Pemerintah menerbitkan aturan baru tentang percepatan pengembangan energi terbarukan untuk listrik. Petunjuk tenis, terutama tentang insentif, dinantikan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memberikan sejumlah insentif kepada badan usaha dalam pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Insentif yang tertuang dalam aturan terbaru tersebut diharapkan dapat mempercepat pengembangan energi terbarukan yang potensinya melimpah, tetapi pemanfaatannya masih minim. Namun, dibutuhkan petunjuk teknis dari aturan tersebut.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Perpres tersebut diundangkan pada 13 September 2022. Ketentuan mengenai insentif tertuang dalam Bab V tentang Dukungan Pemerintah pada Pasal 22. Insentif yang diberikan pemerintah dalam bentuk fiskal dan nonfiskal.
Insentif fiskal yang dimaksud adalah pembebasan bea masuk impor, fasilitas pembiayaan lewat penjaminan melalui BUMN yang ditugaskan negara, dan fasilitas perpajakan. Sementara fasilitas nonfiskal dalam Pasal 22 tersebut diberikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai aturan yang berlaku. Salah satu bentuk dukungan, baik di pusat maupun daerah, adalah agar perizinan pengembangan energi terbarukan dipermudah.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro saat dihubungi, Kamis (15/9/2022), di Jakarta, mengatakan, terbitnya Perpres tersebut menjadi hal yang sangat baik. Saat ini yang utama adalah perihal implementasinya.
Ia mengatakan, intervensi dari pemerintah atau subsidi akan tetap diperlukan. Mekanisme yang diambil pemerintah untuk menutup hal tersebut bisa bermacam-macam, salah satunya pengurangan pajak bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Dengan demikian, pemerintah tidak harus mengeluarkan langsung dari APBN. ”Kalau tidak ada intervensi, tidak akan jalan,” ucapnya.
Meski membawa harapan dan sebagai pintu masuk, lanjut Komaidi, implementasi tidak akan sederhana karena dibutuhkan aturan turunan dan petunjuk teknisnya. Oleh karena itu, implementasi dari perpres perlu dipastikan.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno menambahkan, payung hukum merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah terhadap pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Selain itu, diperlukan juga insentif agar akselerasi dapat terwujud.
”Pasalnya, Indonesia memiliki dua target, yakni bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 dan melepaskan ketergantungan dari energi berbasis fosil. Biaya pengembangan energi terbarukan membutuhkan biaya yang tinggi, terlebih terkait pengembangan infrastrukturnya, sehingga akan berdampak pada harga jual listrik. Implementasi insentif ini penting,” kata Eddy.
Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Rofik Hananto, menambahkan, yang menjadi kendala selama ini tidak hanya soal harga, tetapi juga proses tender dan negosiasi harga. Dengan penetapan harga batas atas, masih ada ruang negosiasi antara PLN dan pengembang energi terbarukan. Biasanya, dari yang sudah-sudah, negosiasi berlangsung lama. Beda halnya jika, misalnya, harga telah ditetapkan (fixed).
Ia menambahkan, soal tender ada perbedaan di antara jenis energi terbarukan yang satu dan lain, misalnya pada solar (panel surya) yang relatif tak memerlukan studi awal besar, sementara lainnya berbeda. ”Aspek-aspek teknis harus diperhatikan dalam mengimplementasikan perpres ini jika ingin mempercepat pengembangan energi terbarukan,” ucapnya.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, saat dikonfirmasi terkait upaya pemerintah agar implementasi Perpres No 112/2022 berjalan, hingga Kamis malam, belum merespons.
Sementara itu, Felix Frederick Widiono dari bagian Business Development Project Control Ormat Geothermal Indonesia, perusahaan pengembang listrik panas bumi, di sela-sela International Geothermal Convention & Exhibition (IIGCE) di Jakarta, Kamis, menyambut positif terbitnya perpres tersebut.
Selama ini pengembangan lebih banyak di wilayah timur Indonesia yang secara keekonomian lebih menguntungkan. ”Sekarang, sederhananya disetarakan dan bisa memberi ruang eksplorasi bagi kami, terutama untuk Sumatera yang memiliki banyak sumber panas bumi. Sebelumnya kami lebih fokus di timur,” ujarnya.