Menanti Mewujudnya Legislasi Perlindungan Data Pribadi
Kehadiran UU Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif dan literasi digital intensif makin krusial di tengah arus pertukaran data, baik di dalam negeri maupun lintas batas negara.
Bupati Tegal Umi Azizah (kanan) bertransaksi menggunakan kode pindai cepat standar Indonesia atau QRIS di Pasar Lebaksiu, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Rabu (8/12/2021). Pedagang di pasar tradisional mulai marak menerapkan pembayaran menggunakan QRIS.
Gelombang digitalisasi perlu berjalan seiring dengan perlindungan data pribadi. Tuntutan zaman membuat kehadiran Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang komprehensif makin krusial. Terlebih lagi, Indonesia masih bergelut dengan problem kesenjangan literasi digital.
Terkait arus data lintas batas negara, peranan UU Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) juga krusial. Regulasi ini akan menjadi elemen kunci yang memastikan adanya kepercayaan dan hubungan resiprokal antarnegara. Namun, di Indonesia, pembahasan Rancangan UU PDP masih berlarut-larut.
Perkembangan terakhir, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memperpanjang pembahasan RUU PDP. Pembahasan ini diprediksi bakal terus berjalan alot karena hingga kini belum ada titik temu antara Komisi I DPR dan pemerintah terkait keberadaan lembaga otoritas pengawas perlindungan data pribadi (Kompas, 13/4/2022).
Berdasarkan kajian Indonesia Civil Society Organisation Taskforce for Digital Economy Working Group G20, porsi arus data dalam negeri terhitung sebesar 67 persen, sedangkan arus data lintas batas negara telah mencapai 33 persen. Nilai arus data global sebesar tiga persen dari total output produk domestik bruto (PDB) global. Transaksi arus data ini diperkirakan mencapai 2,8 triliun dollar AS, sedangkan total seluruh jenis perdagangan global sekitar 7,8 triliun dollar AS.
Porsi arus data dalam negeri terhitung sebesar 67 persen, sedangkan arus data lintas batas negara telah mencapai 33 persen.
Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc) Rudiantara mengatakan, data merupakan salah satu aspek penting dalam kegiatan ekonomi yang semakin berbasis digital. Namun, perkembangan digitalisasi ini juga memunculkan risiko pencurian dan penyalahgunaan data pribadi.
”Keberadaan UU PDP sangat mendesak. Kita memerlukannya sejak lama. Perlindungan data pribadi penting, bukan hanya bagi perusahaan dan pemerintah, melainkan juga keamanan data masyarakat,” ujar Rudiantara.
Sependapat dengan itu, pengurus Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia Bidang Ekonomi Digital, Apung Sumengkar, mengatakan, karena adanya kekosongan hukum terkait perlindungan data digital selama ini, sektor swasta seringkali tidak memiliki batasan dan koridor jelas dalam mengumpulkan dan mengelola data.
Hal itu akhirnya kerap berujung pada keluhan konsumen terkait kerahasiaan data atau praktik penyalahgunaan data. Ini bisa terjadi karena kesengajaan dan murni karena tidak memahami implikasi dari penyebaran data secara sembarangan.
Oleh karena itu, menurut Apung, pembahasan mendalam mengenai RUU PDP dan perumusan peta jalan yang komprehensif perlu menjadi fokus pemerintah. Apalagi, Indonesia sebagai presidensi G-20 mengangkat isu digitalisasi ekonomi sebagai salah satu pilar utama.
Perlindungan data pribadi penting, bukan hanya bagi perusahaan dan pemerintah, melainkan juga keamanan data masyarakat.
KOMPAS/MADINA NUSRAT
Ramainya penawaran kartu kredit seperti dijumpai pada gerai dan anjungan tunai mandiri yang ada di pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (15/4/2019), belum diimbangi dengan jaminan perlindungan data pribadi nasabah. Di kalangan tenaga pemasaran dan di pasar daring, ditemukan data pribadi diperjualbelikan.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar berpendapat, ketika arus data sudah bersifat lintas negara, maka kedaulatan data menjadi penting. Warga sebagai subyek data memiliki kontrol terhadap data yang dilindungi oleh hukum. Hingga 2021, Indonesia belum memiliki legislasi perlindungan data pribadi yang komprehensif. Studi Elsam menemukan 48 UU yang kontennya terkait pemrosesan data.
Lebih jauh, dia mengatakan, Indonesia sebenarnya mendukung arus data bebas lintas negara dengan persyaratan. Sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, penyelenggara sistem elektronik lingkup privat boleh memproses data dalam ataupun luar negeri.
Namun, pada praktiknya terdapat perbedaan ketentuan antar kementerian. Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016, setiap transfer data lintas negara harus berkoordinasi ke Kementerian Kominfo. Sementara sesuai PP No 80/2019, transfer dimungkinkan jika Kementerian Perdagangan menyatakan negara tujuan transfer memiliki standar perlindungan data pribadi setara dengan Indonesia.
Ada kecenderungan di sebagian besar negara yang sudah mempunyai UU PDP melakukan restriksi terhadap negara yang belum memiliki regulasi tersebut.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Praktisi Perlindungan Data Pribadi (APPDI) Danny Kobrata menyampaikan, ada kecenderungan di sebagian besar negara yang sudah mempunyai UU PDP melakukan restriksi terhadap negara yang belum memiliki regulasi tersebut. Di antara keseluruhan negara anggota G-20, Indonesia, India, dan Amerika Serikat belum mempunyai UU PDP yang komprehensif dan otoritas pengawas perlindungan data pribadi.
Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika sekaligus Co-Chair Digital Economy Working Group (DEWG) G-20 Dedy Permadi menekankan, pemerintah tetap mendorong tata kelola data khususnya arus data lintas batas yang inklusif, memberdayakan, dan berkelanjutan melalui pembahasan praktik fasilitasi arus data oleh negara G-20. Pemerintah Indonesia berharap bisa mendapatkan kesamaan tujuan dan visi dari konsep yang diusung oleh Indonesia itu.
Sementara terkait Satu Data Indonesia (SDI), Dedy menegaskan, itu merupakan kebijakan tersendiri yang menitikberatkan tata kelola data pemerintah yang mudah diakses dan dapat dipertukarkan serta dipakai antar instansi pemerintah. SDI yang kemudian diikuti dengan pengembangan pusat data nasional diharapkan bisa menjadi contoh di skala nasional bagaimana aliran data yang terbuka dapat menciptakan berbagai manfaat.
Selain kehadiran UU PDP, literasi digital kepada masyarakat juga perlu ditingkatkan. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh Kementerian Kominfo dan Katadata Insight Center, Indeks Literasi Digital Indonesia tahun 2021 berada pada skor 3,49 atau pada tahap sedang dan mendekati baik. Skor ini naik dibandingkan Indeks Literasi Digital 2020 yang berada pada skor 3,46. Kenaikan tipis itu didukung oleh perbaikan indikator budaya digital dan keterampilan digital.
Adapun sesuai laporan Institute for Management Development (IMD) World Digital Competitiveness Ranking 2021, Indeks Daya Saing Digital Indonesia tahun 2021 berada di urutan ke-53 dari 64 negara. Sementara, pada indikator pengetahuan yang menjadi satu dari tiga faktor penentu daya saing digital, Indonesia berada di urutan ke-60 dari 64 negara.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif ICT Watch Indriyatno Banyumurti menyebutkan tiga tantangan literasi dan edukasi digital di Indonesia. Pertama, maraknya hoaks dan disinformasi. Kedua, ketimpangan akses pengetahuan baik dari sisi jender dan kondisi demografi. Tantangan ketiga yaitu belum ada kebijakan literasi digital yang terintegrasi antar kementerian/lembaga sehingga masing-masing terkesan punya program sendiri.
”Apalagi, sampai sekarang, Indonesia belum mempunyai kurikulum formal terkait literasi digital. Ini berpotensi mempertajam kesenjangan pengetahuan digital. Pemerintah seharusnya menaruh perhatian dan membuat kurikulum formal literasi digital mulai dari jenjang sekolah dasar,” ujar Indriyatno.
Upaya mendorong literasi digital juga perlu dilakukan beragam pihak, termasuk swasta. CEO eFishery Gibran Huzaifah mencontohkan pengalamannya yang meminjamkan ponsel pintar kepada mitra petani ikan budidaya dan mengajari konten dasar di internet satu per satu. Langkah ini dilakukan sebelum dia memperkenalkan produk terhubung internet (IoT) pakan ikan.
Sementara Director and Chief Risk and Sustainability Officer Amartha Aria Widyanto menceritakan, ada petugas lapangan dari pihak Amartha yang rutin memberikan pelatihan literasi digital kepada nasabah mereka yang berlatar perempuan wirausaha mikro.