Jangan sampai bantuan subsidi upah sekadar menjadi program formalitas di kala krisis yang berulang kali gagal melindungi pekerja rentan yang benar-benar membutuhkan.
Oleh
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·5 menit baca
Digulirkannya bantuan subsidi upah untuk kali ketiga seharusnya menjadi angin segar bagi pekerja di tengah tren kenaikan harga kebutuhan pokok dan upah yang stagnan. Namun, dari gelagat yang ditunjukkan pemerintah, program bantuan langsung tunai ini tampaknya akan kembali mengecualikan pekerja formal dan informal yang paling membutuhkan.
Seperti dua tahun sebelumnya, pemerintah memberikan sinyal bahwa penentuan sasaran penerima bantuan subsidi upah tahun ini akan kembali berpatok pada data peserta BP Jamsostek. Target jumlah penerima pun sudah dikantongi. Sebanyak 8,8 juta orang pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta akan menerima bantuan sebesar Rp 1 juta per orang.
Sayangnya, di negara ini, memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan (jamsostek) adalah suatu privilese. Tidak semua pekerja didaftarkan di BP Jamsostek, meski Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara eksplisit menyatakan bahwa itu merupakan kewajiban perusahaan sebagai pemberi kerja, dan sanksi akan diberikan jika perusahaan lalai menjalankannya.
Sebagai gambaran, per Agustus 2021, jumlah total penduduk yang bekerja di Indonesia adalah 131,05 juta orang. Sebanyak 77,91 juta orang (59,45 persen) bekerja di kegiatan informal, sedangkan yang bekerja di kegiatan formal 53,14 juta orang (40,55 persen). Menurut hitung-hitungan BP Jamsostek, sekitar 93,8 juta orang di antaranya memenuhi kriteria (eligible) untuk menjadi peserta jamsostek.
Kendati demikian, per akhir 2021, jumlah pekerja yang terdaftar di BP Jamsostek dan tercatat sebagai peserta aktif hanya 30,6 juta orang atau 32,67 persen dari total pekerja yang berhak mendapat jaminan sosial. Pekerja formal yang memiliki jamsostek (segmen peserta penerima upah/PU) hanya 20,5 juta orang dan pekerja informal (segmen peserta bukan penerima upah/BPU) hanya 3,5 juta orang. Sisanya adalah segmen peserta pekerja migran Indonesia (PMI) sebanyak 235.657 orang dan peserta pekerja jasa konstruksi (Jakon) sebanyak 6,27 juta orang.
Secara umum, ada beberapa alasan yang membuat seseorang tidak terdaftar di BP Jamsostek. Pertama, ia bekerja di perusahaan yang bergumul secara finansial dan sulit membayar iuran bulanan, seperti usaha skala mikro dan kecil. Kedua, ia bekerja di perusahaan yang dengan sengaja melanggar hukum ketenagakerjaan dan mengabaikan hak pekerja demi efisiensi arus kas. Ketiga, ia termasuk kategori pekerja informal yang penghasilannya tidak menentu.
Pekerja seperti ini seharusnya lebih mendapatkan prioritas bantuan sosial dari negara di saat krisis. Apalagi mengingat perusahaan yang lalai memenuhi hak pekerjanya atas jaminan sosial—baik karena keterbatasan finansial maupun kesengajaan—biasanya juga abai memenuhi aspek standar kerja layak lainnya, seperti pemberian upah yang layak, kepastian kerja, dan lingkungan kerja yang aman.
Namun, nyatanya, sudah dua kali bantuan subsidi upah diberikan, sudah dua kali pula mereka yang paling membutuhkan itu terabaikan. Tahun ini, dengan kembali berencana menjadikan data BP Jamsostek sebagai satu-satunya acuan untuk program subsidi upah ketiga, pemerintah lagi-lagi menutup mata terhadap nasib jutaan pekerja yang tidak beruntung memiliki jamsostek.
Nyatanya, sudah dua kali bantuan subsidi upah diberikan, sudah dua kali pula mereka yang paling membutuhkan itu terabaikan.
Dulu, pemerintah beralasan penyaluran bantuan subsidi upah pada pekerja formal dan informal di luar BP Jamsostek sulit dilakukan karena mereka tidak terdata. Pemerintah pun memilih memakai data yang sudah tersedia dan mudah diverifikasi agar program bantuan sosial bisa bergulir lebih cepat di tengah kondisi mendesak akibat dampak pandemi Covid-19.
Tidak bisa dibiarkan
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah sempat berjanji akan mengevaluasi program jamsostek. Salah satu isu krusial yang disoroti pemerintah adalah kepesertaan jamsostek yang menurun dan banyaknya perusahaan yang tidak menjalankan kewajiban karena terdampak Covid-19 (Kompas, 25/1/2021).
Namun, persoalan ini tak kunjung dibenahi. Sampai hari ini, belum tampak upaya pemerintah untuk mulai mendata pekerja informal, mendesak perusahaan yang abai untuk mendaftarkan pekerjanya di BP Jamsostek, atau memberikan mereka sanksi dan efek jera karena sudah melanggar hukum.
Alhasil, ketika krisis baru muncul di depan mata, seperti tren inflasi saat ini, program bantuan sosial pun terancam kembali berjalan apa adanya. Business as usual.Pekerja yang sudah terimpit kenaikan biaya hidup dipaksa menanggung kegagalan dua pihak sekaligus: pemberi kerja yang gagal menunaikan kewajibannya dan pemerintah yang gagal menindak perusahaan yang melanggar aturan hukum.
Pekerja yang sudah terimpit kenaikan biaya hidup dipaksa menanggung kegagalan dua pihak sekaligus: pemberi kerja yang gagal menunaikan kewajibannya dan pemerintah yang gagal menindak perusahaan yang melanggar aturan hukum.
Ke depan, isu klasik rendahnya kepesertaan BP Jamsostek dan terbatasnya cakupan penerima bantuan sosial ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Untuk meningkatkan jumlah peserta BP Jamsostek, pemerintah harus pro-aktif menegakkan sanksi pada perusahaan yang melanggar aturan karena tidak memenuhi hak jamsostek pekerjanya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013.
Pekerja juga seharusnya diperbolehkan mendaftarkan diri ke BP Jamsostek jika perusahaannya abai, sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70/PUU-IX/2011 dan Putusan MK Nomor 82/PUU-X/2012, yang sampai sekarang belum juga dijalankan BP Jamsostek.
Dalam putusan itu, MK membuat norma baru pada Pasal 13 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional bahwa pekerja berhak mendaftarkan diri sebagai peserta BP Jamsostek jika perusahaan atau pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerjanya ke program-program jamsostek. BP Jamsostek kemudian tinggal menagihkan biaya iuran ke perusahaan yang bersangkutan.
Selagi hal-hal mendasar itu dibenahi, mekanisme menentukan sasaran penerima bantuan subsidi upah juga perlu disesuaikan. Tidak hanya berpatok pada data peserta penerima upah di BP Jamsostek, cakupan penerima bantuan seharusnya diperluas sampai segmen peserta bukan penerima upah yang adalah pekerja informal.
Untuk pekerja non-BP Jamsostek, pendataan penerima bantuan dapat dilakukan secara langsung oleh petugas dinas ketenagakerjaan ke perusahaan dan pusat ekonomi setempat. Pendataan juga bisa dibuka ke publik, sebagaimana mekanisme pendaftaran terbuka untuk menjadi peserta Kartu Prakerja. Pekerja dengan batas penghasilan tertentu bisa mengajukan diri dengan menyertakan bukti. Petugas dinas kemudian mengecek validitas permohonan tersebut secara langsung atau ke perusahaan terkait.
Nasi belum menjadi bubur. Saat ini, mekanisme penyaluran bantuan subsidi upah masih digodok oleh pemerintah. Berbagai masukan pun masih disuarakan, khususnya oleh kalangan buruh dan elemen masyarakat sipil, agar bantuan kali ini dapat diberikan tepat sasaran.
Pemerintah harus mendengarkan berbagai masukan tersebut agar tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama. Jangan sampai bantuan subsidi upah sekadar menjadi program formalitas di kala krisis yang berulang kali gagal melindungi pekerja rentan yang benar-benar membutuhkan.