BBM dan Beras Picu Inflasi Tinggi, Nelayan Paling Terdampak
Kenaikan inflasi akan berlanjut karena dampak kenaikan harga BBM masih akan berimbas ke sektor-sektor lain, temasuk pangan dan pangan olahan. Di sisi lain, kenaikan harga BBM dan beras mulai menggerus daya beli nelayan.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan harga bahan bakar minyak atau BBM dan beras memicu inflasi tinggi pada September 2022. Nelayan menjadi kelompok paling rentan yang paling terimbas kenaikan harga komoditas energi dan pangan itu.
Badan Pusat Statistik (BPS), Senin (3/10/2022), merilis, tingkat inflasi nasional pada September 2022 mencapai 1,17 persen secara bulanan dan 5,95 persen secara tahunan. Inflasi bulanan itu merupakan yang tertinggi sejak Desember 2014 yang inflasinya tercatat 2,46 persen, sementara inflasi tahunan menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015 yang mencapai 6,25 persen.
Barang dan jasa dalam kelompok pengeluaran transportasi menjadi penyebab utama inflasi. Pada September 2022, kelompok pengeluaran tersebut mengalami inflasi 8,88 persen dan memberi andil inflasi 1,08 persen.
Komoditas dan jasa yang dominan memberikan andil inflasi dalam kelompok tersebut adalah bensin dengan andil 0,89 persen secara bulanan, tarif angkutan dalam kota 0,09 persen, solar 0,03 persen, dan tarif angkutan antarkota 0,03 persen. Selain itu, tarif ojek daring dan taksi daring juga memberikan andil masing-masing 0,02 persen dan 0,01 persen.
Adapun kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau justru mengalami deflasi 0,3 persen pada Sepember 2022. Kendati begitu, masih ada sejumlah komoditas pangan yang mengalami inflasi. Salah satunya adalah beras yang inflasi tahunannya meningkat dari 1,13 persen pada Agustus 2022 menjadi 2,56 persen pada September 2022. Andil komoditas pangan pokok tersebut terhadap inflasi sebesar 0,04 persen secara bulanan dan 0,08 persen secara tahunan.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, pendorong utama kenaikan inflasi September 2022 adalah komponen harga yang diatur pemerintah, yakni pertalite, solar, dan pertamax. Kenaikan harga BBM itu juga menyebabkan tarif transportasi umum dan barang turut menyesuaikan.
”Penyesuaian harga BBM itu telah berdampak pada lonjakan inflasi kelompok energi hingga mencapai 16,48 persen secara tahunan pada September 2022,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar secara hibrida di Jakarta.
Untungnya, lanjut Margo, inflasi di sektor energi itu cukup teredam oleh penurunan harga pangan. Meskipun begitu, harga pangan tetap perlu dicermati karena berpotensi terdampak kenaikan harga BBM. Beras, misalnya, harganya sudah naik lantaran dipengaruhi oleh kenaikan biaya angkut dan buruh harian.
Selain itu, kenaikan harga BBM masih akan merembet ke berbagai sektor lain. Di sektor perdagangan besar, kenaikan transportasi turut mendongkrak harga-harga bahan bangunan/konstruksi. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) bahan bangunan/konstruksi pada September naik 1,27 persen lantaran kenaikan harga solar, pasir, batu fondasi bangunan, semen, dan batu split.
Penyesuaian harga BBM itu telah berdampak pada lonjakan inflasi kelompok energi hingga mencapai 16,48 persen secara tahunan pada September 2022.
Merujuk pada data historis inflasi pada 2014, Margo menyatakan, imbas kenaikan harga BBM ke berbagai sektor ekonomi akan terjadi pada bulan saat kenaikan dan pasca-kenaikan harga BBM. Jika tidak ada faktor lain yang menjadi pemicu, inflasi itu akan melandai.
BPS mencatat, pada 17 November 2014 pemerintah menaikkan harga premium dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp 8.500 per liter. Pemerintah juga menaikkan harga solar dari Rp 5.500 per liter menjadi Rp 7.500 per liter. Kebijakan itu menyebabkan tingkat inflasi pada November 2014 sebesar 6,23 persen dan Desember 2014 meningkat lagi menjadi 8,36 persen.
”Melihat pola historis itu, inflasi pada September 2022 yang sebesar 5,95 persen bisa naik lebih tajam di Oktober 2022. Apalagi beberapa kota belum menyesuaikan tarif angkutan pasca-kenaikan harga BBM. Pasokan pangan juga tetap perlu dijaga, khususnya beras,” kata Margo.
Dalam kesempatan itu, BPS juga merilis nilai tukar petani (NTP) dan nilai tukar usaha petani (NTUP). Dari lima subsektor, NTP dan NTUP subsektor perikanan tangkap mengalami penurunan paling signifikan. Hal itu terjadi lantaran kenaikan harga solar dan beras.
NTP perikanan tangkap atau nilai tukar nelayan (NTN) turun 1,84 persen dari 107,21 pada Agustus 2022 menjadi 105,4 pada September 2022. Dalam periode yang sama, NTUP perikanan tangkap juga turun 3,97 persen dari 109,95 menjadi 105,58.
Menurut Margo, hal itu terjadi lantaran pengeluaran (indeks yang dibayar) lebih besar daripada pendapatan (indeks yang diterima) nelayan. Komoditas penyumbang kenaikan indeks yang dibayar nelayan baik dari sisi NTN maupun NTUP antara lain bensin, solar, ongkos angkut, dan upah penangkapan ikan.
Penurunan NTP juga terjadi di subsektor hortikultura dan peternakan. Adapun penurunan NTUP juga terjadi di subsektor hortikultura, tanaman perkebunan rakyat, dan peternakan.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang hadir dalam konferensi pers tersebut mengatakan, kenaikan harga BBM sulit dihindari oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, lantaran kenaikan harga minyak mentah. Meskipun begitu, harga BBM di Indonesia yang dinaikkan pada awal September 2022 masih lebih rendah dibandingkan dengan sejumlah negara lain karena pemerintah masih menyubsidinya.
Untuk meredam dampak kenaikan harga BBM, pemerintah juga telah menyalurkan berbagai bantuan sosial, mulai dari bantuan langsung tunai (BLT) BBM, bantuan pangan, hingga bantuan pembelian bahan baku pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Selain itu, pemerintah pusat juga menggulirkan dana transfer umum sebesar 2 persen untuk meredam inflasi di daerah-daerah.
Dana itu, lanjut Tito, dapat digunakan untuk bansos dan menyubsidi biaya transportasi dari daerah produsen pangan ke daerahnya masing-masing. Pemerintah desa di setiap daerah juga dapat menggunakan sisa dana desa sebesar 30 persen untuk bantuan sosial.
”Pemerintah daerah juga dapat menggunakan sebagian belanja tidak terduga untuk mengendalikan inflasi. Ini sudah akhir tahun, tetapi dananya masih cukup besar, yakni senilai total Rp 7 triliun untuk semua daerah,” katanya.
Tito meminta agar setiap pemerintah daerah berkompetisi dan berinovasi mengendalikan inflasi. Setiap pemerintah daerah perlu melihat angka inflasi, detail faktor dan komoditas penyebabnya, mencari solusi, dan melakukan langkah-langkah konkret untuk menekannya. Hal ini penting mengingat penyebab inflasi di setiap daerah cukup beragam dan berbeda meskipun ada faktor umum, yakni transportasi.