Perajin Tempe Desak Pemerintah Kendalikan Harga Kedelai
Para produsen tempe mendesak pemerintah segera mengendalikan harga kedelai. Upaya mendongkrak produksi kedelai di dalam negeri perlu ditempuh dengan pengaturan impor guna memotivasi petani.
Oleh
REBIYYAH SALASAH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perajin tempe mengeluhkan lonjakan kedelai yang membuat pendapatan mereka nyaris sama dengan biaya produksi. Di sisi lain, mereka tidak bisa menaikkan harga tempe lagi lantaran khawatir produknya tidak laku di pasaran. Mereka mendesak pemerintah untuk segera mengendalikan harga kedelai.
Menurut data Badan Pangan Nasional, rata-rata nasional harga kedelai biji kering impor mencapai Rp 14.190 per kilogram pada Jumat (14/10/2022). Artinya, ada kenaikan sebesar 1,8 persen atau Rp 250 sejak satu bulan lalu (14/9/2022) yang rata-rata nasional harganya Rp 13.940 per kg. Adapun sejak awal tahun 2022, kenaikannya mencapai 17,3 persen.
Sri, perajin tempe di Johar Baru, Jakarta Pusat, mengatakan, dalam sehari bahkan bisa terjadi dua kali kenaikan harga kedelai. Pada Kamis (13/10/2022) pagi, misalnya, harga kedelai naik Rp 100 dari Rp 13.000 per kg pada hari sebelumnya. Saat Sri membeli kedelai pada Kamis siang, harganya sudah naik lagi menjadi Rp 13.200 per kg.
”Harga kedelai mulai melonjak pada 2020. Namun, saya baru menaikkan harga tempe menjelang Lebaran pada Mei (2022) lalu. Sekarang, saya tidak bisa menaikkan harga lagi karena takut enggak ada yang beli,” ujar Sri.
Sri menaikkan harga tempenya dari Rp 4.000 menjadi Rp 4.500 per papan kecil. Harga itu kemudian ia pertahankan kendati biaya produksinya kini membengkak. Peningkatan biaya itu juga dipicu kenaikan harga BBM pada Senin (5/9/2022).
Selain harga kedelai sebagai bahan utama tempe yang melonjak, ia juga menghadapi kenaikan upah pekerja serta kenaikan harga plastik yang digunakan sebagai bungkus tempe. Akibatnya, pendapatan Sri nyaris sama dengan biaya produksi. Dalam sehari, Sri mengantongi hasil penjualan sebesar Rp 1,8 juta per hari. Sementara itu, biaya produksi mencapai Rp 1,7 juta.
Hal serupa dialami pembuat tempe lain di Johar Baru, Mariah. Ia pun menyiasati keadaan itu dengan mengecilkan ukuran tempe karena merasa tidak mungkin lagi menaikkan harga. Perempuan yang menjual tempenya di Pasar Tanah Abang ini juga mengatakan, ketimbang mengeluarkan uang untuk subsidi, pemerintah sebaiknya menggunakannya untuk menstabilkan harga.
”Kalau harga kedelai sulit untuk turun, setidaknya pemerintah membuat harga kedelai stabil. Jangan sampai harga kedelai terus naik. Itu bikin perajin tempe menderita,” ujar Mariah.
Kementerian Perdagangan menyalurkan subsidi untuk produsen tempe dan tahu selama April hingga Juli 2022.
Kementerian Perdagangan menyalurkan subsidi untuk produsen tempe dan tahu selama April hingga Juli 2022. Skema penyaluran subsidi dimulai dengan pembelian kedelai oleh Perum Badan Urusan Logistik (Bulog). Kedelai tersebut kemudian dibeli oleh koperasi produsen tempe tahu di daerah dengan subsidi harga Rp 1.000 per kg. Subsidi akan diperpanjang hingga 31 Desember 2022.
Ketua Umum Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) Aip Syarifuddin, saat dihubungi, mengatakan, subsidi hanya solusi jangka pendek. Untuk solusi jangka menengah dan jangka panjang, pemerintah perlu mengambil langkah lain.
Langkah yang bisa diambil antara lain meningkatkan produksi kedelai lokal dengan membantu petani dalam bentuk bibit, lahan, dan teknologi. Selain itu, mengatur impor kedelai dengan melibatkan BUMN dalam proses impor untuk menyeimbangkan perusahaan swasta. Terakhir, mempromosikan tempe dan tahu kepada masyarakat agar tingkat konsumsi terhadap kedua produk itu tinggi.
”Kedelai lokal perlu menjadi perhatian pemerintah sehingga ketersediaannya tercukupi dan kualitasnya terjaga. Sebenarnya, kedelai lokal ini gizinya jauh lebih bagus dari kedelai impor lantaran pertumbuhannya natural, bukan GMO (genetically modified organism atau produk rekayasa genetika),” kata Aip.
Indonesia selama ini masih sangat mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan kedelai. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai pada tahun 2021 mencapai 1,48 miliar dollar AS atau Rp 22,13 triliun. Nilai tersebut meningkat 47,48 persen dari tahun sebelumnya. Volume impor kedelai mencapai 2,49 juta ton atau naik 0,58 persen dari tahun sebelumnya. Akibat ketergantungan pada impor yang cukup tinggi, Indonesia tidak bisa terhindar dari kenaikan harga kedelai yang mengikuti situasi global.
Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, saat dihubungi, berpendapat, pengaturan impor menjadi salah satu langkah yang dapat diambil pemerintah untuk menstabilkan harga kedelai. Khudori mencontohkan kebijakan yang dapat diterapkan adalah kuota tarif impor.
”Misal kebutuhan kita 3 juta ton kedelai, sepertiganya diimpor oleh Bulog, sedangkan sisanya boleh diimpor swasta dengan tarif tertentu. Perusahaan mana pun boleh mengimpor, asal membayar tarif. Tarifnya disesuaikan dengan harga di pasar dunia dan nilai tukar,” kata Khudori.
Kebijakan impor tersebut nantinya akan meningkatkan produktivitas petani dalam negeri. Namun, pengaturan itu juga perlu diiringi upaya lain seperti penetapan harga acuan kedelai lokal untuk menjamin pendapatan petani. Sebab, jika petani tidak terjamin penghasilannya, mereka akan memilih menanam komoditas lain.
Sebelumnya, pemerintah memberi perhatian khusus pada kedelai lokal. Bahkan, Presiden memimpin rapat tertutup tentang kedelai pada Senin (19/9/2022). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Presiden Joko Widodo menginginkan Indonesia tidak lagi bergantung penuh pada kedelai impor (Kompas, 20/9/2022).
”Program swasembada kedelai sudah dicanangkan selama bertahun-tahun, dalam setiap kepemimpinan Presiden. Namun, kalau lihat hasil produksinya jauh dari target. Pada 2021, produksi kedelai lokal hanya 215.000 ton, sementara kebutuhannya 3 juta ton. Artinya, perlu ada evaluasi dari pemerintah agar target swasembada bisa terwujud,” ujar Khudori.