Produk Hijau RI ”Menjaga Matahari”
Dunia semakin mengarah ke perdagangan produk hijau. Demi menyelamatkan pasar ekspor dan keberlangsungan usaha, pelaku industri nasional mau tak mau berupaya mencipta komoditas ramah lingkungan.
Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Sudah diberondong produk impor, masih harus memenuhi persyaratan produk hijau atau ramah lingkungan negara lain. Itulah potret sejumlah produk hijau RI ”menjaga matahari”. Menyelamatkan pasar ekspor agar tak meredup.
Agar diterima di pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa, pelaku usaha mebel dan kerajinan Indonesia harus menggunakan kayu legal dan tersertifikasi. Bahkan demi syarat hijau negara lain, mereka rela ”kehilangan” 1 persen pendapatan ekspor untuk dana penanaman pohon.
Ketua Presidium Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur, Senin (21/11/2022), mengatakan, Pemerintah Indonesia mewajibkan pelaku industri mebel dan kerajinan bisa memenuhi persyaratan Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK). Untuk bisa menembus pasar AS, pelaku industri mebel perlu memenuhi persyaratan Lacey Act.
Adapun agar bisa menembus pasar Eropa, mereka harus memenuhi persyaratan Forest Stewardship Council (FSC). ”Suka tidak suka, anggota HIMKI yang berjumlah 2.500 pelaku usaha harus memenuhi sistem tersebut karena itu sifatnya mandatori. Kami menjamin kayu itu betul-betul tersertifikasi dari lembaga tepercaya,” ujar Sobur saat dihubungi di Jakarta.
Suka tidak suka, anggota HIMKI yang berjumlah 2.500 pelaku usaha harus memenuhi sistem tersebut karena itu sifatnya mandatori. Kami menjamin kayu itu betul-betul tersertifikasi dari lembaga tepercaya.
Tak berhenti di situ. HIMKI bahkan sudah mengusulkan kepada pemerintah untuk menerbitkan Keputusan Presiden mengenai Penanaman Kayu Perkakas. Tujuannya adalah demi bisa menjalankan usaha berkelanjutan, serta menjamin keberlangsungan bahan baku dan bisnis seiring sejalan dengan pelestarian alam.
Dengan peraturan itu, sebesar 1 persen dari kinerja ekspor industri mebel bisa dikembalikan ke negara sebagai dana penanaman dan pelestarian kayu perkakas. Rencananya pepohonan itu bisa ditanam di sepanjang jalan tol atau ditanam di berbagai wilayah di Indonesia.
”Ketika usianya sudah 10-20 tahunan bisa kita ambil untuk memberikan nilai tambah. Indonesia bisa lebih hijau, bahan baku industri mebel juga terjamin,” ujar Sobur.
Pelaku industri tekstil dan produk tekstil (TPT) juga berupaya menghasilkan produk-produk hijau. Melalui Rantai Tekstil Lestari (RTL), Indonesia saat ini tengah mengembangkan serat selulosa untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri TPT di dalam negeri. Salah satunya serat viskosa yang berasal dari akasia. Benang sintetis dari serat kayu ini memudahkan produk TPT bisa terurai.
Asosiasi Perstekstilan Indonesia (API) dan RTL juga berkomitmen mengembangkan industri mode sirkular dan berkelanjutan. Kedua upaya itu penting untuk mengurangi dampak perubahan iklim sekaligus meningkatkan daya saing pasar ekspor ke negara dan kawasan yang mulai menerapkan kebijakan produk ramah lingkungan, seperti UE.
Baca juga: Tantangan dan Resolusi Satu Abad Industri Tekstil Nusantara
Ketua Umum RTL Basrie Kamba menuturkan, RTL akan menjembatani kepentingan negara-negara pengusung kebijakan nol karbon dengan pemerintah dan pelaku industri TPT di Indonesia. Salah satunya terkait dengan kebijakan-kebijakan yang digulirkan atau akan digulirkan.
”Hal itu penting agar Indonesia juga dilibatkan oleh negara-negara tersebut dalam penerapan dan penyusunan kebijakan baru untuk mengatasi perubahan iklim. Selain itu, RTL akan mendorong pelaku industri TPT untuk mengembangkan produk-produk berkelanjutan dan bisa didaur ulang,” tuturnya.
Langkah serupa juga dilakukan ID Food, Holding BUMN Pangan. Salah satunya turut serta dalam pengembangan blue economy dan blue food Ocean20 (O20) melalui bisnis perikanan yang dikelola oleh PT Perikanan Indonesia. Misi dari gerakan negara-negara anggota G20 itu adalah pelestarian dan pemanfaatan laut dan sumber daya kemaritiman secara berkelanjutan.
Direktur Utama lD Food Frans Marganda Tambunan menyatakan, untuk mewujudkan misi itu, ID Food akan memberdayakan nelayan tidak hanya dalam peningkatan produksi. Kelompok-kelompok nelayan juga akan diarahkan menjaga pasokan ikan dan pemanfaatan sumber daya laut yang ramah lingkungan.
Melalui blue food O20, ID Food juga berpeluang meningkatkan ekspor hasil tangkapan nelayan mitra PT Perikanan Indonesia ke negara-negara anggota G20. Selama ini, perusahaan pengembang blue food retail tersebut telah mengekspor produk perikanan ke sembilan negara. Produk yang diekspor antara lain gurita kukus, sotong, gurita, dan tuna ke AS dan Jepang.
Baca juga: Produk Tuna Ramah Lingkungan Indonesia Diakui Dunia
Perdagangan hijau
Sejumlah negara maju telah dan akan menerapkan kebijakan hijau di sektor perdagangan. AS telah meluncurkan Strategi Perdagangan Hijau di kawasan bea cukai dan perbatasan, serta menggulirkan kebijakan energi baru terbarukan dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act). AS juga telah menerapkan sertifikasi hijau komoditas kayu dan produk dari kayu.
UE tidak hanya punya Arah Energi Terbarukan (RED II) yang telah digulirkan dan akan ditingkatkan lagi menjadi RED III. UE juga bakal memiliki skema tarif preferensi umum plus (GSP+) dan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM). GSP+ itu dimatangkan bersama GSP UE periode 2024-2034 untuk menggantikan GSP lama yang akan berakhir per 31 Desember 2023.
Adapun CBAM, rencananya akan diterapkan mulai 2023 untuk komoditas semen, besi baja, aluminium, pupuk, dan peralatan listrik. CBAM ini akan sepenuhnya diterapkan pada 2026 dengan memperluas produk-produk yang mengandung karbon.
Pada 2030, UE juga akan menerapkan paspor produk digital (digital product passport/DPP). DPP itu berfungi untuk melacak asal komponen dan bahan baku yang digunakan dalam semua jenis barang konsumsi, termasuk TPT. Dengan paspor digital itu, konsumen dapat mengetahui dan memastikan dampak lingkungan dari produk-produk yang mereka beli, termasuk dapat didaur ulang kembali atau tidak.
Selama ini, keberadaan RED II UE saja sudah merepotkan RI karena menghambat ekspor biodiesel dari minyak sawit Indonesia. Hal ini membuat RI menggugat UE yang mendiskriminasikan sawit ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Apalagi ditambah dengan kebijakan hiijau UE yang lain atau bahkan negara-negara di luar kawasan UE.
Baca juga: RI Siapkan Skenario Menang-Kalah Sengketa Sawit Lawan UE
Saat ini, sejumlah negara telah memiliki Nationally Determined Contribution (NDC) atau dokumen yang memuat komitmen dan aksi mengatasi perubahan iklim berdasarkan Perjanjian Paris 2015. Bank Dunia menyebutkan, implementasi CBAM dan NDC sejumlah negara berpotensi mengurangi kinerja ekspor dan pendapatan riil Indonesia pada 2030 masing-masing sebesar 0,1 persen dan 0,5 persen.
Untuk menjaga pasar ekspor, mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia perlu terus mengembangkan produk-produk hijau. Dunia saat ini tengah bergerak ke arah tersebut. Forum Ekonomi Dunia (WEF), dalam white paper ”Delivering a Climate Trade Agenda: Industry Insights” menyatakan, untuk menuju era transisi hijau, para pengambil kebijakan dan pelaku industri harus mampu menciptakan produk-produk rendah karbon.
Ekosistem dan kebijakan perdagangan hijau juga perlu disiapkan dan dibangun, misalnya dengan pengurangan tarif barang-barang, meminimalisasi hambatan nontarif, memfasilitasi rantai pasok global yang menguntungkan iklim dan mempercepat dekarbonisasi ekonomi global, serta menyediakan pembiayaan perdagangan hijau.
Menuju era transisi hijau, para pengambil kebijakan dan pelaku industri harus mampu menciptakan produk-produk rendah karbon. Ekosistem dan kebijakan perdagangan hijau juga perlu disiapkan dan dibangun.
Baca juga: ”Menghijaukan” Perdagangan Dunia
Kesadaran meningkat
Untuk mendorong korporasi-korporasi di Indonesia mengimplementasikan transisi hijau dalam proses bisnis, pemerintah sendiri telah menerbitkan sejumlah kebijakan antara lain Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 32 Tahun 2021 tentang Standar Industri Hijau untuk Industri Tepung Terigu. Selain itu, ada pula Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 31 Tahun 2021 tentang Standar Industri Hijau untuk Industri Eleokimia Dasar Bersumber dari Minyak Nabati.
Selanjutnya pemerintah memberikan apresiasi kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan transisi hijau berupa penghargaan Industri Hijau oleh Kementerian Perindustrian setiap tahun.
Pada ajang Penghargaan Industri Hijau 2022 yang digelar akhir pekan lalu, terdapat 128 perusahaan industri yang memperoleh Penghargaan Industri Hijau. Sejak 2010 hingga 2022, Kementerian Perindustrian telah memberikan penghargaan kepada 1.187 pelaku industri.
Berdasarkan data pelaku industri peserta penghargaan pada 2022, Kementerian Perindustrian mencatat, penghematan energi dapat mencapai 30.921 terajoule atau kira-kira senilai Rp 9,8 triliun. Potensi penurunan gas rumah kaca mencapai 7,55 miliar ton karbon dioksida ekuivalen.
Dari total 128 perusahaan yang mendapatkan penghargaan tahun ini, terdapat satu perusahaan berskala industri kecil dan menengah (IKM), yakni Paradise Batik.
General Manager Paradise Batik Muhammad Karim mengatakan, memenuhi standar industri hijau telah menjadi kebutuhan bisnis. Pihaknya berupaya untuk menghemat lilin malam untuk membatik. Sisa kain perca pun diolah menjadi produk lain.
Mengikuti standar industri hijau bukan berarti tanpa biaya. Karim menyebutkan, dia menambah modal untuk instalasi pengolahan air limbah (IPAL). ”Kami mendesain IPAL kami dalam bangunan sederhana tahan gempa. Harga mesin IPAL paling tidak Rp 50 juta. Dengan biaya ini, kami harap IKM batik lainnya terinspirasi untuk mengikuti standar industri hijau. Kami juga menerima kunjungan dari pelaku bisnis batik lainnya yang ingin belajar untuk menerapkan standar tersebut,” tuturnya saat ditemui setelah acara penghargaan.
Staf Ahli Menteri Bidang Iklim Usaha dan Investasi Kementerian Perindustrian Andi Rizaldi mengatakan, kebutuhan terhadap industri hijau sudah menjadi kesadaran global. ”Oleh sebab itu, banyak sekali perusahaan multinasional yang mendapatkan award,” ujarnya.
Andi juga menggarisbawahi, upaya untuk memenuhi standar industri hijau membutuhkan tambahan biaya. Namun, manfaat yang dirasakan perusahaan yang telah menerapkan standar-standar itu dapat mengompensasi modal tersebut, misalnya melalui penghematan energi dan bahan baku. Selain itu, daya saing produk dari Tanah Air kian menguat di kancah mancanegara.
Seiring waktu, kesadaran perusahaan di Indonesia untuk mengimplementasikan ekonomi hijau terus meningkat. Hal itu salah satunya tecermin dalam laporan berjudul ”Industry for Tomorrow: Towards ESG Implementation in Indonesia” yang dipublikasikan Mandiri Institute pada November 2022. Laporan itu disusun berdasarkan survei terhadap 190 perusahaan yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia serta 100 perusahaan yang belum melantai di bursa.
Dalam laporan itu disebutkan, mayoritas responden yang sudah tercatat di bursa menyatakan berencana menerapkan praktik bisnis lestari. Sebanyak 72 persen pelaku usaha yang belum melantai di bursa juga menyatakan rencana tersebut.
Pembiayaan hijau
Karena adanya kebutuhan dana, penerapan ekonomi hijau tentu akan membuka peluang bagi perusahaan pembiayaan di Indonesia. Perbankan milik negara dan swasta pun menangkap peluang itu dengan menawarkan sejumlah skema kredit berkelanjutan (sustainable portofolio).
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, contohnya, berkomitmen meningkatkan porsi pembiayaan hijau baik di sektor UMKM, ritel, maupun wholesale. Hal ini dilakukan dengan pembiayaan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT), pembiayaan solar panel, dan ekosistem kendaraan listrik.
Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri Rudi As Aturridha mengatakan, sampai dengan triwulan ketiga 2022, pembiayaan kredit berkelanjutan Bank Mandiri mencapai Rp 221,1 triliun atau setara dengan 24 persen dari total kredit Bank Mandiri.
Demikian juga dengan PT Bank Central Asia Tbk (BCA). BCA memberikan pembiayaan pada 12 kategori kegiatan usaha berkelanjutan. Beberapa di antaranya energi terbarukan, efisiensi energi, pencegahan dan pengendalian polusi, pengelolaan sumber daya alam hayati dan lahan berkelanjutan, pengelolaan limbah berkelanjutan, usaha berwawasan lingkungan, serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Executive Vice President Secretary and Corporate Communication BCA Hera F Haryn menuturkan, sampai dengan triwulan ketiga tahun ini, kredit BCA ke sektor-sektor berkelanjutan mencapai Rp 172,7 triliun. Penyaluran kredit tersebut tumbuh 18,6 persen secara tahunan atau setara dengan 25,1 persen dari total portofolio kredit BCA.
”Permintaan kredit sektor-sektor hijau saat ini terus meningkat. Hal ini kami lihat sebagai peluang yang baik bagi bisnis perbankan,” tuturnya.
Baca juga: Komitmen Pembiayaan Hijau Berdampak Positif bagi Bank Nasional