Pengembalian dana anggota koperasi simpan pinjam bermasalah yang menjadi putusan homologasi penundaan kewajiban pembayaran utang berlarut-larut. Koperasi perlu ditata ulang dengan undang-undang yang baru.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembayaran dana anggota delapan koperasi bermasalah sesuai proses homologasi berdasar putusan penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU berjalan sangat lambat. Tata kelola koperasi yang diatur dalam undang-undang perlu perbaikan untuk mencegah kasus yang sama terulang.
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Teten Masduki, dalam siaran pers, Selasa (23/3/2025), mengatakan, berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Ketua Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Koperasi Bermasalah, proses pembayaran tahapan homologasi oleh delapan koperasi simpan pinjam (KSP) yang ditangani Satgas cenderung sangat lambat. Target pembayaran berdasar waktu yang ditetapkan tidak terealisasi.
“Kenyataan ini tentu memprihatinkan kami, sekaligus menjadi pertanyaan besar. Bagaimana itikad baik dari pengurus koperasi tersebut untuk mengupayakan proses pembayaran tahapan homologasi itu,” kata Teten.
Keprihatinan itu diungkapkan Teten saat bertukar pandangan dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil, dan Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin di, Jakarta, Selasa kemarin. Dalam pembicaraan tertutup tersebut, substansi Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, khususya terkait perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada anggota KSP pada putusan homologasi, menjadi pembicaraan.
Teten mengatakan, “Kami telah berkoordinasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk dapat mendukung proses asset based resolution sebagai mekanisme pembayaran homologasi, khususnya terkait koordinasi dalam upaya pencabutan blokir aset-aset berupa lahan atau gedung yang bukan merupakan barang bukti terkait dugaan tindak pidana.”
Sebelumnya diberitakan terdapat delapan KSP yang mengalami gagal bayar kepada para anggotanya. Koperasi tersebut adalah KSP Sejahtera Bersama, KSP Indosurya, KSP Pracico Inti Sejahtera, KSP dan Pembiayaan Syariah Pracico Inti Utama, KSP Intidana, Koperasi Jasa Wahana Berkah Sentosa, KSP Lima Garuda, dan KSP Timur Pratama Indonesia. Dana yang harus dikembalikan setiap koperasi bervariasi, dari Rp 400 miliar hingga Rp 8,6 triliun. Total dana diperkirakan Rp 20 triliun.
Aset koperasi pada umumnya berupa piutang atau tagihan kepada anggota peminjam, aset tetap berupa lahan dan gedung, serta aset lainnya yang berupa investasi.
Merespon harapan Teten, Sofyan menyatakan kesanggupannya untuk mendukung proses asset based resolution. “Tentu nanti kita pelajari satu per satu kasusnya agar aset dimaksud bisa clear and clean,” ujarnya.
Aset koperasi pada umumnya berupa piutang atau tagihan kepada anggota peminjam, aset tetap berupa lahan dan gedung, serta aset lainnya yang berupa investasi. Selain mengupayakan penagihan piutang sebagai sumber pembayaran tahapan homologasi, koperasi dapat menjual aset tetap yang dimilikinya untuk membayar dana anggota berdasar tahapan homologasi.
Perlindungan hukum
Teten juga mengemukakan bahwa pihaknya meminta perlindungan hukum kepada MA agar hakim di Pengadilan Niaga berhati-hati dan tidak mudah mengabulkan permohonan PKPU/kepailitan yang diajukan koperasi. Dalam mengabulkan kepailitan, harus diperhatikan pula nasib dari ratusan ribu anggota lainnya, mengingat kenyataannya, proses tahapan pembayaran homologasi terhadap delapan koperasi tidak sesuai dengan tahapan yang telah disepakati dalam suatu putusan pengadilan.
MA, menurut Syarifuddin, akan melakukan pembinaan kepada hakim Pengadilan Niaga untuk mempertimbangkan secara hati-hati atas permohonan PKPU koperasi. “Kami sudah menerima surat dari Menteri Koperasi dan UKM dan akan menjadi perhatian kami dalam materi pembinaan hakim Pengadilan Niaga terkait hal ini,” katanya.
Posisi koperasi
Dalam pertemuan itu, Teten juga menyampaikan perlunya mengatur dengan tegas tentang posisi badan hukum koperasi yang selama ini dimasukkan dalam UU Kepailitan/PKPU. Menurut dia, undang-undang ini sebetulnya lebih tepat diberlakukan kepada korporasi daripada koperasi. UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dinilai usang dan tidak memberikan kewenangan yang cukup kepada Kementerian Koperasi dan UKM untuk mengawasi KSP dengan dana yang dihimpun dalam jumlah besar dan memiliki banyak kantor cabang.
“Kami sangat memahami kebutuhan perlunya pengaturan tentang koperasi di dalam UU Kepailitan/PKPU. Ataukah posisi koperasi diatur secara tersendiri di dalam UU Perkoperasian yang baru. Hal ini akan kami koordinasikan, karena menurut saya ini urgent,” ucap Mahfud.