WTO telah memublikasikan hasil laporan final panel Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) tentang sengketa larangan ekspor bijih nikel RI pada 30 November 2022. Ada tiga argumen utama WTO yang membuat RI kalah melawan UE.
Oleh
Hendriyo Widi, ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
Indonesia kalah melawan Uni Eropa dalam sengketa larangan ekspor bijih nikel di Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kendati begitu, Indonesia masih memiliki peluang banding atau menerapkan kebijakan alternatif. Lalu, bagaimana sebenarnya argumen utama DSB WTO dalam panel final sehingga memutuskan memenangkan Uni Eropa?
WTO telah mengumumkan hasil laporan final panel DSB pada 30 November 2022 di Geneva, Swiss. Sengketa bernomor DS 592 itu berawal dari gugatan Uni Eropa (UE) terhadap larangan ekspor bijih nikel dan upaya pemrosesan bijih nikel berkelanjutan dalam negeri oleh Indonesia.
Langkah-langkah tersebut dilaksanakan Indonesia melalui empat regulasi. Dua di antaranya adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian.
UE menilai larangan ekspor bijih nikel dengan alasan pemrosesan bijih nikel berkelanjutan tidak sesuai dengan Pasal XI Ayat (1) Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariffs and Trade/GATT) WTO Tahun 1994. Inti pasal tersebut adalah WTO tidak membolehkan ada larangan atau batasan perdagangan selain bea, pajak, atau pungutan lain, baik yang diberlakukan melalui kuota, izin impor atau ekspor, maupun langkah-langkah lain.
Ketentuan Pasal XI Ayat (1) itu dikecualikan dalam situasi tertentu yang diatur dalam Pasal XI Ayat (2) GATT. Salah satunya, ketentuan itu tidak berlaku pada larangan atau pembatasan ekspor sementara untuk mencegah atau mengatasi kekurangan dalam titik kritis atas makanan atau produk lain.
Sementara dalam pembelaannya, Indonesia beragumen bijih nikel dibutuhkan di dalam negeri untuk memasok kebutuhan bahan baku besi dan baja nirkarat. Bijih nikel tersebut juga akan diolah untuk menopang pembangunan ekosistem baterai kendaraan listrik nasional.
Indonesia juga membubuhkan argumen pentingnya menata kembali penambangan dan pengolahan hasil tambang berkelanjutan atau berorientasi pada lingkungan. Langkah itu penting lantaran terkait erat dengan konservasi sumber daya alam yang dapat habis.
Namun, dalam sidang final, panel DSB WTO memutuskan RI melanggar Pasal XI Ayat (1). Kebijakan RI itu juga tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI Ayat (2a) dan XX GATT 1994.
Pasal XX GATT 1994 memberikan landasan hukum bagi negara anggota WTO untuk membuat kebijakan yang berorientasi, antara lain pada kemanusiaan, lingkungan hidup, dan kepatuhan terhadap produk regulasi nasional. Syaratnya, kebijakan yang dibuat itu tidak boleh menciptakan diskriminasi dan proteksi terselubung dalam perdagagangan.
Keputusan panel DSB WTO itu berdasarkan sejumlah penilaian dan argumen. Pertama, panel DSB WTO tidak mendapati penjelasan tentang larangan sementara (batas waktu larangan) ekspor bijih nikel dalam Permendag dan Permen ESDM terkait. Kedua, Indonesia belum dapat menunjukkan akan terjadi krisis kekurangan bijih nikel dengan bukti tingkat cadangan dan proyeksi permintaan.
WTO tidak mendapati penjelasan tentang larangan sementara (batas waktu larangan) ekspor bijih nikel dalam Permendag dan Permen ESDM terkait. Ri juga belum dapat menunjukkan akan terjadi krisis kekurangan bijih nikel dengan bukti tingkat cadangan dan proyeksi permintaan.
Panel menyimpulkan ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan bijih nikel Indonesia tidak cukup kuat untuk dikategorikan sebagai kurangan dalam titik kritis atau menyebabkan krisis bijih nikel. Pada 2014 hingga 2019, produksi nikel RI tumbuh pesat dari 4,79 juta metrik ton basah (WMT) menjadi 60,95 juta WMT. Begitu juga dengan ekspornya, pada 2014 volume ekspor bijih nikel sebanyak 3,86 juta WMT dan pada 2019 meningkat menjadi 30,19 juta WMT.
Ketiga, Indonesia tidak mencantumkan tindakan alternatif selain larangan ekspor dalam rangka membangun tata kelola nikel berkelanjutan. Dalam konteks ini, Panel DSB WTO sepakat dengan UE yang mengusulkan perlunya sertifikasi nikel dan lembaga otorisasi ekspor nikel sebagai langkah alternatif pengelolaan nikel berkelanjutan.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, Selasa (6/12/2022), mengatakan, Pemerintah RI berpandangan panel salah dalam mengambil kesimpulan dan keputusan itu. Oleh karena itu, Indonesia akan meminta keputusan DSB WTO tersebut ditinjau kembali oleh Badan Banding (AB) WTO.
”Argumen Indonesia dalam banding kasus tersebut masih disiapkan dan dimatangkan. Terkait argumen banding tersebut, kami belum dapat menjelaskan,” ujarnya.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, Jumat (2/12/2022), menekankan persoalan gugatan Uni Eropa di WTO masih berproses. Dengan demikian, sejauh ini belum ada rencana mencabut larangan ekspor bijih nikel. Indonesia juga akan mengikuti mekanisme yang berlaku di WTO terkait gugatan UE itu.
”Kan sudah ada mekanismenya (terkait) perselisihan perdagangan. Kita ikuti prosedur yang ada di WTO. Ada Badan Banding WTO. WTO ini kan sekarang ditinggalkan AS, jadi Badan Banding itu nggak ada. Kita harapkan suatu saat AS masuk lagi. UE sudah bentuk aturan sendiri, tetapi kita ikuti aturan yang berlaku di WTO,” katanya.
Kita ikuti prosedur yang ada di WTO. Ada Badan Banding WTO. WTO ini kan sekarang ditinggalkan AS, jadi Badan Banding itu enggak ada. Kita harapkan suatu saat AS masuk lagi. UE sudah bentuk aturan sendiri, tetapi kita ikuti aturan yang berlaku di WTO.
Dalam Kompas100 CEO Forum, Jumat pekan lalu, Presiden RI Joko Widodo juga menegaskan, RI akan melawan melalui banding di WTO. Presiden tidak ingin Indonesia yang tengah membangun hilirisasi dengan sumber daya alam sendiri, dipaksa ekspor.
”Dulu zaman VOC, zaman kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa, ada yang namanya tanam paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa. Ekspor paksa. Kita dipaksa untuk ekspor. Lho ini barang kita kok,” kata Presiden.