Putus Sekolah Bukan Sekadar Angka
Anak putus sekolah di tengah pandemi Covid-19 tidak cukup dilihat hanya dari satu sudut pandang belaka. Dibutuhkan pendekatan langsung pada keluarga untuk memahami persoalan secara lebih mendalam.
Persoalan klasik tentang putus sekolah terus membayangi dunia pendidikan di Indonesia. Kini, di tengah pandemi Covid-19, persoalan tentang anak putus sekolah tidak cukup dilihat hanya dari satu sudut pandang belaka. Bagaimana cara mendekati persoalan putus sekolah di tengah situasi saat ini?
Pelajar putus sekolah bukanlah persoalan baru bagi Indonesia. Sejak era kemerdekaan hingga saat ini, persoalan putus sekolah menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung terselesaikan. Faktor pendorong dan penariknya beragam, mulai dari ekonomi, sosial, hingga politik.
Meski menjadi persoalan klasik, putus sekolah di Indonesia perlu didekati dengan cara pandang yang berbeda pada setiap zamannya. Pada era kepemimpinan Presiden Soekarno, misalnya, putus sekolah saat itu bukan hanya berkaitan dengan persoalan pemerataan ekonomi semata, melainkan juga aksesibilitas. Anak putus sekolah kala itu bukan hanya disebabkan persoalan biaya, melainkan juga karena di desa mereka tidak tersedia sekolah lanjutan.
Putus sekolah juga menjadi persoalan pada era pemerintahan Soeharto. Pada masa ini, putus sekolah dipandang sebagai bagian dari politik pembangunan Orde Baru. Dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), persoalan dan data anak putus sekolah tak luput dari kajian pembahasan.
Di tengah gencarnya pembangunan pada era Orde Baru, persoalan anak putus sekolah salah satunya dihadapkan pada faktor keluarga, yakni standar pendidikan dari orangtua. Saat itu, sebagian anak hanya disekolahkan oleh orangtua hingga bisa membaca dan berhitung. Setelah itu, anak-anak tidak lagi disekolahkan oleh orangtua mereka karena dinilai telah berhasil mencapai tujuan pembelajaran di sekolah.
Sejak era kemerdekaan hingga saat ini, persoalan putus sekolah menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung terselesaikan.
Menurut catatan arsip harian Kompas, kejadian ini salah satunya pernah menjadi persoalan di Jawa Barat pada tahun 1969. Akibatnya, banyak pelajar yang putus sekolah pada kelas III dan IV jenjang SD karena dianggap telah dapat membaca dan menulis. Selanjutnya, anak-anak bekerja karena dinilai telah memiliki kemampuan membaca dan menulis.
Sepanjang era Orde Baru, terdapat 1.247 artikel di harian Kompas yang menyoroti persoalan putus sekolah. Ragam persoalan lain, seperti kesulitan guru, biaya, dan faktor keluarga, menjadi hal yang tidak terlepaskan dari pemberitaan tentang putus sekolah.
Setelah Orde Baru berakhir, putus sekolah masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Pada awal reformasi, krisis ekonomi dan politik menjadi salah satu penyebab anak putus sekolah. Bahkan, pada Juli 1998, angka partisipasi sekolah untuk pendidikan dasar menurun drastis dari 78 persen menjadi 58 persen.
Krisis politik dan ekonomi mungkin tidak pernah diprediksi akan turut menjadi variabel penentu yang menyebabkan anak putus sekolah. Namun, faktanya, hal ini juga turut memberi kontribusi pada kenaikan angka putus sekolah saat itu.
Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam catatan sejarah pendidikan di Indonesia, faktor pendorong dan penarik terjadinya putus sekolah sangat beragam sehingga perlu mendekatinya dari berbagai sudut pandang, baik sosial, ekonomi, maupun politik, sesuai zamannya.
Baca juga : Gotong Royong Mencegah Putus Sekolah
Tren
Kini, persis seperti periode Orde Lama dan Orde Baru, putus sekolah masih menjadi batu sandungan dalam pelaksanaan program pendidikan di Indonesia. Bahkan, sejak Mei 1998 hingga Februari 2022, terdapat 5.493 pemberitaan di Kompas yang menyoroti persoalan anak putus sekolah. Kondisi ini menyiratkan bahwa putus sekolah masih menjadi pekerjaan rumah yang menuntut untuk diselesaikan.
Merujuk data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, sejak tahun 2016 hingga 2019 atau sebelum Indonesia berhadapan dengan pandemi Covid-19, secara rata-rata lebih dari 100.000 anak di Indonesia putus sekolah setiap tahun. Putus sekolah terjadi pada berbagai jenjang pendidikan, seperti SD, SMP, SMA, dan SMK.
Memasuki periode pandemi, putus sekolah juga masih menjadi momok di tengah kesulitan multidimensi yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia. Putus sekolah masih terjadi pada berbagai jenjang pendidikan.
Pada tahun 2020, misalnya, terdapat lebih dari 44.000 anak jenjang SD yang putus sekolah. Jumlah pelajar putus sekolah ini lebih tinggi dibandingkan tahun 2017 (32.127 anak) dan 2018 (33.268 anak). Putus sekolah ini terjadi di semua provinsi di Indonesia. Pada tahun 2021, jumlah pelajar putus sekolah di Indonesia jenjang SD juga masih terbilang tinggi (38.716 anak).
Krisis politik dan ekonomi mungkin tidak pernah diprediksi akan turut menjadi variabel penentu yang menyebabkan anak putus sekolah.
Berdasarkan sebaran wilayah, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Sumatera Utara menjadi daerah dengan jumlah pelajar putus sekolah tertinggi di Indonesia pada tahun 2020. Daerah-daerah ini memang kerap menjadi provinsi dengan jumlah anak putus sekolah terbanyak mengingat besarnya jumlah pelajar yang menempuh jenjang pendidikan dasar dan menengah di ketiga provinsi ini.
Baca juga : Putus Sekolah Memperparah Persoalan Anak
Tantangan pandemi
Banyaknya pelajar yang putus sekolah di tengah pandemi juga terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 10-13 Februari 2022 lalu. Sebanyak 31,9 persen responden mengatakan memiliki anak, saudara, atau tetangga yang putus sekolah di tengah pandemi. Kondisi ini terjadi di Pulau Jawa ataupun luar Jawa.
Ada berbagai alasan yang menyebabkan anak putus sekolah di tengah pandemi. Persoalan utama memang masih didominasi faktor ekonomi. Dari semua responden yang memiliki anak, saudara, atau tetangga putus sekolah di tengah pandemi, lebih dari separuh (56,8 persen) di antaranya menyatakan persoalan biaya menjadi faktor pendorong putus sekolah. Orangtua yang tidak lagi bekerja menyebabkan anak kesulitan biaya untuk melanjutkan pendidikan.
Di balik temuan ini, satu hal yang perlu dicermati lebih mendalam adalah hadirnya faktor selain ekonomi, sosial, dan politik yang menyebabkan anak putus sekolah. Salah satu faktor lain itu adalah persoalan kesehatan yang bermuara pada dampak perekonomian.
Hal ini mungkin tidak pernah terduga bahwa persoalan di bidang kesehatan, seperti pandemi, akan bermuara pada persoalan anak putus sekolah. Namun, kenyataannya, penyakit berskala luas juga dapat menyebabkan anak putus sekolah, seperti yang pernah terjadi di Afrika Barat akibat epidemi Ebola pada tahun 2014 lalu.
Jika berkaca dari catatan sejarah pendidikan di Indonesia, putus sekolah akibat pembelajaran jarak jauh adalah persoalan baru.
Persoalan lain yang juga menjadi alasan anak putus sekolah adalah pembelajaran jarak jauh yang terlalu lama. Alasan ini diungkapkan oleh 10,1 persen responden di Pulau Jawa dan 16,0 persen responden di luar Jawa yang memiliki anak, saudara, atau tetangga putus sekolah di tengah pandemi.
Jika berkaca dari catatan sejarah pendidikan di Indonesia, putus sekolah akibat pembelajaran jarak jauh adalah persoalan baru. Hilangnya ikatan sosial dan emosional pelajar dengan sekolah saat pembelajaran jarak jauh dapat menjadi faktor pendorong anak putus sekolah. Evaluasi secara menyeluruh amat dibutuhkan dari berbagai pendekatan untuk mencegah bertambahnya anak putus sekolah akibat pembelajaran jarak jauh.
Selain itu, kesalahan dalam memanfaatkan teknologi juga memberi dampak pada anak putus sekolah di tengah pandemi. Sebanyak 3,8 persen responden di Jawa dan 3,7 persen responden di luar Jawa yang memiliki anak, saudara, tetangga putus sekolah menyatakan bahwa kecanduan gim daring menjadi penyebab anak-anak putus sekolah.
Ruang berjarak antara pelajar dan sekolah, ditambah gawai yang kian dekat dengan pelajar seiring kebutuhan pembelajaran jarak jauh, berpotensi menyebabkan anak kecanduan gim daring jika tidak diawasi. Meski tidak banyak, kondisi ini pada akhirnya juga turut menjadi faktor pendorong anak putus sekolah di tengah pandemi.
Dari sekian banyak penyebab anak putus sekolah di tengah pandemi, tampak bahwa persoalan anak sekolah akan menjadi permasalahan yang terus berkembang seiring kondisi zaman. Jika dahulu faktor penyebab anak putus sekolah hanya berkutat pada aspek ekonomi, sosial, dan politik, kini faktor penyebabnya mulai merambah pada dimensi kesehatan hingga pemanfaatan teknologi.
Berdasarkan situasi ini, putus sekolah tentu tak cukup hanya didekati dari sudut pandang ekonomi atau politik belaka. Di tengah situasi pandemi, aspek kebijakan, kebermanfaatan teknologi, hingga persoalan kesehatan juga turut menjadi faktor yang perlu didekati.
Artinya, pendekatan yang berbeda dibutuhkan untuk mengatasi persoalan putus sekolah. Kebijakan bantuan dana pendidikan tidak lagi cukup menjadi satu-satunya cara mengantisipasi anak putus sekolah. Dibutuhkan pendekatan personal langsung kepada keluarga hingga peserta didik untuk memahami persoalan secara lebih mendalam demi mencegah anak putus sekolah di setiap daerah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mimpi-mimpi yang Direnggut Pandemi