Memastikan Pemulihan Tak Diciderai Ketidakpastian
Berbagai risiko ketidakpastian hukum dan politik perlu segera dikelola untuk meredam guncangan ekonomi tahun depan. Semua berpulang pada niat politik pemerintah untuk menjaga momentum pemulihan, bukan mencederainya.
Ambiguitas ekonomi tampaknya akan menjadi normal baru untuk beberapa waktu ke depan. Ketidakpastian mengepung dari berbagai arah. Krisis bertubi-tubi imbas pagebluk dan kisruh geopolitik mendorong ekonomi dunia ke ambang resesi. Sementara, dari dalam negeri, risiko itu diperkeruh oleh ketidakjelasan nasib sejumlah regulasi penting serta datangnya tahun politik.
Dunia baru saja bersiap pulih dari dampak berkepanjangan (scarring effect) akibat krisis pandemi Covid-19. Namun, ketegangan geopolitik pasca invasi Rusia ke Ukraina awal tahun ini semakin mendisrupsi perekonomian global. Sejumlah lembaga internasional memprediksi, ekonomi global akan melambat pada tahun 2023.
Kondisi Indonesia memang relatif lebih baik dibandingkan sejumlah negara lain. Sejauh ini, momentum pertumbuhan ekonomi masih terjaga di atas 5 persen. Namun, perekonomian domestik tidak lepas dari risiko. Bukan hanya karena efek rambatan kondisi global, tetapi juga akibat ketidakpastian hukum dan politik di dalam negeri.
Baca juga: Ekonomi Dunia Melambat, Indonesia Tidak Lepas dari Risiko
Pertengahan tahun ini, industri keuangan “dikagetkan” dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU P2SK) yang terkesan di percepat. RUU sapu jagat (omnibus law) itu setidaknya akan mengamendemen 15 undang-undang sekaligus menjadi satu.
Beberapa hal mengindikasikan, pembahasan RUU itu akan dikebut. Berdasarkan dokumen jadwal kerja Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pembahasan RUU P2SK dimulai pada 10-17 November, dilanjutkan kembali 24-26 November, serta 1-8 Desember. Pembahasan bahkan terus berjalan di saat pemerintah sedang sibuk menggelar Konferensi Tingkat Tinggi G20. Saat ini, pembahasan RUU sudah di tahap panitia kerja (panja).
Di satu sisi, sektor keuangan butuh kepastian hukum, mengingat UU lama sudah kurang relevan dengan perkembangan hari ini. Sebut saja, UU Perbankan yang diterbitkan 1992 dan UU Pasar Modal pada 1995. Ada pula UU Bank Indonesia yang dirilis 2004, UU Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang keluar 2004, dan UU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terbit 2011.
Pembahasan RUU P2SK yang terburu-buru dan tidak berhati-hati bisa berdampak negatif. Dikhawatirkan, ada pasal-pasal bermasalah yang bisa lolos menjadi ketentuan.
Menurut peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies Deni Friawan, pembahasan yang terlalu lama bisa menyulitkan pelaku industri jasa keuangan dalam membuat perencanaan. Mereka menanti perubahan yang akan berdampak pada lingkup industri, termasuk tugas dan fungsi yang akan berubah pada lembaga keuangan negara.
“Pelaku usaha jadi perlu menunggu seperti apa perubahan yang dibawa UU ini. Mereka jadi sulit membuat perencanaan, sebab pada dasarnya mereka kan ingin patuh regulasi,” ujar Deni, Kamis (24/11/2022).
Namun, bukan berarti pembahasan RUU harus dikebut tanpa kehati-hatian. Deni mengatakan, pembuatan UU tidak perlu dipaksakan dikebut tanpa mengindahkan poin-poin dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang menjadi aspirasi pelaku industri keuangan.
Menurutnya, pembahasan RUU harus mengakomodasi seluruh aspirasi pemangku kepentingan agar tercipta pertumbuhan sektor keuangan yang kuat dan optimal sesuai tujuan. Pembahasan yang terburu-buru dan tidak berhati-hati bisa berdampak negatif. Dikhawatirkan, ada pasal-pasal bermasalah yang bisa lolos menjadi ketentuan.
Baca juga: Independensi BI Bisa Terancam
Jika itu terjadi, pelaku sektor keuangan akan membawa UU P2SK untuk uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini tentu memperparah ketidakpastian hukum, di samping menguras lebih banyak biaya, tenaga, dan waktu, yang lagi-lagi bisa menghambat kinerja sektor keuangan.
“Jangan buru-buru disahkan, tapi malah kemudian digugat pelaku usaha di MK. Ini malah tambah lama,” ujar Deni.
Nasib UU Cipta Kerja
Ketidakpastian hukum lain muncul akibat terombang-ambingnya revisi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sudah lewat satu tahun sejak MK menyatakan UU tersebut cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Dalam putusan uji formil, MK meminta pemerintah dan DPR merevisi UU sapu jagat itu paling lama dua tahun, sebelum November 2023.
Sampai sekarang, revisi tak kunjung dimulai, membawa ketidakpastian hukum dan ekonomi. Di sektor ketenagakerjaan, misalnya, perselisihan industrial semakin marak. Data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah perselisihan industrial lewat jalur mediasi pada Januari-September 2022 naik empat kali lipat, dari 516 kasus pada tahun 2021 menjadi 2.178 kasus.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, hal itu terjadi karena perusahaan berkukuh menerapkan UU Cipta Kerja yang masih inkonstitusional bersyarat, sementara pekerja tetap berpegang pada Peraturan Kerja Bersama (PKB) dan Peraturan Perusahaan (PP) lama yang mengacu ke UU 13/2002 tentang Ketenagakerjaan.
“Seharusnya pemerintah bisa menengahi dan menegaskan mana aturan yang berlaku selagi UU-nya masih direvisi, tapi pemerintah lepas tangan, semua diserahkan ke bipartit, akhirnya kasus menumpuk,” katanya.
Menurutnya, semakin cepat UU direvisi, semakin baik untuk mereduksi sengketa industrial. Apalagi, perselisihan yang menumpuk bisa menghambat aktivitas usaha dan kerja, mengganggu produktivitas, dan mencederai pertumbuhan ekonomi.
Sampai sekarang, revisi UU Cipta Kerja tak kunjung dimulai, membawa ketidakpastian hukum dan ekonomi.
Revisi juga perlu disegerakan karena banyak ketentuan yang telah terbukti menekan kesejahteraan buruh, baik kerah biru maupun putih. Hal ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, di negara yang ekonominya bergantung pada konsumsi masyarakat, jika pekerja tidak sejahtera, ekonomi pun bisa goyah.
Revisi UU yang menggantung itu juga merugikan dunia usaha. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani, pengusaha pada dasarnya butuh kepastian hukum dan politik. Akibat arah revisi yang belum jelas, UU Cipta Kerja yang seharusnya memberi kemudahan berusaha kini malah membawa lebih banyak ketidakpastian.
Putusan MK mengamanatkan tidak boleh ada peraturan dan kebijakan turunan baru selama UU Cipta Kerja masih cacat formil. Padahal, ujarnya, ada banyak peraturan yang perlu diperjelas dan disempurnakan untuk memperbaiki iklim berusaha. Misalnya, sistem dan aturan perizinan usaha lewat Online Single Submission (OSS) Berbasis Risiko.
Di sisi lain, pemerintah juga dicap inkonsisten karena tetap memunculkan kebijakan baru di tengah larangan MK. Ia mencontohkan, polemik kebijakan upah minimum pekerja yang kini melahirkan aturan baru pengupahan yang berbeda dari UU Cipta Kerja, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2022.
Baca juga: UU Cipta Kerja, Antara Janji dan Realita
“Eksesnya sudah mulai aneh-aneh. Makanya, revisi jangan berlarut-larut. Jangan lupa, tahun depan sudah tahun politik, waktu efektif untuk membahas revisi UU ini mungkin hanya 6-7 bulan saja,” kata Hariyadi.
Menurut Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono, pemerintah terus mematangkan konsep revisi UU Cipta Kerja sebelum dibahas bersama DPR. “Kalau disebut revisinya lama, sebenarnya tidak juga. Siang malam kami rapat, tetapi, prosesnya memang kompleks karena harus melibatkan banyak kementerian/lembaga,” ujarnya.
Revisi UU Cipta Kerja perlu disegerakan karena banyak ketentuan yang telah terbukti menekan kesejahteraan buruh, baik kerah biru maupun putih.
Ibu kota negara
Ketidakpastian hukum dan politik juga menghantui nasib kelanjutan proyek besar pemerintah, yaitu pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Sejumlah regulasi dipercepat tahun ini untuk memulai pembangunan dan menarik investasi. Mulai dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN, Peraturan Presiden (PP) Nomor 65 Tahun 2022 tentang Perolehan Tanah dan Pengelolaan Pertanahan di IKN, serta Rancangan PP tentang Insentif Khusus Kemudahan Berinvestasi di IKN Nusantara.
Berbagai skema insentif fiskal beserta payung hukumnya juga disiapkan untuk menarik minat investor. Skema yang ditawarkan antara lain kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU). Targetnya, ekosistem kota yang layak huni mulai terwujud pada 2024.
Menurut Wakil Kepala Otorita IKN Dhony Rahajoe, insentif akan terdiri atas tiga hal. Pertama, kemudahan berusaha. Lahan tempat tinggal bisa berstatus hak milik. Selain itu, hak guna bangunan (HGB) bisa lebih panjang dari biasanya 30 tahun. Kedua, kemudahan perizinan. Ketiga, fasilitas insentif di IKN dengan besaran yang lebih menarik dibandingkan wilayah lain.
Namun, pelaku usaha masih menanti kejelasan regulasi, infrastruktur, hingga kesiapan sumber daya manusia (SDM) untuk berinvestasi di IKN. Ketidakpastian politik menjelang pemilihan umum 2024 juga menambah keraguan investor.
Pelaku usaha masih menanti kejelasan regulasi, infrastruktur, hingga kesiapan sumber daya manusia untuk berinvestasi di Ibu Kota Negara baru.
Kepala Badan Pertimbangan Organisasi Real Estat Indonesia Soelaeman Soemawinata mengatakan, minat pengembang swasta untuk berinvestasi menggarap lahan di IKN sudah ada, tetapi menunggu kejelasan regulasi untuk bisa menghitung secara finansial kelayakan investasi.
Rencana desain tata ruang (RDTR) wilayah juga dinantikan sesuai dengan arah pengembangan IKN sebagai kota masa depan. “Harus jelas dan detail, setiap kawasan menyediakan apa, berapa energi yang dapat dihemat untuk menuju target kota masa depan,” katanya.
Baca juga: Menarik Komitmen Investasi di IKN
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Anton J Supit berpendapat, pengusaha akan berhitung untung-rugi dan faktor risiko sebelum berinvestasi. Industri juga akan mencermati pasar, apalagi di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi saat ini.
Menurutnya, pembangunan IKN harus berskala besar agar lebih efisien. IKN yang mengusung kota cerdas butuh ditunjang dengan industri pendukung, kesiapan SDM dan birokrasi. “Bottom line pengusaha pada akhirnya adalah profit. Dengan berbagai risiko dan ketidakpastian, apakah berinvestasi di IKN bisa menjamin untung?” kata Anton.
Kepala Otorita IKN Bambang Susantono beberapa waktu lalu mengatakan, skema insentif yang menarik sedang disiapkan Otoritas IKN. Regulasinya sedang digodok dalam PP tentang Insentif Khusus untuk Kemudahan Berinvestasi di IKN Nusantara (Kompas, 24/8/2022). Hingga kini, aturan terkait insentif investasi itu masih terus dibahas di tingkat kabinet.
Berbagai ketidakpastian di atas perlu segera dikelola dengan bijak untuk meredam guncangan ekonomi tahun depan. Risiko global akibat perang dingin negara-negara adidaya mungkin ada di luar kendali kita. Namun, seharusnya, masalah di pekarangan rumah sendiri bisa lebih mudah dibereskan. Semua berpulang pada kemauan politik pemerintah untuk menjaga momentum pemulihan, bukan mencederainya.