Formula baru penghitungan upah minimum tahun 2023 menuai pro kontra, terutama antara kelompok pengusaha dan pekerja. Menteri Ketenagakerjaan berharap formula baru turut membantu menjaga daya beli pekerja.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Meski pemerintah telah mengeluarkan ketentuan penyesuaian formula perhitungan upah minimum tahun 2023, perbedaan sikap antara kelompok pengusaha dan pekerja/buruh masih terjadi. Guna menghadapi situasi ini, pemerintah diharapkan tegas dan mempunyai solusi atau jalan tengah yang mengakomodasi kedua kepentingan.
Pada 16 November 2022, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menetapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023. Peraturan itu diundangkan pada 17 November 2022. Sesuai Permenaker ini, upah minimum provinsi tahun 2023 harus ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur paling lambat 28 November 2022. Adapun upah minimum kabupaten/kota tahun 2023 diumumkan paling lambat 7 Desember 2022.
Sesuai Pasal 6 Permenaker No 18/2022, formula perhitungan kenaikan upah minimum tahun 2023 menjadi UM(t+1) = UM(t) + (Penyesuaian Nilai UM x UM(t)). UM(t+1) adalah upah minimum yang akan ditetapkan. UM(t) merupakan keterangan untuk upah minimum tahun berjalan. Adapun maksud dari penyesuaian nilai upah minimum adalah penjumlahan antara inflasi dan perkalian pertumbuhan ekonomi dan α (alfa).
Selanjutnya, setelah diperoleh hasil perhitungan mengikuti Pasal 6, pada Pasal 7 Permenaker No 18/2022 ditegaskan bahwa besaran kenaikan upah minimum tahun 2023 harus maksimal 10 persen. Apabila hasil perhitungan ternyata kenaikan upah minimum mencapai di atas 10 persen, gubernur wajib menetapkan paling tinggi 10 persen.
”Kami dari sisi pengusaha masih berharap tidak ada perubahan kebijakan. Bagi industri, hal terpenting adalah konsistensi regulasi. Kami mengakui kondisi sedang tidak baik-baik saja, terutama dari sisi industri tekstil berorientasi ekspor yang sedang mengalami kelesuan permintaan. Kami memerlukan regulasi yang bagus sehingga bisa keluar dari situasi ini,” ujar Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia Rizal Tansil Rakhman yang ditemui di sela-sela menghadiri Indonesia Development Forum (IDF) 2022 di Badung, Bali, Senin (21/11/2022).
Tidak ada perubahan kebijakan yang dia maksud adalah tetap mempertahankan Peraturan Pemerintah (PP) No 36/2021 tentang Pengupahan. Menurut dia, PP No 36/2021 sudah jadi konsensus bersama.
Rizal mengklaim, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil, terutama berorientasi ekspor, masih terjadi. Kabar itu datang dari pelaku industri di Sukabumi dan Purwakarta, Jawa Barat.
Menurut dia, bagi pelaku usaha, keputusan PHK itu berat karena pengusaha mengeluarkan ongkos. Pelaku industri kini berharap pemerintah bisa memberikan solusi. ”Apakah pemerintah bisa memberikan insentif atau tidak, kami belum tahu. Kami belum diajak berbicara pemerintah, tetapi Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) sudah menyatakan sikap. Kami rasa pemerintah perlu mendengarkan dari sisi industri,” ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, saat konferensi pers, Minggu (20/11/2022), di Jakarta, menilai, formula perhitungan upah minimum yang ada di Permenaker No 18/2022 itu rumit dan membingungkan. Ditambah lagi, ada pula substansi mengenai kenaikan upah maksimum 10 persen. Keterangan ”paling tinggi 10 persen” bisa menimbulkan kebingungan dan pengertian keliru tentang upah minimum.
Terlepas dari hal itu, Iqbal mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah yang akhirnya tidak jadi menggunakan PP No 36/2021 tentang Pengupahan. Organisasi serikat pekerja/buruh seperti KSPI berharap pemerintah daerah segera mengikuti amanat Permenaker No 18/2022.
”Dengan dasar hukum Permenaker No 18/2022, kami berharap dewan pengupahan di daerah berjuang minimal kenaikan upah minimum tahun 2023 sebesar 10 persen. Jika lebih dari 10 persen, itu adalah hasil perundingan,” katanya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Suharso Monoarfa seusai memberikan sambutan pembukaan IDF 2022 menyatakan, kenaikan upah minimum harus dilihat dalam konteks utuh. Menurut dia, upah minimum penting untuk menggerakkan produktivitas dan daya beli pekerja.
”Kenaikan upah akan mendorong daya beli, lalu agregat permintaan dan produksi industri. Perhitungan upah minimum senantiasa perlu mengikutsertakan faktor inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan mempertimbangkan pengeluaran warga,” ujarnya.
Untuk masyarakat pekerja kelompok bawah, lanjut Suharso, pemerintah telah melakukan sejumlah langkah intervensi. Salah satunya berupa belanja sosial/subsidi.
Menaker melalui pernyataan resmi di akun Instagram @Kemnaker menjelaskan, sebelum ada PP No 36/2021 terjadi disparitas upah minimum di berbagai daerah. Situasi ini berdampak ke produktivitas dan kesejahteraan pekerja. Kehadiran PP No 36/2021 bertujuan mereduksi hal itu sehingga tercipta pemerataan dalam jangka menengah.
Akan tetapi, saat ini, dia melihat kondisi masyarakat belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19. Selain itu, masyarakat harus berhadapan dengan potensi ketidakpastian makroekonomi global.
”Struktur perekonomian nasional disumbang oleh konsumsi. Maka, kami menilai penting menjaga daya beli pekerja. Berangkat dari aspirasi yang berkembang, perhitungan upah minimum yang ada di PP No 36/2021 belum mampu menjawab situasi yang kini berkembang,” ujarnya, menjelaskan latar belakang dikeluarkannya penyesuaian formula perhitungan upah minimum tahun 2023 melalui Permenaker No 18/2022.
Ida menegaskan, dengan adanya penyesuaian formula perhitungan upah minimum tahun 2023, daya beli dan konsumsi warga bisa terjaga. Penyesuaian itu diharapkan sudah menjadi jalan tengah atas dinamika sosial ekonomi yang berkembang.
Ideal
Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,72 persen perlu dibedah setiap sektor industri. Dengan demikian, setiap sektor industri bisa dibaca pertumbuhannya.
Dia berpendapat, penghitungan dan penetapan upah minimum idealnya mengikuti kondisi daerah provinsi dan setiap sektor industri. Namun, cara ini relatif rumit meskipun mampu meredam perdebatan pekerja dan pengusaha.
”Apabila tetap menggunakan formula perhitungan nasional seperti sekarang, pemerintah perlu intervensi membantu sektor industri yang relatif rentan terkena dampak ketidakpastian makroekonomi. Intervensinya berupa insentif ke biaya produksi dan pengalihan pasar,” kata Faisal.