Kenaikan rata-rata upah minimum provinsi atau UMP tahun 2023 yang mencapai 7,5 persen dinilai sudah mampu menjaga daya beli pekerja. Syaratnya, pemerintah pusat dan daerah mampu menjaga inflasi agar tidak kian melambung.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rata-rata kenaikan upah minimum provinsi atau UMP tahun 2023 berkisar 7,5 persen. Kenaikan sebesar ini dianggap mampu mendukung daya beli pekerja. Namun, agar kenaikan itu berharga, inflasi mesti terjaga agar tetap rendah.
”Rata-rata kenaikan UMP yang berkisar 7,5 persen akan mendorong daya beli apabila tahun depan inflasi tetap berkisar 3,5–5 persen. Konsumsi pekerja bisa lebih tinggi. Artinya, untuk menjaga ini, semua pihak baik pemerintah, otoritas fiskal, maupun moneter punya peran besar agar kenaikan upah mampu mendukung daya beli,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad saat dihubungi di Jakarta, Rabu (30/11/2022).
Menurut dia, bagi sejumlah provinsi yang sudah memiliki inflasi tinggi, pekerjaan berat pemerintah daerah adalah membuat inflasi turun. Dengan demikian, kenaikan UMP berharga.
Hingga Selasa (29/11/2022), sebanyak 33 provinsi telah menetapkan dan mengumumkan upah minimum provinsi atau UMP tahun 2023. Kenaikannya berkisar 4-9,15 persen dengan rata-rata kenaikan 7,5 persen dibandingkan dengan UMP tahun 2022.
Dari 33 provinsi tersebut, Sumatera Barat mengalami kenaikan UMP tertinggi, yaitu 9,15 persen, atau dari Rp 2.512.539 menjadi Rp 2.742.476. Sementara kenaikan terendah dialami oleh Maluku Utara. Persentase kenaikannya hanya 4 persen atau naik dari Rp 2.862.231 menjadi Rp 2.976.720.
Tauhid Ahmad menilai, rata-rata kenaikan UMP tahun 2023 yang berkisar 7,5 persen itu tergolong tinggi dan bisa mendukung daya beli pekerja. The Japan External Trade Organization, menurut dia, pernah menyurvei bahwa rata-rata kenaikan upah di Indonesia relatif sama dengan Vietnam, yaitu 5–6 persen.
”Tantangannya sekarang ada di regulasi pengupahan. Pemerintah seharusnya merevisi dulu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, baru mengeluarkan Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan). Bagaimana akhirnya pemerintah menghadapi gugatan regulasi dari kelompok pengusaha,” kata dia.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar berpendapat, persentase rata-rata kenaikan UMP nasional tahun 2023 sebesar 7,5 persen kurang adil karena ada variabel nilai alfa yang dibatasi 0,1-0,3. Ini artinya kontribusi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi hanya dianggap 10–30 persen. Padahal, kalau membaca faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi, semuanya disumbang oleh pekerja.
”Saya kira pekerja bisa berkontribusi hingga 70–80 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, agar kenaikan UMP relatif lebih adil, saya mengusulkan agar nilai alfa ditetapkan 0,5-0,8. Hal ini akan mendukung signifikan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, dalam konferensi pers, secara khusus mengomentari kenaikan UMP tahun 2023 di DKI Jakarta yang sebesar 5,6 persen. Menurut dia, kenaikan sebesar itu relatif kurang pas karena di bawah inflasi tahun berjalan. ”Pada masa pandemi Covid-19 tidak ada kenaikan upah dan malah terjadi kenaikan harga sejumlah barang. Daya beli pekerja/buruh sudah turun 30 persen,” ujarnya.
Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan Dinar Titus Jogaswitani menyebutkan, saat ini sudah ada 33 provinsi yang menetapkan UMP tahun 2023. Pihaknya masih menunggu provinsi lain yang belum menetapkan, termasuk provinsi hasil pemekaran. ”Masih ada provinsi hasil pemekaran yang belum menetapkan UMP tahun 2023,” kata Dinar.
Seperti diketahui, sesuai dengan Permenaker Nomor 18/2022, UMP pertama bagi provinsi hasil pemekaran mengikuti UMP provinsi induk. Sementara upah minimum kabupaten/kota (UMK) bagi kabupaten/kota hasil pemekaran menggunakan UMK kabupaten/kota induk. Opsi lainnya adalah UMP jika tidak terdapat UMK induk.