Nelayan Anambas dan Natuna Tolak Sistem Kontrak Penangkapan Ikan
Penolakan terhadap rencana pemberian kontrak penangkapan ikan kepada korporasi dan investor asing terus bergulir. Masyarakat pesisir menilai kebijakan itu tidak memihak rakyat dan bakal meminggirkan nelayan tradisional.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan tradisional di Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, menolak pemberian kontrak penangkapan ikan kepada korporasi dan investor asing. Kebijakan pemerintah itu dinilai tidak berpihak kepada rakyat kecil dan bakal semakin meminggirkan nelayan tradisional.
Sistem kontrak penangkapan ikan berjangka 15 tahun untuk industri dalam negeri dan penanaman modal asing adalah bagian dari kebijakan penangkapan terukur di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI. Dengan sistem itu, negara menargetkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari perikanan tangkap tahun 2022 sebesar Rp 1,5 triliun serta naik jadi Rp 4 triliun tahun 2023.
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri, Selasa (22/3/2022), mengatakan, sudah ada lebih kurang 850 kapal purse seine (pukat mayang) dari sejumlah daerah yang beroperasi di Laut Natuna. Jika benar pemerintah ingin mendorong pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan, seharusnya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tidak malah memberlakukan sistem kontrak yang akan membuat lebih banyak lagi kapal besar datang.
Penangkapan ikan terukur akan diberlakukan di enam zona pada 11 WPP, termasuk WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan). Sistem kontrak penangkapan ikan akan diuji coba di WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor).
Akhirnya, KKP tetap dengan kebijakannya, dan nelayan juga bersikukuh dengan penolakannya. (Hendri)
Terkait uji coba di WPP 718 itu, nelayan tradisional di Maluku telah menyuarakan penolakan. Masyarakat pesisir di sana menilai sistem kontrak penangkapan ikan hanya akan menguntungkan para pemodal besar. Adapun nelayan tradisional bakal semakin tersisih oleh kebijakan baru yang dikeluarkan KKP itu.
”Kami sepakat dengan suara nelayan tradisional di Maluku. Kebijakan baru itu sangat merugikan nelayan tradisonal karena kami yang menggunakan kapal kecil dan alat tangkap tradisional nantinya akan dipaksa berebut ikan dengan kapal besar dan canggih milik investor,” kata Hendri.
Hal senada juga disampaikan Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra. Ia menilai, pemberian kontrak penangkapan ikan kepada korporasi dan investor asing adalah cermin keberpihakan pemerintah kepada para pemodal besar.
”Ada sekitar 20.000 nelayan di Anambas dan Natuna yang bakal terimbas bila nantinya kebijakan itu diterapkan di WPP 711. Seharusnya pemerintah pusat mengutamakan pemberdayaan nelayan tradisonal, bukan malah mengundang korporasi dari daerah lain dan investor asing untuk masuk ke laut kami,” ujar Dedi.
Konflik zona tangkap sudah berulang kali terjadi di Laut Natuna yang mencakup wilayah Kepulauan Anambas dan Natuna. Terakhir, nelayan di Pulau Subi, Natuna, memprotes operasi Kapal Motor Sinar Samudra asal Pati, Jawa Tengah, yang dituding menggunakan alat tangkap yang telah dilarang, yakni cantrang.
Pada 17 Maret lalu, perwakilan nelayan dan pemerintah Kabupaten Natuna bertemu perwakilan KKP di Jakarta. Mereka menyampaikan keberatan soal beberapa kebijakan KKP yang dinilai tidak berpihak kepada nelayan tradisional, salah satunya soal pemberian kontrak penangkapan ikan kepada korporasi dan investor asing.
Namun, pertemuan tersebut tidak menghasilkan titik temu. ”Akhirnya, KKP tetap dengan kebijakannya, dan nelayan juga bersikukuh dengan penolakannya,” kata Hendri.
Pada 17 Maret, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menepis kekhawatiran nelayan soal kebijakan penangkapan ikan secara terukur. Potensi perikanan tangkap komersial di Indonesia dinilai masih sangat besar, yakni sekitar 12 juta ton per tahun.
Trenggono menjamin, nelayan tradisional akan mendapatkan haknya, yakni 20 persen dari potensi perikanan tangkap tanpa dipungut pajak. ”Sementara sisanya diberikan kepada industri, tujuannya supaya ekonomi daerah itu tumbuh dan menciptakan lapangan kerja,” katanya saat menghadiri peluncuran empat armada kapal cepat unit reaksi cepat pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di Batam.