Subsidi Upah Digulirkan Lagi, Penyalurannya Perlu Dibenahi
Pemerintah berencana menggulirkan kembali program subsidi upah bagi pekerja terdampak pandemi Covid-19. Namun, kalangan pekerja berharap skema penyalurannya dibenahi agar lebih adil dan tepat sasaran.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah berulang mendapat masukan dari pengusaha dan buruh, pemerintah akhirnya menghidupkan lagi program bantuan subsidi upah bagi pekerja yang terdampak pandemi Covid-19. Namun, agar tidak mengulangi persoalan tahun lalu, skema penyaluran bantuan subsidi perlu dibenahi agar lebih tepat sasaran dan berkeadilan.
Keputusan menghidupkan lagi program bantuan subsidi upah (BSU) itu diumumkan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam Konferensi Pers Tindak Lanjut Arahan Presiden terkait Perkembangan Terkini Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) secara virtual, Rabu (21/7/2021).
Menurut Ida, bantuan akan diberikan kepada 8 juta pekerja dengan upah di bawah Rp 3,5 juta per bulan dan terdaftar sebagai peserta aktif penerima upah (PU) di BP Jamsostek. Bantuan diberikan kepada pekerja di sektor terdampak dan yang berada di wilayah PPKM dengan risiko penularan Covid-19 level 4.
Sektor terdampak itu, antara lain, industri barang konsumsi, perdagangan dan jasa (kecuali pendidikan dan kesehatan), transportasi, aneka industri, properti, dan real estat. Adapun besaran subsidi yang diberikan adalah Rp 500.000 per bulan selama dua bulan. ”Akan diberikan sekaligus. Artinya, satu kali pencairan dan pekerja menerima Rp 1 juta,” kata Ida.
Ia mengatakan, payung hukum untuk menjalankan program itu saat ini sedang digodok. Proses pengambilan data dilakukan sampai 30 Juni 2021 dengan menggunakan data BP Jamsostek. Adapun estimasi anggaran yang dibutuhkan untuk menjalankan program BSU adalah Rp 8 triliun. ”Mudah-mudahan subsidi ini bisa membantu pekerja di luar sektor kritikal untuk bisa bertahan dalam kondisi pembatasan aktivitas masyarakat,” ujar Ida.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menyambut baik rencana pemerintah menghidupkan kembali program BSU. Bantuan itu sangat dibutuhkan kelompok pekerja yang dirumahkan, tidak diupah, atau dipangkas upahnya.
Kendati demikian, skema dan mekanisme penyalurannya perlu dibenahi agar tepat sasaran dan berkeadilan bagi pekerja yang memang terdampak. Ia menyarankan, ada tiga metode pendataan dan penyaluran yang dapat diambil.
Pertama, pendataan penerima BSU tetap menggunakan data peserta BP Jamsostek seperti tahun lalu. Namun, data dikerucutkan pada peserta yang non-aktif. Sebab, logikanya, peserta yang iurannya aktif dibayar masih mendapat upah rutin dari perusahaan.
Kedua, pendataan secara langsung ke perusahan dan pusat ekonomi di wilayah terdampak PPKM darurat. Tidak hanya ke pabrik atau perkantoran, tetapi juga ke mal-mal, pemilik toko/tenant, warung, yang tutup karena PPKM darurat.
”Mereka kemungkinan besar pekerja harian yang tidak mendapat upah dan tidak terdaftar di BP Jamsostek. Pendataan langsung ini penting agar selain tepat sasaran, penyalurannya juga berkeadilan, dari pekerja formal sampai informal,” kata Timboel.
Ketiga, pendataan secara terbuka kepada publik. Pekerja yang terdampak dapat mengajukan diri sebagai penerima jika perusahaannya tidak mendaftarkan. ”Nanti dinas ketenagakerjaan yang periksa, kalau terkonfirmasi mereka karyawan yang dirumahkan tanpa upah, mereka bisa mendapat bantuan,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menilai, BSU sebaiknya diberikan dengan model subsidi bagi pengusaha dalam menjalankan kewajiban membayar gaji pekerja. Dengan kata lain, jika karyawan sudah mendapat BSU dari pemerintah, pengusaha tidak perlu menanggung biaya gaji karyawan.
Menurut dia, skema subsidi upah tahun lalu masih kurang tepat. Sebab, tahun lalu, meski ada BSU bagi pekerja, pengusaha tetap diminta membayar gaji ke pekerja. ”Kami harap bentuk bantuannya bisa dikompensasikan ke gaji yang diterima pekerja itu sendiri. Jadi, seperti subsidi negara untuk gaji yang menjadi beban perusahaan,” katanya dalam konferensi pers virtual gabungan antara Apindo dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia.
Senada, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonsus Widjaja meminta pemerintah dapat memberikan kompensasi gaji lewat BSU bagi pekerja sebesar 50 persen untuk meringankan beban pengusaha selama PPKM darurat. Pasalnya, biaya gaji karyawan termasuk dalam komponen tertinggi pengeluaran perusahaan.
”Mekanismenya bisa dibuat seperti tahun lalu lewat data BP Jamsostek, bisa juga menempuh mekanisme lain. Diberikan langsung ke pekerja. Yang penting, supaya PHK bisa dihindari,” ujarnya.
Alphonsus mengatakan, pengusaha sudah mengencangkan ikat pinggang. Sebab, kondisi tahun ini lebih berat dibandingkan dengan tahun lalu. Tahun lalu, pengusaha umumnya masih memiliki dana cadangan untuk membayar cicilan, biaya operasional, atau menggaji karyawan. Kondisi tahun ini lebih berat karena dana cadangan sudah habis terpakai.
PPKM darurat yang membatasi operasional sektor non-esensial membuat kondisi arus kas perusahaan semakin berat. Dampaknya, pengusaha mulai menyiapkan skenario terburuk, mulai dari merumahkan karyawan, seperti yang sudah terjadi saat ini, hingga menyiapkan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika kondisi ini berkepanjangan.