Masyarakat pesisir di Natuna menilai rencana pemerintah memberikan kontrak penangkapan ikan kepada korporasi dan investor asing tidak berpihak kepada rakyat kecil dan bakal semakin meminggirkan nelayan tradisional.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Kapal nelayan yang terbuat kayu, atau disebut juga pompong, berjejer di Pelabuhan Teluk Baruk, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Rabu (30/3/2022).
RANAI, KOMPAS — Masyarakat pesisir di Natuna, Kepulauan Riau, berharap pemerintah mengutamakan pemberdayaan nelayan tradisional. Rencana pemerintah memberikan kontrak penangkapan ikan kepada korporasi dan investor asing dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil dan bakal semakin meminggirkan nelayan tradisional.
Sistem kontrak penangkapan ikan untuk industri dalam negeri dan penanaman modal asing adalah bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI. Dalam sistem kontrak itu, kuota penangkapan ikan yang ditawarkan kepada setiap badan usaha perikanan minimal 100.000 ton per tahun dengan masa kontrak berlaku 15 tahun dan dapat diperpanjang.
Pemerintah berencana memberlakukan penangkapan ikan terukur di enam zona pada 11 WPP, termasuk di WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan). Sistem kontrak penangkapan ikan akan diuji coba di WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur).
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Ketua Aliansi Nelayan Natuna, Hendri, saat ditemui di Pelabuhan Teluk Baruk, Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (25/3/2022).
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Selasa (29/3/2022), mengatakan, saat ini sedikitnya sudah ada 850 kapal berukuran di atas 30 grosston (gt) yang beroperasi di Laut Natuna atas izin pusat. Kebijakan penangkapan terukur dikhawatirkan akan mendorong lebih banyak lagi kapal-kapal berukuran besar menangkap ikan di Laut Natuna.
”Sesuai namanya, kebijakan penangkapan terukur seharusnya mencegah penangkapan ikan yang berlebihan. Namun, yang akan terjadi justru sebaliknya, karena kebijakan itu ternyata adalah strategi pemerintah untuk melelang laut kepada pengusaha besar," kata Hendri.
Pantauan Kompas, kapal-kapal berukuran 30 gt ke atas sudah banyak beroperasi di perairan yang berjarak sekitar 55 kilometer ke atas dari pesisir timur Pulau Natuna Besar. Bila malam, langit perairan itu terang benderang. Kapal-kapal besar dari luar provinsi berkerumun mengeruk ikan dengan pukat.
Sebuah perahu kayu nelayan bergerak menghindari hujan saat menangkap ikan tongkol di perairan yang berjarak sekitar 45 kilometer di sebelah timur Pulau Natuna Besar, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
”Kalau laut ini jadi dilelang sama pemerintah, (maka) hancur sudah hidup kami. Alat kapal-kapal besar jauh lebih canggih, kami akan mati kalau bersaing sama mereka,” kata Rustam (48), salah satu nelayan tradisional di Kecamatan Bunguran Timur, Natuna.
Seperti Rustam, mayoritas nelayan di Natuna mengandalkan kapal berukuran antara 3 gt hingga 5 gt. Alat tangkap mereka juga masih tradisional berupa dua jenis pancing yang ramah lingkungan.
Nelayan di Natuna menggunakan pancing ulur (hand line) untuk menangkap ikan dasar atau demersal. Adapun untuk menangkap ikan di permukaan, para nelayan itu memakai pancing tonda (trolling line).
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Seorang nelayan menunjukkan alat tangkap tradisional pancing tonda atau trolling line yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap ikan permukaan di Laut Natuna, Kepulauan Riau, Jumat (25/3/2022).
Meskipun mengandalkan kapal kecil dan alat tangkap tradisional, nelayan tradisional di Natuna bisa berlayar hingga laut lepas. Dengan alat-alat yang sederhana itu, mereka biasa menangkap ikan hingga perairan perbatasan RI dengan negara lain.
Menurut Hendri, pemerintah seharusnya memprioritaskan pemberdayaan nelayan tradisional di Natuna. Hal itu bisa dimulai dengan meningkatkan armada kapal nelayan dari sebelumnya 3-5 gt menjadi 15-20 gt. Bekali juga nelayan dengan alat yang lebih efektif, tetapi tetap ramah lingkungan, seperti pukat cincin (purse seine) mini, pancing rawai (long line), dan pukat cumi (lift net).
PANDU WIYOGA
Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda
Wakil Bupati Natuna Rodhial Huda, Senin (28/3/2022), mengatakan, nelayan lokal khawatir dengan rencana penerapan sistem kontrak penangkapan ikan karena tidak yakin pemerintah bisa mengawasi pergerakan kapal-kapal besar yang nanti beroperasi di Laut Natuna. Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Natuna meminta Direktur Jenderal Perikanan Tangkap untuk menyosialisasikan kebijakan itu secara terbuka kepada nelayan di Natuna.
”Pembangunan tidak boleh menyengsarakan masyarakat pesisir. Maka, kami minta jaminan (bahwa) program (penangkapan ikan terukur) itu harus menguntungkan (untuk) daerah dan nelayan,” kata Rodhial saat ditemui.
Rustam (48) menangkap ikan tongkol di perairan yang berjarak sekitar 45 kilometer di sebelah timur Pulau Natuna Besar, Kepulauan Riau, Sabtu (26/3/2022).
Sebelumnya, Koordinator Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Muhammad Abdi Suhufan menilai, pemerintah kerap menyebutkan akan mengutamakan nelayan lokal untuk mendapatkan sistem kontrak. Namun, persyaratan sistem kontrak penangkapan terukur sangat memberatkan nelayan-nelayan lokal dan pelaku usaha skala menengah. Di antaranya, persyaratan modal usaha minimal Rp 200 miliar (Kompas, 29/3/2022).
Draf Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Tata Cara Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara RI dengan Sistem Kontrak juga menyamaratakan persyaratan bagi koperasi nelayan dan korporasi besar. Tidak ada kemudahan persyaratan bagi nelayan lokal yang bergabung dalam koperasi perikanan untuk mengikuti sistem kontrak, padahal kapasitas koperasi perikanan di Indonesia masih sangat terbatas jika dibandingkan perusahaan besar atau investor asing.
”Ini akhirnya menciptakan pertarungan bebas antara pelaku usaha kelas besar dan kelas kecil di tengah lemahnya kapasitas koperasi nelayan saat ini. Belum terlihat komitmen pemerintah untuk mengutamakan kuota (sistem kontrak) ke koperasi nelayan,” kata Abdi.