HPP Gula Dipatok Rp 11.500 Per Kg, Ritel Wajib Jual Gula Rp 13.500 Per Kg
Guna menjaga daya beli petani tebu dan masyarakat, pemerintah akan menetapkan HPP gula kristal putih dan mewajibkan peritel modern menjual gula sesuai harga acuan di tingkat konsumen.
Oleh
Hendriyo Widi
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan segera menetapkan harga patokan petani atau HPP gula kristal putih Rp 11.500 per kilogram. Pemerintah juga mewajibkan peritel modern menjual gula kristal putih Rp 13.500 per kilogram.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan mengatakan, HPP gula akan segera ditetapkan Rp 11.500 per kilogram (kg). HPP itu lebih tinggi dibandingkan dengan HPP gula yang ditetapkan sejak enam tahun lalu yang sebesar Rp 9.100 per kg.
”Menurut rencana, HPP gula itu akan diatur dalam surat edaran bersama yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag dan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (8/4/2022).
Kebijakan itu diambil setelah Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPN APTRI) menyampaikan usulan kenaikan HPP gula kepada Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pada 31 Maret 2022. APTRI meminta pemerintah menaikkan HPP gula dari Rp 9.100 per kg menjadi Rp 12.000 per kg.
Waktu itu, Sekretaris Jenderal DPN APTRI M Nur Khabsyin menyatakan, HPP gula perlu dinaikkan lantaran biaya pokok produksi semakin tinggi. Biaya itu, antara lain, mencakup ongkos pengolahan lahan, upah tenaga kerja, ongkos tebang angkut, biaya irigasi, pestisida, dan beban biaya pupuk.
Selama ini petani juga menggunakan pupuk nonsubsidi yang harganya lebih mahal lantaran jumlah pupuk bersubsidi terbatas sehingga menambah biaya produksi sekitar 15 persen. Pupuk amonium sulfat (ZA), misalnya, yang bersubsidi harganya Rp 1.700 per kg dan nonsubsidi Rp 6.000 per kg (Kompas, 2 April 2022).
HPP gula akan segera ditetapkan Rp 11.500 per kg. HPP itu lebih tinggi dibandingkan dengan HPP gula yang ditetapkan sejak enam tahun lalu yang sebesar Rp 9.100 per kg.
Selain HPP, pemerintah juga mewajibkan peritel modern menjual gula kristal putih seharga Rp 13.500 per kg di tingkat konsumen. Hal itu berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2022 tentang Harga Jual Gula Kristal Putih.
Menurut Oke, kebijakan itu mengacu pada Peraturan Menteri Pedagangan (Permendag) Nomor 07 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsurnen. Kewajiban menjual gula seharga Rp 13.500 per kg itu berlaku sampai diterbitkan diterbitkan Permendag baru terkait penetapan harga acuan di tingkat konsumen dan HPP gula.
Pemerintah menggulirkan kebijakan itu untuk menstabilkan harga gula kristal putih atau gula pasir yang terus merangkak naik. Kenaikan harga gula itu dipicu oleh mulai berkurangnya stok gula dan belum optimalnya produksi gula di dalam negeri.
”Kebijakan itu diharapkan bisa menjadi dasar untuk penyediaan gula dengan harga terjangkau bagi seluruh masyarakat,” kata Oke.
Pemerintah mewajibkan peritel modern menjual gula kristal putih seharga Rp 13.500 per kg di tingkat konsumen. Kebijakan itu diharapkan bisa menjadi dasar untuk penyediaan gula dengan harga terjangkau bagi seluruh masyarakat.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kemendag, harga rata-rata nasional gula pasir per 7 April 2022 sebesar Rp 14.700 per kg. Dalam sebulan terakhir, harga gula tersebut naik sebesar 4,26 persen dan lebih tinggi 17,6 persen dari harga acuan gula pasir yang telah ditetapkan pemerintah.
Dalam laporan perkembangan harga dan stok indikatif barang kebutuhan pokok Kenendag per 7 April 2022, disebutkan, sebagian besar pabrik gula baru memulai musim giling pada Mei 2022. Dengan demikian, gula produksi pabrik-pabrik gula itu diperkirakan masuk pasar pada Juni 2022.
Saat ini, stok gula pasir secara nasional sebanyak 533.770 ton. Stok yang dimiliki pabrik gula milik negara, swasta, dan Perum Bulog itu diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan gula nasional selama dua bulan. Pemerintah juga akan mempercepat masuknya gula impor.
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menyebutkan, kenaikan tingkat inflasi pada tahun ini tidak terhindarkan, lantaran ada rambatan dari inflasi global. Hal itu terjadi lantaran ada kenaikan harga komoditas pangan dan energi di tingkat global.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menuturkan, hal itu tentu saja menjadi tantangan bagi BI dan pemerintah untuk mengatasi inflasi. Daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi dan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dollar AS sama-sama perlu dijaga.
Menjaga nilai tukar rupiah ini sangat penting dalam kondisi saat ini agar tidak menyebabkan efek ganda terhadap harga barang impor. Saat ini harga sejumlah komoditas impor sudah tinggi.
”Jika rupiah terdepresiasi, harga barang impor yang dijual di dalam negeri akan semakin tinggi. Hal ini terjadi lantaran nilai konversi dollar AS ke rupiah juga semakin tinggi,” kata Dody dalam seminar virtual bertajuk ”Exit Strategy untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi” yang digelar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) pada Kamis lalu.
BI mencatat, nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Jumat (8/4), berada di level Rp 14.365 per dollar AS. Nilai tukar tersebut melemah 0,04 persen dibandingkan hari sebelumnya yang berada di Rp 14.359 per dollar AS. Adapun nilai tukar rupiah di psaar keuangan spot ditutup Rp 14.362 per dollar AS.
Menurut Dody, pengendalian inflasi tersebut tidak mudah. Jika harga dibiarkan tinggi dan menyebabkan inflasi, daya beli masyarakat akan terdampak. Apabila pemerintah menahan inflasi dengan menaikkan subsidi, fiskal negara akan terbebani.
Oleh karena itu, bauran kebijakan antara pemangku kepentingan terkait sangat diperlukan. Pertumbuhan ekonomi dan daya beli perlu terus didorong. Harga yang stabil dan fiskal yang terkonsolidasi perlu diupayakan.
Kendati begitu, Dody optimistis, inflasi pada akhir 2022 masih akan berada di kisaran sasaran BI, yaitu 2 persen hingga 4 persen. BI juga tidak menutup kemungkinan inflasi bisa berada di batas atas sasaran yang sebesar 4 persen.
“Namun yang terpenting adalah bagaimana pemerintah dan BI menjaga inflasi itu tetap terjaga sesuai kisaran sasaran. Kami akan terus mencermatinya dan merumuskan bersama kebijakan apa yang harus dilakukan,” ujarnya.