Industri Memainkan Peranan Penting dalam Transisi Energi
Seiring peningkataan penggunaan energi bersih, pemerintah merespons dengan kebijakan, seperti menyiapkan sejumlah teknologi serta penguatan kerangka peraturan. Itu untuk memastikan keberhasilan transisi energi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring menguatnya perkembangan transisi energi dari energi fosil ke energi yang lebih bersih, di tingkat global, industri pendukungnya pun terus tumbuh dan semakin kompetitif. Ke depan, ini akan menjadi salah satu kontributor pembangunan perekonomian Indonesia, terutama dalam mengejar target emisi nol bersih atau NZE pada 2060.
Staf Ahli Lingkungan dan Perencanaan Tata Ruang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Wafid, dalam pembukaan pameran Energy & Engineering di Jakarta International Expo, Jakarta, Rabu (14/9/2022), mengatakan, industri di sektor ESDM menjadi salah satu penopang perekonomian. Namun, seperti sektor lainnya, sektor ESDM juga tengah menghadapi tantangan. Pascapandemi Covid-19, ada lagi guncangan ekonomi yang membuat harga komoditas energi dunia melambung.
”Hal ini mendorong tren kebijakan energi global bergerak dari energi fosil menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Energi terbarukan di Indonesia memiliki potensi besar dan beragam. Peluang investasi terbuka lebar,” kata Wafid.
Seiring peningkataan penggunaan energi bersih, imbuh Wafid, pemerintah merespons dengan kebijakan, seperti menyiapkan sejumlah teknologi serta penguatan kerangka peraturan. Hal tersebut untuk memastikan keberhasilan transisi energi di Indonesia. Salah satunya, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
”RUPTL PLN 2021-2030 memberi porsi lebih besar kepada energi terbarukan sehingga akan kontribusi lebih besar dalam penambahan kapasitas pembangkut listrik, yaitu 20,9 gigawatt (GW). Sumber energi terbarukan untuk listrik, yakni 51,6 persen dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga 2030,” ucapnya.
Wafid menambahkan, pemerintah juga terus mendorong green product (produk hijau) pada sektor jasa dan industri hijau, yang digunakan untuk menghindari penerapan pajak karbon di tingkat global. Kemudian, program de-dieselisasi, yaitu konversi 5.200 unit pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) ke pembangkit berbasis energi terbarukan yang menghasilkan emisi lebih rendah.
Selain itu, kebijakan biodiesel D40 (pencampuran 40 persen bahan bakar nabati) juga sudah diuji jalan dengan 12 jenis kendaraan berbeda. ”Terobosan yang terus didorong juga adalah co-firing (pemanfaatan biomassa pada PLTU) yang ditargetkan 10,2 juta ton biomassa, serta eksplorasi panas bumi,” kata Wafid.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo menambahkan, saat ini, Indonesia masih mengimpor bahan bakar minyak (BBM) dalam jumlah signifikan. Sementara di sisi lain akan terus mendorong transisi energi melalui solusi alternatif, yaitu pengembangan energi terbarukan.
Begitu juga optimalisasi gas alam, yang memiliki emisi lebih rendah ketimbang energi fosil lainnya, untuk pembangkit listrik. Kemudian, kendaraan listrik berbasis baterai dan kompor listrik induksi untuk memasak sebagai pengganti elpiji.
”Ke depan, diperlukan skema yang efektif dan efisien. Ini akan menentukan apakah kita bisa sebesar-besarnya menekan impor BBM dan menggantikannya dengan energi alternatif yang lebih rendah emisi. Juga kontribusi dalam tatanan global untuk mencapai NZE 2060, dengan tetap mampu menyediakan energi bagi Indonesia,” tuturnya.
Basilio menjelaskan, dalam melaksanakan mekanisme transisi energi, NZE atau emisi nol bersih bukan berarti penghapusan energi fosil. Namun, tetap memberi peluang pada energi fosil, tetapi jumlah emisi yang dihasilkan akan setara yang diserap bumi.
Lebih murah
Gordon Sinaga, dari bagian pengembangan bisnis EcoFlow Indonesia, perusahaan yang memproduksi perangkat energi terbarukan, menuturkan bahwa saat ini biaya energi terbarukan semakin kompetitif. Pada panel surya, misalnya, sekitar enam tahun lalu, harga perangkat Rp 10 juta untuk kapasitas 50 watt. Namun, saat ini, untuk kapasitas yang sama turun menjadi sekitar Rp 1 juta.
Seiring dengan beragamnya perangkat pemanfaatan energi terbarukan, ia yakin permintaan akan semakin meningkat dan harganya akan lebih kompetitif. ”Kami lihat, energi terbarukan ini akan semakin didorong. Saat ini, kami menyediakan perangkatnya saja, berkisar Rp 7-8 juta untuk 400 watt, dengan efisiensi 23-25 persen,” ucap Gordon.
Andreas Yonas, Direktur Teknik Syntek, perusahaan di bidang yang sama, mengatakan, penggunaan energi terbarukan, seperti panel surya, memang meningkat. Namun, untuk proyeksi, ia menilai iklim bisnisnya belum ada kepastian meskipun ia meyakini pada akhirnya semua akan beralih ke energi hijau. Adapun Syntek lebih fokus pada skala komersial dan industri.
”Jadi, yang diperlukan saat ini, tinggal kebijakannya saja agar dipermudah. Sebab, membuat PLTS itu, kan, harus ada perizinan dan prosesnya banyak. Beda, misalnya, dengan negara seperti Vietnam dan China yang industrinya diberi insentif. Kalau di Indonesia, (insentif) lebih ke masyarakat umum ketimbang pelaku industri,” papar Andreas.
Adapun Energy & Engineering di Jakarta International Expo, yang diselenggarakan PT Pamerindo Indonesia, berlangsung 14-17 September 2022 dengan mengangkat lima sektor, yakni terkait kelistrikan, minyak dan gas bumi, pertambangan, konstruksi, dan concrete show Southeast Asia. Pameran yang pesertanya berasal dari 42 negara/daerah dan menampilkan 2.700 produk dan jasa itu mengedepankan energi terbarukan, sustainability, pemberdayaan talenta muda, serta beragam inovasi teknologi di bidang energi dan teknik.