Indonesia Bersiap Banding atas Putusan WTO Terkait Nikel
Pemerintah Indonesia berencana mengajukan banding atas putusan panel Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menilai Indonesia melanggar ketentuan WTO terkait kebijakan melarang ekspor bijih nikel.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia dinyatakan melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia terkait kebijakan Indonesia melarang ekspor bijih nikel. Namun, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral melihat masih ada peluang banding atas keputusan final panel itu karena belum memiliki kekuatan hukum tetap.
Dalam paparan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada Rapat Kerja dengan Komisi VII DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (21/11/2022), disebutkan bahwa pelarangan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Aturan yang dilanggar yakni Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Dalam laporan final panel yang dikeluarkan pada 17 Oktober 2022 itu disebutkan bahwa WTO menolak pembelaan yang diajukan pemerintah Indonesia terkait keterbatasan jumlah cadangan nikel nasional dan untuk melaksanakan good mining practice. Laporan final itu akan didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada 30 November 2022 dan akan dimasukkan dalam agenda Dispute Settlement Body (DSB) pada 20 Desember 2022.
"Pemerintah menilai keputusan itu belum berkekuatan hukum tetap sehingga masih ada peluang untuk banding dan tidak perlu mengubah aturan atau bahkan mencabut kebijakan yang dianggap tidak sesuai, sebelum keputusan diadopsi oleh Dispute Settlement Body. Kita perlu mempertahankan kebijakan hilirisasi mineral dengan mempercepat proses pembangunan smelter kita," ujar Arifin.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia melarang ekspor bijih nikel dalam rangka mendorong hilirisasi. Bahkan, pemerintah juga berencana melarang ekspor produk tambang lainnya, yakni timah dan tembaga. Sementara Uni Eropa menggugat pada WTO terkait kebijakan Indonesia yang akan ekspor nikel tersebut.
Arifin menambahkan, telah ditetapkan dalam Undang-Undang bahwa hilirisasi nikel ialah kewajiban untuk meningkatkan nilai tambah serta penyerapan tenaga kerja. Adapun saat ini, industri turunan dari nikel baru pada tahap awal, yakni dimulai dari besi gubal/pig iron. Baru setelah itu pada feronikel. Sementara hilirisasi harus menghasilkan prekursor, yang dibutuhkan baterai.
Dalam rapat itu, Arifin juga menyebutkan bahwa dalam baterai terdapat tiga komponen utama, yakni nikel untuk elemen katoda, grafit untuk elemen anoda, dan litium sebagai penghantarnya. Apabila nikel ada di Indonesia, grafit dan litium tidak ada. Kalaupun ada, jumlahnya sangat sedikit. Pengembangan keduanya pun dibutuhkan.
"Upaya kami adalah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang memiliki pengelolaan mineral grafit dan litium. Bagaimana kita melakukan poros kerja sama. Misalnya, dengan Australia karena memiliki deposit litium (terbesar) nomor dunia di dunia sesudah Cile. Autralia juga punya potensi grafit. Kita bisa lakukan penjajakan untuk proyek kerja sama," ujar Arifin.
Semua itu diperlukan mengingat besarnya kebutuhan baterai di Indonesia. "Tidak hanya untuk media transportasi, tetapi juga untuk storage system (penyimpanan daya). Ini diperlukan dalam program masuknya energi terbarukan, yang bersih dan intermiten (bergantung cuaca). Jadi banyak proses. Proses hilirisasi dari mineral-mineral ini masih yang harus kita isi penuh," jelas Arifin.
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan Bambang DH menyatakan, ada kesan dulu Indonesia terlalu cepat meratifikasi berbagai kesepakatan perdagangan sehingga salah satu yang menjadi akibatnya adalah gagalnya dalam membela gugatan Uni Eropa di WTO terkait nikel. Ke depan, kata dia, Indonesia mesti cermat, juga agar tak hanya menjadi pasar.
"Kami mendesak agar nilai tambah ini bisa banyak kita raih. Saat ini, ibarat kita banyak sumber daya alam, tetapi disuruh bersihkan, murnikan saja, lalu ekspor. Kami memberi atensi akan ini, karena keinginan Presiden (Joko Widodo) juga agar ekspor barang dalam bentuk mentah dan setengah jadi ditekan dan nilai tambahnya ada di Indonesia," ujarnya.
Adapun salah satu poin simpulan dalam rapat tersebut adalah Komisi VII DPR mendorong Menteri ESDM untuk mengkaji terkait penambahan jumlah direktur di bawah Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara. Hal tersebut dinilai perlu demi memperkuat dan mempercepat hilirisasi mineral seperti timah, bauktsit, dan nikel.