Risiko Pasar yang Fluktuatif Jadi Perhatian dalam G20 Transisi Energi
Pada ETWG G20, setiap negara memiliki target masing-masing dalam menjalankan transisi energi. Namun, akan masih dibahas hal-hal yang nantinya akan dirumuskan menjadi kesepakatan atau prinsip-prinsip bersama.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Kendati transisi energi disepakati untuk terus dipacu, ketahanan dan keamanan energi menjadi hal penting yang dibicarakan dalam Energy Transition Working Group 3 G20 Presidensi Indonesia, di Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (1/9/2022). Risiko pasar dan harga energi yang saat ini fluktuatif pun menjadi perhatian.
Ketua Energy Transition Working Group (ETWG) G20 Yudo Dwinanda Priaadi, dalam konferensi pers Kamis malam, mengatakan, dalam forum tersebut, semua negara sepakat dalam percepatan transisi energi dengan tetap memberikan aksesibilitas pada masyarakat dunia. Selain itu, jenis energi yang dikembangkan dan pendanaan pun amat penting.
”Kami tetap melanjutkan transisi energi, menuju energi yang lebih bersih atau emisi yang lebih rendah. Perekonomian (dunia) pun akan pulih. Namun, ketahanan atau kecukupan energi amat penting. Setiap negara meyakini itu demi terpenuhinya kebutuhan energi. Ketahanan energi juga berkait dengan mitigasi mengenai risiko karena pasar (dan harga energi) sedang fluktuatif dan masih di atas (tinggi),” kata Yudo.
Yudo menambahkan, setiap negara memiliki target masing-masing dalam menjalankan transisi energi. Namun, akan masih dibahas hal-hal yang nantinya akan dirumuskan menjadi kesepakatan atau prinsip-prinsip bersama yang akan tertuang dalam Bali Compact. Akan tetapi, hingga Kamis malam, perumusan tersebut belum tuntas.
Mengenai langkah konkret yang disiapkan untuk diambil, termasuk mengenai upaya melindungi negara-negara berkembang, semuanya baru akan disampaikan pada Energy Transitions Ministrial Meeting (ETMM), Jumat (2/9). ”Tentu, kepentingan negara-negara berkembang kita suarakan. Kami sedang siapkan,” jelas Yudo.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, dalam transisi energi, pasar ibarat mesin, teknologi ialah gigi penggerak, dan energi sebagai bahan bakarnya. Bahan bakar tersebut berarti dukungan pendanaan. Guna meningkatkan kecepatan, kolaborasi antarnegara yang memimpin dan membutuhkan perlu terus diperkuat.
Indonesia, kata Arifin, memiliki kekayaan sumber energi terbarukan, seperti tenaga matahari, panas bumi, air, angin, hingga arus laut. ”Program energi hijau penting demi tercapainya tujuan. Kita juga punya sumber daya mineral yang siap untuk dimanfaatkan dan kemungkinan ada negara lain yang memiliki teknologinya,” ucap Arifin.
Pensiun dini PLTU
Arifin menuturkan, salah satu upaya dalam transisi energi ialah dengan menghentikan operasi lebih awal pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batubara. Pada 2022, pihaknya menargetkan 2-3 unit dapat dipensiunkan. Akan tetapi, diskusi dan negosiasinya masih dalam proses. Apabila sudah dilakukan, nantinya akan berlanjut pada PLTU lain.
”Jadi, strategi kami adalah memensiunkan pembangkit dengan batubara secara bertahap. Memang, masih akan tumbuh hingga 2030. Namun, setelah itu tidak akan ditambah lagi, kecuali yang sudah konstruksi. Total, ada 17-19 IPP (independent power producer) yang masuk dalam program pensiun PLTU,” ucapnya.
Direktur Jenderal International Renewable Energy Agency (IRENA) Francesco La Camera menambahkan, pengembangan energi terbarukan membawa manfaat bagi lingkungan dan perekonomian global. Oleh karena itu, perlu dukungan komitmen kebijakan dan dukungan inovasi, tidak hanya pada teknologi, tetapi juga pada kebijakan, model bisnis, dan desain pasar.
Selain itu, investasi juga menjadi hal penting demi tercapainya target-target setiap negara akan capaian transisi energi. ”Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan internasional menjadi krusial dalam mendukung dan memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal. Semua negara perlu memperkuat kapasitas dan memastikan berbagai dukungan teknis,” ujar La Camera.
IRENA pun mendorong pengurangan emisi pada 2060 dengan sejumlah pendekatan teknologi, antara lain, hidrogen, elektrifikasi, efisiensi energi, dan energi terbarukan berbasis penghilangan CO2. Pada akhirnya, 90 persen dekarbonisasi pada 2050 akan terkait dengan efisiensi, elektrifikasi, bioenergi dengan carbon capture and storage (CCS), serta hidrogen hijau.
UK (United Kingdom) Minister for Energy, Clean Growth and Climate Change, The Rt Hon Greg Hands MP mengatakan, perencanaan jangka panjang serta kebijakan regulasi krusial dalam pengembangan energi terbarukan. Di sisi lain, investasi yang mendukung juga akan menyukseskan upaya akselerasi transisi energi.