Penempatan tenaga kerja migran secara ilegal atau nonprosedural terus terjadi. Para perekrut tenaga kerja memanfaatkan fenomena ”lapar kerja”.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 95 persen dari 80.099 pekerja migran Indonesia yang dideportasi dua tahun terakhir merupakan pekerja nonprosedural. Upaya pencegahan penempatan ilegal dilakukan lintas kementerian/lembaga. Namun, upaya itu dinilai tidak mudah karena kasus diduga melibatkan sindikat kejahatan tindak pidana perdagangan orang.
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani menyampaikan data itu, Selasa (25/10/2022), di Jakarta, saat konferensi pers terkait temuan hasil sidak penempatan ilegal 160 orang ke Timur Tengah. Menurut dia, tren deportasi pekerja migran Indonesia (PMI) nonprosedural tetap tinggi setiap tahun.
”Ada 24 kementerian/lembaga yang terlibat dalam perlindungan pekerja migran Indonesia. Komitmen pencegahan penempatan nonprosedural/ilegal (disampaikan) setiap tahun. Namun, penempatan (ilegal) seperti itu kami duga melibatkan sindikat mafia sehingga menyulitkan pencegahan atau penanganan kasus,” ujarnya.
Penempatan PMI kepada pengguna perorangan atau menjadi pekerja rumah tangga ke Timur Tengah sampai sekarang masih dimoratorium pemerintah. Realitasnya, lanjut Benny, masih ada penempatan ke kawasan itu. Salah satunya adalah 160 orang yang ditemukan BP2MI dari hasil sidak ke penampungan balai latihan kerja milik sebuah perusahaan Bekasi, Jawa Barat, baru-baru ini.
Padahal, perusahaan itu mendapat sanksi penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan usaha penempatan PMI selama tiga bulan oleh Kementerian Ketenagakerjaan dan penetapan tunda pelayanan oleh BP2MI. Sanksi itu diberikan karena perusahaan dinilai melanggar Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan di Negara-negara Kawasan Timur Tengah.
Di penampungan milik perusahaan itu, 160 perempuan akan diberangkatkan secara ilegal ke Arab Saudi. ”Apabila ada calon PMI yang tidak memenuhi semua prosedur penempatan, mereka dinyatakan nonprosedural atau ilegal. Di negara tujuan, mereka termasuk pekerja asing ilegal dan rentan mengalami kekerasan. Salah satunya adalah tindak pidana perdagangan orang,” kata Benny.
Menurut dia, selama dua tahun terakhir, BP2MI telah memberikan rekomendasi pencabutan izin usaha sekitar 40 perusahaan penempatan PMI yang diduga terlibat mengirimkan PMI secara nonprosedural. Rekomendasi ini muncul karena upaya perusahaan itu dalam perekrutan dan penempatan menjurus pada tindak pidana perdagangan orang. Rekomendasi pencabutan izin diberikan kepada Kementerian Ketenagakerjaan, lalu kementerian yang akan menindaklanjutinya.
Pada saat bersamaan, Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Mohammad Fadil Imran mengatakan, pihaknya mendukung penuh upaya pencegahan yang dilakukan kementerian/lembaga, seperti BP2MI. Sidak diharapkan bisa jadi program utama.
Terkait temuan 160 perempuan di tempat penampungan balai latihan kerja di Bekasi, Polda Metro Jaya telah menaikkan status kasusnya menjadi penyidikan. Ini berarti potensi unsur pidana penempatan ilegal sudah muncul dan kepolisian tinggal memburu pelakunya.
”Lapar kerja”
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo berpendapat, fenomena masih terulangnya penempatan pekerja nonprosedural/ilegal menunjukkan adanya situasi ”lapar kerja” sehingga ada oknum yang memanfaatkannya dengan merekrut calon tenaga kerja secara ilegal.
Lapar kerja yang dia maksud adalah masih banyak orang membutuhkan pekerjaan sehingga setiap peluang kerja akan tetap diambil walaupun belum tentu aman. ”Sistem pengupahan lapangan kerja di dalam negeri tidak memadai sehingga belum cukup menyerap pekerja,” ujarnya.
Lemahnya pengawasan, mulai dari tahap perekrutan, menjadi salah satu faktor penyebab kasus deportasi terus berlangsung. Menurut Koordinator Advokasi Kebijakan Migrant Care Siti Badriyah, sejak awal 2022 sampai sekarang pihaknya telah menerima lebih dari 200 kasus pengaduan penempatan PMI nonprosedural dan ilegal.
”Pasar/lowongan kerja di dalam negeri sedikit. Apalagi pada masa pandemi Covid-19, pemutusan hubungan kerja marak dan mencari pekerjaan semakin susah, sementara hidup tetap butuh biaya,” ujarnya.
Sejak 2017, Indonesia sebenarnya memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia. Beberapa hal yang diatur adalah verifikasi agen dan calon pemberi kerja oleh atase ketenagakerjaan atau pejabat dinas luar negeri yang ditunjuk, norma perjanjian penempatan berbentuk dokumen, dan perusahaan pengerah swasta harus memiliki dana deposit Rp 3 miliar.
Perangkat perekrutan dan penempatan juga harus disiapkan. Salah satunya berupa lembaga terpadu satu atap (LTSA). Menurut Siti, melalui LTSA, calon PMI bisa mandiri mengurus dokumen persyaratan tanpa calo. Realitasnya, masih ada calo pengerah tenaga kerja aktif di lingkup LTSA.
Menurut Sekretaris Jenderal Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Bobby Alwi, pemerintah pusat telah membentuk 45 LTSA dan 400 desa migran produktif untuk mendorong layanan perlindungan di daerah. Kelemahannya antara lain soal keberlanjutan fasilitas tersebut. Pemerintah daerah belum mengalokasikan anggaran. Problem ini diyakini terjadi akibat keterlambatan penerbitan peraturan pelaksana turunan UU No 18/2017.
”Dalam pembangunan sistem informasi terpadu, pemerintah pusat (Kementerian Ketenagakerjaan) baru menyediakan tahun ini, tetapi belum kunjung diluncurkan. Padahal, apabila layanan sistem informasi terpadu beroperasi, hal ini bisa memutus mata rantai percaloan,” ujarnya.