Literasi Digital Dibutuhkan, Berita Bermutu Diinginkan
Saat pandemi seperti ini, bukan hanya virus yang berbahaya, melainkan juga berita hoaks yang membuat pandemi sulit terkendali. Karena itu, informasi benar seperti yang dihadirkan Kompas, sangat dibutuhkan.

Didie SWhoaks infodemi
JAKARTA, KOMPAS — Tsunami informasi di media sosial kerap membuat orang bingung, terlebih apabila informasi yang diterima tidak seluruhnya benar. Dalam kondisi itu, literasi digital perlu didorong. Masyarakat pun semakin sadar dan menginginkan berita-berita yang bermutu.
Menanggapi kebutuhan dan keinginan tersebut, harian Kompas gencar merangkul sejumlah pihak untuk mendorong literasi digital. Sejumlah perguruan tinggi dan kalangan swasta terlibat dalam kegiatan ini.
Rektor IPB University Prof Arif Satria menyebutkan, salah satu banjir informasi tampak dalam layanan pesan singkat aplikasi WhatsApp. Banyak informasi bertebaran di aplikasi tersebut yang tidak semuanya benar. Sayangnya, informasi yang belum tentu benar itu dengan mudah dibagikan.
Baca juga: Berpikir Kritis Kunci agar Tak Hanyut dalam Banjir Informasi

Rektor Institut Pertanian Bogor Prof. Dr. Arif Satria, S.P., M.Si. hadir dalam diskusi Literasi Digital “Banjir Informasi, Memilah Hoax dan Fake News”, Jumat (3/9/2021). Di tengah banjir informasi yang mendisrupsi, dibutuhkan kemampuan berpikir kritis agar tak mudah hanyut.
”Dalam kondisi ini, perlu kemampuan berpikir kritis. Saat menerima informasi, jangan mudah menyebarkannya. Jangan asal forward (meneruskan pesan). Berpikirlah kritis, bagaimana kebenarannya, apa manfaat dan dampaknya apabila disebarkan,” katanya.
Arif Satria menyampaikan hal itu dalam diskusi bersama Institut Pertanian Bogor, PT Great Giant Pineapple, dan harian Kompas yang bertajuk ”Literasi Digital Banjir Informasi, Memilah Hoax dan Fake News”, Jumat (3/9/2021). Acara itu juga dihadiri Direktur PT Great Giant Pineapple Welly Soegiono, Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra, dan 100 peserta diskusi lainnya.
Saat menerima informasi, jangan mudah menyebarkannya. Jangan asal forward (meneruskan pesan). Berpikirlah kritis, bagaimana kebenarannya, apa manfaat dan dampaknya apabila disebarkan.
Menurut Arif Satria, kemampuan berpikir kritis ini membuat orang tidak mudah terpengaruh. Kemampuan ini penting karena saat ini siapa pun bisa memproduksi berita dan konten serta menyebarkannya. Berpikir kritis membuat seseorang juga bisa memilih dan memilah informasi mana yang penting dan bermanfaat bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Disrupsi dunia pendidikan
Disrupsi, lanjut Arif, tidak hanya terjadi di dunia media dengan fenomena banjir informasi. Dunia pendidikan dan pertanian juga mengalami hal serupa. Ia mencontohkan, sesaat lagi pendidikan tidak hanya lahir dari lembaga pendidikan, tetapi juga lahir dari pasar.
Baca juga: Kolaborasi Swasta, Perguruan Tinggi, dan Media Penting dalam Pengembangan Riset

Didie SWhoaks infodemi
”Disrupsi ini seharusnya menjadi peluang, bukan sekadar tantangan. Oleh karena itu, diperlukan pola pikir tumbuh berkembang yang melihat segalanya sebagai peluang. Optimisme ini membuat kita bisa keluar dengan strategi yang tepat,” katanya.
Arief menambahkan, saat ini segala sesuatunya berubah dengan amat cepat. Sudah seharusnya ada sinergi antara perguruan tinggi dan media-media kredibel sebagai acuan informasi agar arah perubahan ini tetap lurus menuju arah pertumbuhan yang benar.
Rektor Universitas Lampung Prof Karomani juga menyambut baik langkah Kompas yang telah bertransformasi digital. Menurut dia, pemberitaan Kompas, yang sudah dikenal sebagai media kredibel, menjadi jawaban atas kebutuhan masyarakat di era banjir informasi.

Harian Kompas bekerja sama dengan Universitas Lampung (Unila) dan PT Great Giant Pineapple (GPP) menggelar diskusi literasi digital, Jumat (13/8/2021) secara daring. Tampak di foto, Rektor Unila Prof Karomani (kanan), Direktur GPP Welly Soegiono (kiri), Pemimpin Redaksi Kompas Sutta Dharmasaputra (bawah).
”Universitas Lampung membutuhkan Kompas. Saat pandemi seperti ini, bukan hanya virus yang berbahaya, melainkan juga berita hoaks yang membuat pandemi sulit terkendali. Karena itu, informasi yang benar seperti yang dihadirkan Kompas, sangat kami butuhkan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Rektor Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Prof Jamal Wiwoho. Ia terus mendorong agar dosen-dosen di kampusnya terlibat dalam produksi dan distribusi konten-konten positif yang dapat membangun solidaritas bangsa.
”Namun, untuk dapat melakukan itu tentunya harus dilandasi dengan terlebih dahulu membaca konten-konten yang tepat. Semoga para dosen bisa mengakses Kompas.id sehingga dapat meningkatkan minat membaca dan menulis. Juga muncul ide-ide baru dari sana,” ujar Jamal.
Baca juga:Literasi Bermedia, Tantangan Warga Digital

Ia juga berharap hal serupa dilakukan para mahasiswa. Menurut dia, konten-konten positif dapat membangun karakter kaum muda. Karena itulah literasi digital begitu penting. Ia berpesan agar teknologi dapat dimanfaatkan dengan tepat oleh dosen.
Teknologi memang dapat memudahkan komunikasi, tetapi di sisi lain dapat disalahgunakan. (Teknologi) dapat menyebarkan berita hoaks, bahkan dapat untuk mengancam atau memeras,” katanya.
Kemajuan peradaban
Tak hanya membangun karakter, Rektor Universitas Sanata Dharma Johanes Eka Priyatma, beberapa waktu lalu, menyebutkan, konten positif juga dapat membangun peradaban sebuah bangsa. Kemajuan sebuah peradaban ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam mengelola kebenaran. Bangsa yang dapat mengelola kebenaran pada akhirnya menjadi sejahtera dan bermartabat.

Jajaran Redaksi Harian Kompas, Djarum Foundation, dan Universitas Sanata Dharma hadir dalam diskusi Literasi Digital, “Banjir Informasi, Memilah Hoaks, dan Berita Bohong”, Kamis (26/8/2021). Ketiga instansi ini sepakat kemajuan masyarakat dan bangsa juga turut dipengaruhi kemampuan masyarakat dalam mengelola kebenaran.
”Universitas Sanata Dharma berusaha agar kebohongan, kepalsuan, hoaks, dan ketidakbenaran tidak mendominasi pengetahuan masyarakat. Hal itu dapat terwujud jika akses terhadap informasi yang kredibel dari media dengan kredibilitas tinggi, seperti Kompas, semakin terbuka lebar,” kata Eka.
Di Universitas Negeri Semarang, upaya memilah dan memilih kebenaran di antara informasi diterapkan kepada seluruh mahasiswa. “Semua mahasiswa di Universitas Negeri Semarang mendapat mata kuliah literasi digital. Ini bekal yang kami berikan untuk para mahasiswa,” tutur Wakil Rektor I Universitas Negeri Semarang Prof Zaenuri Mastur.
Dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang Dhoni Zustiyantoro menambahkan, banyak upaya yang sudah mereka lakukan untuk meningkatkan literasi digital. Kompas bukan pihak lain bagi Universitas Negeri Semarang. Beberapa kali, wartawan Kompas diundang untuk terlibat dalam diskusi-diskusi yang digelar kampus tersebut.
”Kami berharap Kompas menjadi bagian dari jurnalisme bermutu. Di Kompas.id, kami mendapatkan mutu berita yang berbeda, berita yang elegan dan edukatif,” ungkapnya.
Baca juga: Akses Informasi Bermutu Dukung Terciptanya Masyarakat Bermartabat

Kaus sebagai sarana kampanye antihoaks atau berita bohong dikenakan jajaran pejabat Polda Metro Jaya saat mendeklarasikan gerakan antihoaks di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Kedekatan Kompas dengan berbagai perguruan tinggi tak hanya dalam upaya meningkatkan literasi digital. Upaya menjaga keberagaman juga menjadi semangat yang terus dikembangkan.
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Prof Al Makin menyebut, Kompas dan UIN Sunan Kalijaga mempunyai kesamaan paham terkait keberagaman. Sinergi dalam UIN Kalijaga dengan Kompas dalam literasi digital adalah wujud nyata agar keberagaman tersebut tetap terjaga.
Banyak berita hoaks dan informasi salah yang kerap disebarkan untuk merusak keberagaman tersebut. Ia berharap Kompas tetap pada marwahnya untuk menjaga keragaman dengan memproduksi berita-berita yang merajut Nusantara.
”Kita terus berupaya mengembangkan sinergi dengan Kompas. Kita ingin memaksimalkan potensi masing-masing untuk maju bersama-sama. Dalam manajemen, sinergi adalah level tertinggi,” tuturnya.
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra menyatakan, upaya menciptakan masyarakat bermartabat kerap mendapat rintangan berupa maraknya informasi salah. ”Informasi salah tidak hanya menyesatkan, tetapi juga bisa membinasakan. Terlebih saat pandemi di tengah era banjir informasi saat ini,” katanya.

Data temuan hoaks Covid-19 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika pada periode 23 Januari 2020-17 Juli 2021.
Sutta mengatakan, pertumbuhan teknologi internet dan media sosial yang melampaui pertumbuhan manusia dunia membuat informasi sangat masif. Tak sedikit informasi yang beredar jauh dari kebenaran.
Kementerian Komunikasi dan Informatika merilis ada 1.656 temuan isu hoaks selama 23 Januari 2020 hingga 22 Juni 2021. Banjir informasi membawa banyak dampak buruk, antara lain memicu kebingungan dan perpecahan serta mengganggu relasi keluarga.
Kompas dan Kompas.id pun menjawab keresahan itu melalui jurnalisme presisi, liputan investigasi, dan produk jurnalistik lain yang bisa dipertanggungjawabkan. Itu butuh kolaborasi dengan banyak pihak, termasuk perguruan tinggi.