Kebijakan Penangkapan Terukur untuk Siapa
Rencana pemerintah menerapkan kebijakan penangkapan terukur menuai pro dan kontra. Biarlah waktu yang membuktikan, untuk siapa kebijakan itu didesain.

Poli Pikaem (50), nelayan asal Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, menyiapkan perahu dayung untuk melaut pada Rabu (16/3/2022) petang.
Sekuat tenaga, Poli Pikaem (50) mulai mendayung perahu kayu bertolak dari pesisir pantai Dobo, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Rabu (16/3/2022) malam itu air laut teduh tak bergelombang. Sendirian, ia mendayung dalam sepi, membawa perahu tua itu melaju menuju sarang ikan di tengah Laut Aru.
Panjang perahu sekitar 3 meter. Di bagian tengah selebar lebih kurang 50 sentimeter ditaruh sebuah boks berisi es batu untuk mengawetkan ikan. Pada bagian kedua ujung, ukuran perahu mengecil hingga selebar pinggul orang dewasa. Di salah satu ujung, Poli duduk ketika mendayung dan memancing.
Setiap lebih kurang sepuluh menit mendayung ia berhenti, menarik napas, minum air, makan sagu lempeng, lalu mendayung lagi. Tenaganya tidak sekuat 30-an tahun silam, saat ia mulai memilih jalan hidup menjadi nelayan. Sampai di sarang ikan, ia mendayung sekitar dua setengah jam sejak bertolak dari pesisir tadi.
Perahu terbuat dari kayu ringan sehingga tidak terlalu menguras tenaga kala didayung. Namun, ketika permukaan laut naik sekitar setengah meter, Poli tidak berani melaut. Takut terempas. Makanya dari dulu ia bermimpi punya perahu motor berukuran sedikit lebih besar, sekitar 3 gros ton. Sayang, ia tak punya cukup uang. Butuh modal minimal sekitar Rp 25 juta.
Ia pernah mencoba keberuntungan lewat proposal yang diajukan beberapa kali ke pemerintah setempat. Beberapa kali ia datang membawa proposal, tetapi tidak direspons. Ia bertahan dengan perahu kayu yang dibuat sendiri. Sejak jadi nelayan mulai umur 15 tahun, ia sudah ganti perahu empat kali. ”Modal hidup saya hanya sampan kecil, sedangkan laut dan ikan itu Tuhan yang kasih,” katanya.

Muis Ely (55), nelayan di Desa Asilulu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, menarik jaring bubu pada Jumat (18/9/2020). Jaring bubu terbuat dari bambu.
Baca juga: Warga Aru Mulai Berteriak Terkait Penangkapan Terukur
Malam itu sekitar pukul 22.00, ia tiba di titik yang dituju. Puluhan tahun menjelajahi perairan, ia tahu tempat di mana ikan berada. Tanpa panduan alat. Ia mulai melepas mata pancing dan umpan. Selama lebih dari empat jam, ia menggaet puluhan ekor ikan karang yang kebanyakan kakap dan kerapu berbagai ukuran.
Dini hari ia kembali mendayung perahu pulang ke darat. Hasil tangkapan langsung dijual ke pengepul yang memberinya imbalan Rp 500.000. ”Seandainya kalau saya punya perahu motor, saya pasti dapat ikan lebih banyak lagi,” kata nelayan miskin yang memiliki tujuh anak itu.
Penangkapan terukur
Nelayan bernasib semacam itu bukan hanya Poli. Banyak nelayan lokal Kepulauan Aru menggunakan perahu dayung selama bertahun-tahun, hidup di bawah garis kemiskinan. Laut Aru dan Laut Arafura yang kaya akan hasil laut belum mengubah hidup mereka. Perairan yang masuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI 718 itu justru menjadi ladang korporasi besar.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, WPPRI 718 memiliki potensi sumber daya ikan terbanyak dari 11 WPPRI di negara ini. Tahun 2021, jumlah produksi ikan dari WPPRI tersebut mencapai 1,7 juta ton. Jenis ikan yang ada di sana seperti pelagis, demersal, ikan karang, udang, lobster, dan cumi-cumi.
Selama bertahun-tahun pula, WPP RI 718 menjadi surga praktik penangkapan ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai regulasi (IUU Fishing) tertinggi. Pada akhir tahun 2014, mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti pernah menyebut, dalam satu tahun negara mengalami kehilangan pendapatan hingga Rp 20 triliun dari WPP RI 718.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F11%2F24%2F77674139-1808-49f2-ba33-d157497337a5_jpg.jpg)
Kapal yang berlabuh di perairan sekitar Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, Rabu (1/4/2015).
Selain itu, tahun 2015, dunia heboh dengan terungkapnya kasus perbudakan nelayan asing di Benjina, yang masih masuk Kepulauan Aru. Perusahaan yang akhirnya terbukti melakukan praktik tersebut adalah PT Pusaka Benjina Resources. Sejak saat itu, sektor perikanan secara nasional mulai ditata kembali.
Kini, pemerintah pusat berencana menerapkan kebijakan penangkapan terukur di sejumlah wilayah perairan, dan dimulai dari WPP RI 718. Perusahan besar menjadi pemain utama. Berdasarkan kontrak, mereka beroperasi di zona tertentu dengan kouta penangkapan yang ditetapkan. Di satu zona, bisa lebih dari satu perusahaan. Masa kontrak 15 tahun dan bisa diperpanjang satu kali.
Mendengar rencana penangkapan terukur itu, Poli kaget. ”Kenapa pemerintah lebih cepat urus perikanan untuk mereka yang pemodal besar, sedangkan kami nelayan miskin tidak diperhatikan? Saya yang bertahun-tahun minta bantuan perahu motor tidak pernah dikasih. Kira-kira pemerintah ini lebih berpihak kepada siapa?” tanya dia.
Target PNBP
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini Hanafi lewat sambungan telepon mengatakan, belum ada kepastian kapan kebijakan penangkapan terukur akan dilaksanakan. Landasan yuridis berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri masih disinkronisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Jika terlaksana nanti, ia berjanji akan membawa kesejahteraan bagi daerah sekitar zona penangkapan. Setiap perusahan pemegang kontrak diwajibkan mendaratkan ikan dekat zona penangkapan. Mereka juga membangun industri pengolahan di sana sehingga menyerap tenaga kerja lokal.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F04%2F03%2F7114ba7e-f7e8-4f75-aba3-d9107028589d_jpg.jpg)
Sejumlah 242 anak buah kapal (ABK) asal Myanmar dan Kamboja di PT Pusaka Benjina Resources, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, diangkut dengan kapal feri ke Tual, Maluku, untuk proses pemulangan ke negara asal, Selasa (19/5/2015). Sementara itu, sebanyak 42 ABK asal Thailand yang lanjut usia, di bawah umur, dan sakit juga dibawa ke Tual untuk menjalani perawatan. Perusahaan perikanan itu ditenggarai melakukan praktik perdagangan orang.
Di Maluku, misalnya, terdapat sejumlah pelabuhan pendaratan, seperti Ambon, Tual, dan Dobo. Ia menjamin pengawasan ketat mulai dari kuota hingga pengawasan terhadap pergerakan kapal menggunakan alat monitoring dan pantauan dari satelit. ”Coba lihat kehidupan masyarakat Maluku sekarang. Mereka tidak dapat apa-apa,” katanya.
Kebijakan tersebut, lanjutnya, justru akan membuka ruang semakin besar untuk pemberdayaan nelayan lokal. Anggaran pemberdayaan nelayan otomatis bertambah seiring meningkatnya pendapatan negara bukan pajak (PNBP) yang didapat dari penangkapan terukur. Targetnya, dalam satu tahun PNBP bisa mencapai Rp 12 triliun. ”Selama ini, kan, hanya sekitar Rp 200 miliar,” ujarnya. Terget dimaksud untuk semua zona penangkapan terukur di Indonesia.
Baca juga: KKP Janji Penangkapan Terukur untuk Majukan Daerah
Ruslan Tawari, pengajar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura Ambon, Maluku, berpendapat, kontrak bagi perusahaan di zona tertentu berpotensi menimbulkan pelanggaran. Perusahaan bisa dengan sangat bebas beroperasi di sana. Apalagi, dikhawatirkan, pemodal yang berada di balik perusahaan dimaksud sudah berpengalaman melakukan kejahatan perikanan di masa lalu.
Menurut Ruslan, banyak pemain lama yang datang dengan wajah baru untuk kembali mengeksploitasi sumber daya perikanan di sana. Dengan kontrak yang lama, sumber daya perikanan di sana akan mengalami degradasi yang sangat parah. ”Apakah aparat negara berani menindak pemodal besar itu? Ini jadi pertanyaan reflektif bagi kita,” ucapnya.
Sementara itu, Koalis NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan, lewat siaran pers, menolak rencana kebijakan penangkapan terukur itu. Mereka mendorong KKP membuat kebijakan pemulihan stok ikan di semua WPP RI dan mendorong pemberdayaan nelayan lokal untuk memanfaatkan potensi perikanan di wilayah mereka.

Potret kehidupan nelayan di Desa Tulehu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Kebijakan penangkapan terukur belum diterapkan. Berbagai suara kritis terkait wacana itu menginginkan agar pengelolaan sumber daya perikanan memperhatikan aspek keberlanjutan ekosistem dan perlindungan terhadap nelayan lokal. Sementara pemerintah mengklaim berkomitmen untuk hal itu pula. Biarlah waktu yang akan membuktikan, untuk siapa kebijakan penangkapan terukur itu dibuat.