juta dollar AS. Nilai ekspornya pada Januari-November 2022 mencapai 4,35 miliar dollar AS atau tumbuh 11,33 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Aktivitas produksi divisi garmen PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Sukoharjo, Jawa Tengah, Rabu (13/2/2019). Industri tekstil dan produk tekstil masih memiliki peluang luas di pasar dalam negeri dan ekspor, tetapi menghadapi tantangan efisiensi dan persaingan global.
Salah satu pangsa pasar utama ekspor pakaian tersebut adalah Amerika Serikat. Pakaian rajutan dan non-rajutan beserta aksesorinya pada November 2022 tersebut berkontribusi atas surplus dagang Indonesia terhadap Amerika Serikat yang sebesar 1,31 miliar dollar AS. Kontribusi pakaian rajutan dan aksesorinya mencapai 230,2 juta dollar AS, sedangkan pakaian non-rajutan dan aksesorinya sebesar 219,5 juta dollar AS.
Perdagangan global melambat
Perlambatan ekspor Indonesia itu merupakan cerminan dari perlambatan perdagangan global. Konferensi Perdagangan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCTAD) menyebutkan, kendati menguat kembali pada 2022, perdagangan global mulai melambat pada paruh kedua tahun ini dan semakin memburuk pada 2023.
Dalam laporan terbarunya, ”Global Trade Update”, yang dirilis 13 Desember 2022, UNCTAD memperkirakan nilai perdagangan barang dan jasa global pada 2022 akan sebesar 32 triliun dollar AS. Dari jumlah tersebut, perdagangan barang diperkirakan akan tumbuh 10 persen dari tahun lalu menjadi 25 triliun dollar AS.
Kendati menguat kembali pada 2022, perdagangan global mulai melambat pada paruh kedua tahun ini dan semakin memburuk pada 2023.
Tren pertumbuhan perdagangan global pada 2022 yang dirilis oleh UNCTAD dalam laporan terbarunya, Global Trade Update yang dirilis pada 13 Desember 2022.
Namun, perdagangan itu sudah mulai melambat sejak awal triwulan III-2022 dan diperkirakan akan semakin memburuk hingga 2023. Ketegangan geopolitik, harga energi yang tinggi, kenaikan suku bunga, dan inflasi tinggi mulai dan akan terus membatasi pertumbuhan perdagangan global.
Kondisi itulah yang membuat pelaku usaha global maupun nasional khawatir bisnisnya akan semakin memburuk. Di Indonesia, sejumlah industri padat karya berbasis ekspor, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), serta mebel dan kerajinan mencemaskan lesunya pasar global.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nurdin Setiawan mengatakan, industri TPT nasional bergantung 70 persen pada pasar dalam negeri dan 30 persen pasar ekspor. Pada tahun depan, ekspor diperkirakan lemah dengan proyeksi pembatalan order diperkirakan sebanyak 30 persen.
“Hal ini juga dialami negara eksportir TPT lainnya, seperti Bangladesh, India, dan China. Dampaknya bisa sampai ke pemutusan hubungan kerja (PHK). PHK di industri TPT seperti fenomena gunung es. Data pekerja terdampak hanya mewakili data parsial kondisi asli di lapangan,” ujarnya (Kompas, 14 Desember 2022).
Dalam laporan itu, UNCTAD juga membawa kabar baik tentang perdagangan global. Pergerakan kapal di pelabuhan-pelabuhan dunia sudah mulai lancar dan biaya pengapalan peti kemas berangsur-angsur turun.
Perjanjian perdagangan di sejumlah kawasan juga bakal membuat perdagangan global tidak semakin terkontraksi. Dua di antaranya adalah perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan Area Perdagangan Bebas Kontinental Afrika (AfCFTA).
Sementara itu, untuk menjaga kinerja ekspor dan mengatasi berbagai hambatannya, Indonesia telah memperkuat peran Komite Nasional Fasilitasi Perdagangan (KNFP). Fasilitasi perdagangan itu bertujuan untuk meningkatkan perdagangan global melalui peningkatan transparansi dan simplifikasi prosedur ekspor dan impor guna mempercepat pergerakan, pelepasan dan pembebasan barang, termasuk barang dalam transit.
Ketua Pelaksana Harian KNFP Susiwijono Moegiarso mengatakan, Indonesia perlu memperkuat KNFP karena melihat perkembangan dan dinamika perekonomian dan perdagangan dunia yang masih penuh ketidakpastian. Perkuatan KNFP itu juga diperlukan lantaran isu-isu fasilitasi perdagangan juga kerap di bahas di berbagai forum perundingan bilateral, regional, dan multilateral.
“Perkuatan itu akan mencakup kelembagaan, situs, dan peran KNFP sebagai referensi tunggal fasilitasi perdagangan. KNFP akan berupaya mendorong kemudahan berusaha, serta kelancaran arus barang bahan baku atau penolong kebutuhan industri dan barang konsumsi kebutuhan masyarakat,” katanya melalui siaran pers di Jakarta.