Warga Kepulauan Aru Mulai Berteriak Terkait Kebijakan Penangkapan Terukur
Wacana penangkapan terukur mendapat tanggapan dari masyarakat di dekat zona penangkapan. Kementerian Kelautan dan Perikanan terbuka menerima masukan dari berbagai pihak.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
DOBO, KOMPAS — Rencana penangkapan terukur di sejumlah wilayah pengelolaan perikanan mulai mendapat tanggapan dari daerah. Kondisi ini perlu segera diantisipasi agar tidak menimbulkan konflik antara nelayan lokal dan investor pemegang kontrak. Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku pelaksana menyatakan sangat terbuka dengan masukan dari berbagai pihak.
Di Dobo, ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, mulai Selasa (15/3/2022) hingga sembilan hari berikutnya digelar mimbar bebas untuk menanggapi rencana pelaksanaan penangkapan terukur itu. Laut Aru dan Laut Arafura yang bersinggungan langsung dengan daerah itu menjadi wilayah perairan pertama yang menjadi contoh penerapan penangkapan terukur.
Johan Djamanmona, koordinator aksi, lewat sambungan telepon kepada Kompas, Rabu (16/3/2022), mengatakan, pihaknya menolak sistem kontrak diberlakukan di perairan yang masuk dalam Wilayah Pengelolaan Perikanan RI (WPPRI) 718 itu. ”Terbuka peluang korporasi pemegang kontrak akan melakukan eksploitasi secara berlebihan di sana,” ujarnya.
Pihaknya mendesak agar pemerintah mengalokasikan bantuan kepada nelayan lokal berupa kapal dan alat tangkap. Tujuannya agar nelayan lokal dapat berdaya. Selama ini, nelayan setempat mengadalkan alat tangkap seadanya. Kehidupan mereka tetap miskin di tengah potensi sumber daya alam melimpah. Sejak dahulu, perairan itu dikuasai korporasi dari dalam dan luar negeri.
Menurut dia, jika dipaksakan penerapan penangkapan terukur, akan menimbulkan konflik antara perusahaan pemegang kontrak dan nelayan setempat. ”Ketika operasi penangkapan yang dilakukan berdampak buruk kepada nelayan lokal, maka jangan salahkan masyarakat yang mengambil tindakan menyelamatkan wilayah penghidupan mereka,” ucapnya.
Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan, WPPRI 718 memiliki potensi sumber daya ikan terbanyak dari 11 WPPRI di negara ini. Tahun 2021, jumlah produksi ikan dari WPPRI tersebut mencapai 1,7 juta ton. Jenis ikan yang ada di sana seperti pelagis, demersal, ikan karang, udang, lobster, dan cumi-cumi.
Selama ini, nelayan setempat mengadalkan alat tangkap seadanya. Kehidupan mereka tetap miskin di tengah potensi sumber daya alam melimpah. (Johan Djamanmona)
Wacana penangkapan terukur itu gencar diperkenalkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai tahun 2021. Namun, hingga kini belum ada kepastian kapan kebijakan penangkapan terukur akan dilaksanakan. Landasan yuridis berupa peraturan pemerintah dan peraturan menteri masih disinkronisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, penangkapan terukur melibatkan perusahan besar. Berdasarkan kontrak dengan pemerintah, mereka beroperasi di zona tertentu dengan batas kouta penangkapan yang telah diatur. Dalam satu zona, bisa lebih dari satu perusahaan.
Setiap perusahan pemegang kontrak diwajibkan mendaratkan ikan di dekat zona penangkapan. Mereka membangun industri pengolahan di sana sehingga menyerap tenaga kerja lokal. Di Maluku, misalnya, terdapat sejumlah pelabuhan pendaratan, seperti Ambon, Tual, dan Dobo.
Ruslan Tawari, pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, meminta KKP agar mendengar masukan dari masyarakat yang berada di dekat zona penangkapan. ”Turun dan jelaskan kepada masyarakat seperti apa posisi mereka. Wajar kalau masyarakat tidak percaya dengan janji pemerintah karena selama ini banyak kejahatan perikanan di sana,” katanya.
Selama bertahun-tahun, WPPRI 718 menjadi surga praktik penangkapan ilegal, tidak terlapor, dan tidak sesuai dengan regulasi (IUU Fishing) tertinggi. Mantan Menteri KKP Susi Pudjiastuti pernah menyebut, dalam satu tahun negara mengalami kehilangan pendapatan hingga Rp 20 triliun dari WPP RI 718.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini Hanafi lewat sambungan telepon kepada Kompas, Minggu (13/3/2022) malam, berjanji akan mendengar masukan dari pihak mana pun. ”Draf peraturan untuk penangkapan terukur itu sudah kami sebarkan. Silakan kalau memang ada masukan,” katanya.
Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan menguntungkan daerah dekat zona penangkapan. Setiap perusahaan akan membangun industri perikanan di sekitar zona penangkapan. Sementara untuk pengawasan akan dilakukan berlapis mulai dari sistem monitoring di kapal, pantauan lewat satelit, dan pencatatan kuota penangkapan dalam sistem agar tidak bisa diotak-atik.