PMK yang di bawah kendali BNPB sebenarnya membawa harapan. Namun, birokrasi yang melibatkan banyak kementerian/lembaga dinilai membuat penanganannya belum optimal. Kasus terus menyebar dan kini menjangkau 21 provinsi.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyakit mulut dan kuku terus meluas kendati penanganannya sudah di bawah kendali satuan tugas di tingkat nasional dan pemerintah telah menerbitkan sejumlah ketentuan. Penyakit yang menyerang hewan ternak itu kini sudah terdeteksi di 232 kabupaten/kota di 21 provinsi. Birokrasi rumit di saat situasi darurat dinilai turut menghambat penanganan. Vaksinasi pun mesti terus digenjot.
Berdasarkan data di laman siagapmk.id, Rabu (6/7/2022) siang, tercatat 320.698 ekor hewan dinyatakan sakit. Jumlah itu tersebar di 232 kabupaten/kota di 21 provinsi. Jumlah itu mencakup 2.051 ekor hewan mati, 2.831 ekor dipotong bersyarat, 108.714 ekor sembuh, dan 207.146 ekor belum sembuh. Adapun vaksin telah diberikan ke 340.260 ekor hewan.
Jawa Timur menjadi provinsi dengan jumlah hewan terjangkit penyakit mulut dan kuku (PMK) terbanyak, yakni mencapai 125.633 ekor, lalu Nusa Tenggara Barat dengan 49.879 ekor dan Jawa Tengah 36.195 ekor. Bali dan Kepulauan Riau menjadi dua provinsi terakhir yang melaporkan kasus PMK.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Robi Agustiar, Rabu (6/7/2022), mengatakan, PMK terus merebak. Sapi perah menjadi jenis hewan ternak yang paling terdampak karena selain lebih peka terhadap PMK, populasinya juga terbatas. Saat ini, sesuai laporan dari lapangan, kambing dan domba juga sudah banyak tertular, terutama di Jawa.
”Kambing-kambing perah milik peternak mulai dilaporkan tertular (PMK). Memang, skalanya kecil jika dibandingkan sapi sehingga tak terlalu terekspose. Yang kami khawatirkan, jika penyebaran makin parah, (PMK) akan mengarah kepada hewan-hewan liar, seperti babi, kijang, dan banteng. Jika terjadi demikian, penanganan akan lebih sulit,” ujar Robi.
Robi mengatakan, penanganan PMK, yang kini di bawah komando Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), yang juga menangani Covid-19, sebenarnya membawa harapan. Namun, birokrasi yang melibatkan banyak kementerian/lembaga membuat penanganannya dinilai belum optimal. Sementara PMK terus menyebar dengan cepat.
”Sudah ada hampir 20 kebijakan, lewat keputusan, instruksi, dan lainnya (diterbitkan) pemerintah. Namun, implementasi cepat belum terlihat. Padahal, situasi saat ini sudah SOS (darurat). Saya tidak tahu apakah pemerintah memandang problem ini dengan serius? Sekat-sekat birokrasi seharusnya dihilangkan di saat situasi darurat,” katanya.
Ia mencontohkan terkait pengadaan vaksin PMK yang baru 800.000 dosis, padahal pemesanannya 3 juta dosis. Dalam rapat dengar pendapat Komisi IV DPR RI dengan pejabat eselon I Kementerian Pertanian (Kementan), Senin (27/6/2022), terungkap, sebanyak 2,2 juta dosis vaksin belum dapat diambil pemerintah karena anggarannya belum cair.
Mengenai data, lanjut Robi, data pada Sistem Informasi Kesehatan Hewan Nasional (Isikhnas) Kementerian Pertanian sulit untuk menggambarkan kondisi riil di lapangan. Sebab, tidak semua daerah mampu dijangkau petugas. Namun, khusus sapi perah Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI), yakni satu data GKSI, menurut dia jauh lebih akurat daripada data Isikhnas.
Anggota Komisi IV dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Slamet, juga mendorong pemerintah mengatasi hambatan birokrasi terkait penanganan PMK. ”Saya selalu sampaikan, jangan sampai instruksi Pak (Presiden) Jokowi tak bertuah. Dicek anak buahnya, termasuk Kementerian Keuangan. Bagaimana mau beli (2,2 juta vaksin) kalau uangnya belum cair,” katanya.
Ia menambahkan, menjelang Idul Adha, pergerakan hewan mestinya tetap diperbolehkan, tetapi disertai dengan mitigasi. Langkah itu juga diikuti dengan menggencarkan sosialisasi terkait pemotongan hewan yang sesuai prosedur. Kebutuhan hewan kurban di daerah-daerah haruslah terpenuhi. Indonesia juga perlu menunjukkan kepada dunia bahwa penanganan PMK ini serius.
Dosen Fakultas Peternakan IPB University, Epi Taufik, menuturkan, dari sisi birokrasi, ada kehati-hatian dalam anggaran, tetapi di saat bersamaan PMK menyebar cepat. ”Karena itu, Covid-19 dan PMK menjadi pelajaran ke depan, bagaimana saat terjadi kedaruratan seperti ini, birokrasi yang ada tidak menghambat penanganan. Sebab, penanganannya butuh cepat,” ujarnya.
Epi juga menyoroti PMK yang telah menulari sapi-sapi di Bali. Situasi itu perlu mendapat perhatian karena Bali merupakan salah satu kantong hewan ternak. Selain itu, sapi bali ialah plasma nutfah atau sapi Indonesia asli serta salah satu jenis sapi terbanyak. Apabila tidak dikendalikan dengan tepat, PMK dikhawatirkan terus menyebar di pulau tersebut.
”Memang, tingkat kematian akibat PMK rendah, sekitar 5 persen untuk sapi dewasa. Namun, jika sudah kena PMK, produktivitas hewan pasti akan menurun. Akan membutuhkan biaya dan waktu untuk mengembalikan produktivitas. Bali ini sumber ternak (sapi potong). Selama ini dijaga ketat, tetapi kemudian jebol juga (oleh PMK),” katanya.
Di luar Bali, Epi juga menyoroti sapi perah yang amat terdampak PMK. Di Jawa Timur, misalnya, sebagai gudang susu nasional, produksinya dilaporkan sudah menurun 40 persen. Ancaman akan lebih nyata jika populasi berkurang karena sapi-sapi perah mati. Pasalnya, apabila populasi sapi potong berkisar 14-15 juta ekor, sapi perah hanya sekitar 500.000 ekor.
”Itu (500.000 ekor) pun tidak semua betina yang produktif. Betina laktasi hanya 250.000-an ekor. Apabila sebagian mati, artinya kita harus impor dara bunting. Impor sapi jenis ini mahal, bisa sekitar Rp 50 juta per ekor. Untuk sapi potong, masih ada NTT (Nusa Tenggara Timur) dan Sulawesi Selatan yang memang gudangnya. Tapi, sapi perah ini, dari mana? Ini mengkhawatirkan,” tuturnya.
Hal tersebut juga jelas mengancam produksi susu segar nasional. Sebab, meskipun bisa sembuh dari PMK, produktivitasnya anjlok. Sebelum ada PMK, produksi susu dalam negeri hanya memenuhi sekitar 20 persen kebutuhan nasional, sedangkan sisanya atau sekitar 80 persen kebutuhan dipenuhi oleh susu impor. Apabila penularan kian meluas pada sapi perah, importasi susu segar bisa meningkat signifikan.
Sekretaris Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Makmun dalam konferensi pers update penanganan PMK secara daring, Selasa (5/7/2022) malam, mengatakan, strategi penanganan PMK yang dilakukan antara lain mengobati semua hewan yang sakit. Saat ini sudah terdistribusi 203.000 obat-obatan dan 2,6 juta liter disinfektan.
Vaksinasi pun terus dipacu dan telah terdistribusi sebanyak 800.000 dosis vaksin ke daerah-daerah target. ”Yang jadi prioritas vaksinasi, pertama adalah sapi bibit karena nilainya mahal dan umurnya panjang. Kemudian sapi perah yang sangat peka dan umurnya juga panjang, serta sapi-sapi indukan dan anakan,” katanya.
Menurut pendataan Kementerian Pertanian, kata Makmun, pada periode 27 Juni-3 Juli 2022 angka penambahan kasus PMK mencapai 34.310 kasus atau turun 50 persen dari periode 20-26 Juni 2022 yang 68.550 kasus. Seiring dengan berjalannya vaksinasi, jumlah hewan ternak yang sakit diharapkan akan terus menurun.
Kepala Pusat Karantina Hewan Kementan, Wisnu Wasisa Putra, mengatakan, sejauh ini Jawa, Sumatera, dan Lombok merupakan pulau-pulau yang sudah terkonfirmasi kasus PMK. Maka, hewan rentan PMK dan produk hewan dari ketiga pulau itu tak dapat dilalulintaskan. Sementara di tingkat provinsi, ada provinsi dengan kategori merah (50 persen kabupaten terkonfirmasi PMK) dan hijau (belum ada kasus). Sementara untuk tingkat kabupaten terbagi menjadi hijau (belum ada kasus), kuning (belum ada kasus, tetapi terletak di provinsi merah), dan merah (ada kasus).
Provinsi Bali, NTT, dan Sulawesi Selatan yang belum terdapat kasus terkonfirmasi PMK akan dijaga, termasuk lalu lintasnya. ”Sementara di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat ada larangan pengeluaran media pembawa hewan rentan PMK dan produk hewan dari ketiga daerah itu. Ini upaya agar mempertahankan pulau-pulau yang masih bebas PMK,” ujarnya.