Pemulihan Ekonomi Menyisakan Ketimpangan dan Efek Luka Memar
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan 4,7 juta orang di Asia Tenggara miskin secara ekstrem dan 9,3 juta orang kehilangan pekerjaan pada 2021. pandemi telah menyebabkan "scarring effect" atau efek luka memar bagi pekerja.
JAKARTA, KOMPAS — Pemulihan ekonomi dari imbas pandemi Covid-19 tengah terjadi. Namun, pemulihan ekonomi tersebut menyisakan persoalan sosial, mulai dari pengangguran, putus sekolah, dan kemiskinan sehingga memperbesar tingkat ketimpangan dan menyebabkan efek luka memar atau scarring effect.
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan 4,7 juta orang di Asia Tenggara miskin secara ekstrem dan 9,3 juta orang kehilangan pekerjaan pada 2021. Kendati ekonomi negara-negara di kawasan ini berangsur pulih, ketidakpastian ekonomi akibat pandemi masih terus terjadi lantaran munculnya varian-varian baru virus korona.
Gelombang Omicron dapat memangkas pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara hingga 0,8 poin pada 2022. Output ekonomi kawasan Asia Tenggara pada 2022 diperkirakan turun lebih dari 10 persen. Kelompok yang paling terimbas dampak pandemi, antara lain, para pekerja tanpa keterampilan khusus, pekerja di sektor ritel dan perekonomian informal, serta usaha kecil yang belum terdigitalisasi.
Hal itu terungkap dalam laporan Bank Pembangunan Asia (ADB) bertajuk ”Asia Tenggara Bangkit dari Pandemi” yang dipublikasikan pada Rabu (16/3/2022). ADB memaparkan laporan itu dalam Simposium Pembangunan Asia Tenggara (Southeast Asia Development Symposium/SEADS).
”Pandemi telah menyebabkan pengangguran di mana-mana, memperburuk ketimpangan, serta memperbesar tingkat kemiskinan,” kata Presiden ADB Masatsugu Asakawa melalui siaran pers.
Pandemi Covid-19 telah menyebabkan 4,7 juta orang di Asia Tenggara miskin secara ekstrem dan 9,3 juta orang kehilangan pekerjaan pada 2021.
Dalam laporan itu, ADB memperkirakan pertumbuhan ekonomi kawasan Asia Tenggara akan meningkat dari 3,1 persen pada 2021 menjadi 5,1 persen pada 2022. Tiga negara di kawasan itu yang ekonomi diperkirakan tumbuh tertinggi adalah Vietnam (6,5 persen), Filipina (6 persen), dan Malaysia (5,9 persen).
Adapun ekonomi Indonesia pada 2022 diproyeksikan tumbuh 5 persen. Output ekonomi Indonesia yang hilang akibat pandemi sebesar 9 persen dibandingkan dengan tren pertumbuhan ekonomi 2009-2019 yang sebesar 5,4 persen.
Secara khusus, ADB meyoroti dampak pandemi terhadap pendidikan yang berkorelasi terhadap penganguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial. Merujuk pada penelitian Molato-Gayares (2021), ADB menyebutkan, putus sekolah dapat memengaruhi pendapatan seumur hidup, serta pengangguran berkepanjangan dapat menyebabkan pekerja kehilangan keterampilan, motivasi, dan kemiskinan.
Di Indonesia, 2 persen anak mengalami putus sekolah karena kekurangan uang dan 20 persen akibat tidak mau melanjutkan sekolah. Saat bekerja nanti, mereka yang putus sekolah akan kehilangan pendapatan tahunan sekitar 10,4 persen atau sekitar Rp 3,7 juta karena tidak mendapat pekerjaan yang layak.
Baca juga : Putus Sekolah Bukan Sekadar Angka
Efek luka memar
Sementara di sektor ketenagakerjaan di Indonesia, dampak pandemi tidak hanya pada pengangguran yang berujung pada kemiskinan, tetapi juga mendistorsi pekerjaan dan pendapatan. Banyak pekerja formal beralih menjadi pekerja informal. Pangsa pekerja informal naik dari 55,9 persen pada 2019 menjadi 60,5 persen pada 2020, kemudian pada 2021 sedikit turun menjadi 59,6 persen.
Mengutip Survei Kehidupan Keluarga Indonesia pada 2021 (Pritadrajati, Kusuma, dan Saxena), ADB menyebutkan, pandemi telah menyebabkan scarring effect atau efek luka memar. Di sektor ketenagakerjaan, efek luka memar itu dipahami sebagai prospek pendapatan yang lebih rendah baik pekerja formal maupun informal.
Ada disparitas upah antara upah yang berlaku dengan upah yang dibayarkan (wage penalty). Diparitas upah itu berbeda-beda dan ditentukan melalui kondisi demografi. Misalnya, pekerja berusia 45-60 tahun akan mengalami disparitas upah sebesar 13,4 persen dan pekerja berusia 25-34 tahun sebesar 2,4 persen.
Pekerja formal dan informal berpendidikan menengah atas akan mengalami disparitas upah masing-masing sebesar 5,34 persen dan 6 persen. Adapun pekerja lelaki akan mengalami disparitas upah sebesar 2,5 persen dan pekerja perempuan 3,6 persen.
Pandemi telah menyebabkan scarring effect atau efek luka memar. Di sektor ketenagakerjaan, efek luka memar itu dipahami sebagai prospek pendapatan yang lebih rendah baik pekerja formal maupun informal.
Kendati demikian, ADB menilai, berkat program perlindungan sosial, termasuk Kartu Prakerja, Indonesia mampu meminimalkan imbas itu. Tingkat pengangguran, penurunan tingkat partisipasi angkatan kerja (LFPR), dan kehilangan pekerjaan masih cukup rendah.
Tingkat pengangguran, misalnya, yang sebelum pandemi berada di kisaran 5-5,5 persen memuncak pada Agustus 2020 menjadi 7,07 persen. Kemudian pada Agustus 2021, tingkat pengangguran itu turun menjadi 6,49 persen pada Agustus 2021.
Baca juga : Menghitung Hidup dengan Upah Minimum Rp 150.000 Per Hari
Melihat kondisi di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, khususnya di sektor ketenagakerjaan, ADB merekomendasikan agar masing-masing negara menangani pandemi Covid-19 sekaligus mendorong reformasi struktural untuk meningkatkan daya saing dan produktivitas. Penanganan dan investasi di sektor kesehatan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui naiknya partisipasi dan produktivitas tenaga kerja.
”Sementara itu, reformasi struktural perlu mengarah pada penyederhanaan perizinan usaha, mengurangi hambatan perdagaangan, dan mendorong usaha kecil untuk mengadopsi teknologi baru. Reformasi tersebut dapat pula mencakup pelatihan keterampilan untuk membantu pekerja mengatasi disrupsi pasar tenaga kerja dan relokasi pekerjaan di berbagai sektor,” kata Masatsugu.
Baca juga : Kartu Prakerja Ungkit Ketahanan Finansial, tetapi Belum Efektif Dorong Konsumsi
Dalam pembukaan seminar bertajuk ”Addressing Scarring Effect to Secure Future Growth” pada 9 Maret 2022, Bank Indonesia (BI) menjabarkan empat strategi untuk mengatasi efek luka memar di sejumlah sektor ekonomi di Indonesia. Hal itu juga menjadi agenda bersama BI bersama dengan bank-bank sentral lain anggota G-20 dalam rangka keketuaan Indonesia di G-20.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, strategi pertama adalah perlunya menyikapi isu realokasi tenaga kerja mengingat tingkat pengangguran yang meningkat selama pandemi Covid-19. Korporasi juga diharapkan dapat menata ulang kerangka bisnis, struktur keuangan, manajemen, dan ketahanan bisnis melalui digitalisasi.
Kedua, realokasi modal untuk mengatasi stagnasi produksi dan mendukung investasi untuk meningkatkan produktivitas. Salah satunya dengan terus mendorong lembaga pembiayaan untuk menyalurkan kredit kepada sektor-sektor prioritas.
Ketiga, menyeimbangkan upaya mengatasi scarring effect dengan meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan, sementara pada saat yang sama memastikan kesiapsiagaan dan pencegahan pandemi. Keempat, otoritas moneter dan fiskal harus bersinergi untuk memformulasi kebijakan, menjaga stabilitas sistem keuangan dan investasi, dan melanjutkan program transformasi digital sebagai motor perekonomian.
Isu realokasi tenaga kerja perlu disikapi mengingat tingkat pengangguran meningkat selama pandemi Covid-19. Korporasi juga diharapkan dapat menata ulang kerangka bisnis, struktur keuangan, manajemen, dan ketahanan bisnis melalui digitalisasi.
Baca juga : Ruang Gerak Sempit, Kebijakan Fiskal dan Moneter Mesti Adaptif
Bantuan tunai
Di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Barat, Senin (14/3/2022), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, pada tahun ini, pemerintah akan melanjutkan program bantuan tunai pedagang kaki lima dan warung (BT-PKLW) yang mulai disalurkan tahun lalu dengan perluasan manfaat untuk profesi nelayan. Tujuannya adalah mengurangi kemiskinan ekstrem di Indonesia.
”Pemerintah melanjutkan program itu dengan tambahan nelayan sebagai penerima manfaat. Khusus untuk nelayan, ini adalah program pertama di tahun ini,” ujar Airlangga dalam siaran pers.
Pada 2022, program BT-PKLW dan Nelayan menyasar 212 kabupaten/kota yang masuk dalam peta jalan program pengentasan kemiskinan ekstrem 0 persen di tahun 2024. Besaran BT-PKLWN adalah Rp 600.000 per orang untuk 2,76 juta penerima, yaitu untuk 1 juta PKLW dan 1,76 juta nelayan.
Khusus untuk nelayan kriterianya adalah mereka pelaku usaha kelautan dan perikanan yang merupakan nelayan buruh, nelayan penangkap ikan tanpa kapal, atau nelayan pemilik kapal kurang dari 5 gross tonase (GT).
Menurut Airlangga, pemerintah ingin agar bantuan ini dapat diterima oleh penerima manfaat secara langsung yang benar-benar berhak. Oleh karena itu, pemerintah menggandeng TNI-Polri untuk mendata dan menyalurkan bantuan itu ke masyarakat.
Dari 212 kabupaten/kota yang menjadi wilayah pelaksanaan BT-PKLW dan Nelayan, terdapat 106 kabupaten/kota yang disalurkan oleh PoIri dan 106 kabupaten/kota yang disalurkan oleh TNI. Dengan demikian, tidak akan ada duplikasi penerima. Proses penyaluran difasilitasi dengan sistem informasi BT-PKLW Polri dan sistem informasi BT-PKLW TNI.
”Bantuan ini diharapkan dapat menggerakkan kembali ekonomi masyarakat tingkat bawah untuk menjaga daya beli, keberlangsungan usaha dan penghidupan masyarakat yang menjalankan usaha mikro, terutama PKL dan pemilik warung,” kata Airlangga.
Baca juga : Bantuan Sosial Tetap Perlu