Dampak positif penghapusan tarif dan pengurangan tindakan non-tarif pada produk penopang energi terbarukan dan produk hijau dapat meningkatkan ekspor global produk itu masing-masing sebesar 5 persen dan 14 persen.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Serba hijau. Serba berorientasi pada perubahan iklim. Itulah arah perdagangan global ke depan. Setiap negara dan lembaga internasional terus bergerak menghijaukan perdagangan global. Yang tak mengikuti, bisa tertinggal.
Negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan di kawasan Eropa sudah beberapa langkah ke depan menerapkan kebijakan perdagangan hijau. AS telah meluncurkan Strategi Perdagangan Hijau di kawasan bea cukai dan perbatasan, serta menggulirkan kebijakan energi baru terbarukan dalam Undang-Undang Pengurangan Inflasi (Inflation Reduction Act).
Uni Eropa (UE) tidak hanya punya Arah Energi Terbarukan (RED II). UE juga bakal memiliki skema tarif preferensi umum plus (GSP+) dan Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon (CBAM). UE juga tengah mematangkan regulasi produk bebas deforestasi. Regulasi itu mensyaratkan verifikasi atau uji tuntas untuk memastikan produk yang dijual di UE tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi. Regulasi-regulasi itu merupakan bentuk komitmen UE terhadap implementasi Perjanjian Paris 2015.
Sementara itu, banyak negara berkembang dan tertinggal tertatih-tatih keluar dari ketertinggalan. Untuk membangun atau membenahi industri produk hijau, negara-negara tersebut butuh investasi dan biaya tinggi. Tanpa ditopang sistem perdagangan hijau yang memadai, kesenjangan antarnegara bisa semakin melebar.
Oleh karena itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) meminta setiap negara untuk saling membantu penciptaan produk-produk ramah lingkungan. Hal itu dapat dimulai dengan mendorong investasi, serta mempermudah perdagangan dan transfer teknologi penopang industri produk ramah lingkungan, seperti antara lain panel surya, turbin air dan angin, serta alat pereduksi emisi karbon dan limbah air.
Kemudian, langkah tersebut dapat diikuti dengan mempermudah perdagangan produk-produk hijau atau ramah lingkungan. Salah satunya melalui penghapusan tarif dan pengurangan tindakan nontarif pada produk-produk tersebut.
Negara maju seperti AS dan di kawasan Eropa sudah beberapa langkah ke depan menerapkan kebijakan perdagangan hijau. Sementara banyak negara berkembang dan tertinggal tertatih-tatih mengejar ketertinggalan.
Dalam laporan terbarunya ”World Trade Report 2022: Climate Change and International Trade”, WTO menyimulasikan dampak positif penghapusan tarif dan pengurangan tindakan non-tarif pada produk penopang energi terbarukan dan barang ramah lingkungan. Langkah itu dapat meningkatkan ekspor global produk tersebut masing-masing sebesar 109 miliar dollar AS (5 persen) dan 10,3 miliar dollar AS (14 persen) pada 2030.
Dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim (COP 27) di Sharm el Sheikh, Mesir, Senin (7/11/2022), Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan, perdagangan harus menjadi landasan aksi iklim. Perdagangan yang merupakan sarana pengganda kekuatan bagi upaya adaptasi negara-negara dalam menghadapi gangguan iklim, mengurangi biaya teknologi, serta barang-jasa sangat penting.
”Dalam jangka panjang, pasar internasional yang terbuka akan membantu negara-negara mencapai penyesuaian ekonomi dan realokasi sumber daya yang diperlukan, terutama untuk mengatasi perubahan iklim,” ujarnya melalui siaran pers.
Dampak positif penghapusan tarif dan pengurangan tindakan non-tarif pada produk penopang energi terbarukan dan produk hijau dapat meningkatkan ekspor global produk itu masing-masing sebesar 5 persen dan 14 persen.
Saat ini, aturan-aturan perdagangan hijau itu lebih banyak menghambat laju ekspor sejumlah produk Indonesia. RED II mengganjal ekspor produk biodiesel. Penerapan verifikasi atau uji tuntas produk-produk deforestasi oleh UE juga bakal berimbas pada komoditas ternak, kakao, kopi, minyak sawit, kedelai, dan kayu, termasuk produk yang mengandung atau menggunakan komoditas itu, seperti kulit, cokelat, dan furnitur.
Ketua Presidium Himpunan Pengusaha Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Abdul Sobur mengatakan, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) atau sistem uji tuntas atau ketelusuran asal-usul kayu dan pengelolaannya. Namun, UE tidak mengakui SVLK.
Produk mebel dan kerajinan Indonesia berbasis kayu yang masuk pasar UE tetap diwajibkan memiliki sertifikat Dewan Forest Stewardship Council (Forest Stewardship Council /FSC). ”Oleh karena itu, sinkronisasi sertifikasi dan standardisasi produk-produk Indonesia dengan negara-negara lain sangat diperlukan,” ujarnya.
Dalam Gambir Trade Talk #8, Oktober lalu, Ekonom Senior Makroekonomi, Perdagangan, dan Investasi Bank Dunia Indonesia dan Timor Leste, Csilla Lakatos, menuturkan, standardisasi produk memang menjadi salah satu tantangan pengembangan produk-produk hijau. Pasar luar negeri belum banyak mengenal Standar Nasional Indonesia (SNI) dan masih belum terintegrasinya standar internasional dengan SNI.
Di samping itu, masih banyak perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara Indonesia dengan negara lain atau kawasan ekonomi yang belum mengakomodasi tentang ketentuan produksi yang tidak merusak lingkungan (envorimental provision). Dari 11 FTA Indonesia sebagai negara maupun bagian dari anggota ASEAN dengan negara-negara lain, hanya empat FTA yang mengadopsi ketentuan tersebut meskipun tidak dapat dipaksakan secara hukum.
Dengan berbagai persoalan dan tantangan itu, Indonesia tetap perlu masuk ke perdagangan hijau. Jika tidak, kinerja ekspor dan pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap dapat tergerus meski tidak terlalu signifikan.
”Implementasi CBAM dan Nationally Determined Contribution (NDC) atau dokumen yang memuat komitmen dan aksi mengatasi perubahan iklim sebuah sejumlah negara berpotensi mengurangi kinerja ekspor dan pendapatan riil Indonesia pada 2030 masing-masing sebesar 0,1 persen dan 0,5 persen,” kata Lakatos.