Perlu perubahan dalam kampanye pencegahan dan penanggulangan TPPO, baik ”offline” maupun ”online”. Harus ada narasi tandingan dari otoritas untuk mengalahkan masifnya penipuan di dunia maya agar masyarakat terlindung.
Oleh
IRFAN WAHYUDI
·3 menit baca
Publik prihatin dengan temuan di Kamboja. Sekitar 60 warga negara Indonesia menjadi korban human trafficking atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Perdagangan orang bukan hanya masalah Indonesia. Secara global, 24,9 juta orang menjadi korban (ILO, 2017) dan menguntungkan para pelaku perdagangan manusia 150 miliar dollar AS (ILO, 2014). Sebagai masalah global, Pemerintah Indonesia seharusnya lebih mewaspadai modus TPPO untuk melindungi masyarakat.
Kasus Kamboja
Perdagangan orang paling banyak di negara berkembang. Bentuk paling umum TPPO adalah eksploitasi seksual (4,8 juta korban) dan perbudakan modern (20,1 juta korban).
Perbudakan modern ini yang terjadi pada para WNI di Kamboja dengan iming-iming pekerjaan bergaji besar di bidang investasi. Informasi diperoleh di iklan di Facebook, menawarkan pekerjaan telemarketing dan customer relation officer.
Alih-alih mendapatkan pekerjaan baik, mereka dipaksa masuk sindikat penipuan dan pemerasan via daring dengan target orang Indonesia juga.
Janji manis perekrut memperdaya para pencari kerja di Tanah Air. Kebebasan para penipu di media sosial jelas merisaukan karena terbukti dengan mudah menipu dan menggunakan para korban untuk aksi kriminal secara daring.
Alih-alih mendapatkan pekerjaan baik, mereka dipaksa masuk sindikat penipuan dan pemerasan via daring dengan target orang Indonesia juga. Mengutip keterangan Migrant Care (1/8/2022), para WNI di Kamboja menerima gaji maksimal 500 dollar AS per bulan, jauh dari 1.000-1.500 dollar AS yang jadi iming-iming. Bahkan, ada yang tidak digaji.
Yang undur diri harus membayar denda 2.000-11.000 dollar AS. Mereka dikumpulkan di suatu wilayah di Sihanoukville, empat jam dari Phnom Penh.
Migrant Care juga merilis adanya overwork. Mereka bekerja sampai 17 jam per hari, dari pukul 08.00 hingga 01.00 dini hari. Para WNI juga dijual dari satu perusahaan ke yang lain tanpa persetujuan. Mereka dibebaskan setelah berhasil menghubungi keluarga, KBRI, dan memviralkan situasinya.
Di satu sisi, media sosial menjadi sarana tipu daya. Tidak ada penapisan maksimal dari pihak Facebook ataupun pencegahan dari otoritas Indonesia. Alih-alih memonitor pergerakan para kriminal di dunia maya, pemerintah memilih ”pendaftaran” entitas online.
Di sisi lain, media sosial membebaskan para WNI. Mereka berkampanye di media sosial yang kemudian menarik perhatian otoritas setempat. Artinya, media sosial juga berperan menyelamatkan nyawa.
Beruntung mereka masih dapat mengakses internet. Bayangkan korban perdagangan manusia yang disekap di tempat mereka bekerja secara paksa.
Perlu perubahan dalam kampanye pencegahan dan penanggulangan TPPO, baik offline maupun online. Pihak Kementerian Ketenagakerjaan, Dinas Sosial, BP2MI, dan otoritas Kementerian Luar Negeri perlu bersinergi agar kampanye lebih masif. Bisa melalui ajang sosialisasi populer, seperti festival dan perkumpulan. Platform media daring yang variatif juga dapat menjadi outlet.
Peristiwa ini menjadi momentum kick-off program pemerintah. Apalagi, pada 30 Juli 2022 ada peringatan World Day Against Trafficking in Persons dengan tema ”Use and Abuse of Technology”. Peran serta organisasi non-pemerintah seperti Migrant Care, SBMI, dan Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabarbumi) perlu diperbesar porsinya.
Lebih penting lagi adalah menekan operator media sosial, seperti Facebook dan Instagram, untuk aktif menapis ketat konten-konten yang terindikasi fraud, menipu, dan memeras.
Harus ada narasi tandingan dari otoritas untuk mengalahkan masifnya penipuan di dunia maya agar masyarakat terlindung dari kejahatan yang memakai ruang informasi publik.
Irfan Wahyudi, Wakil Dekan III FISIP Universitas Airlangga