Kartu Prakerja Ungkit Ketahanan Finansial, tetapi Belum Efektif Dorong Konsumsi
Kartu Prakerja mampu memperkuat ketahanan finansial pesertanya. Namun, program itu tidak signifikan mendorong konsumsi masyarakat. Sebaliknya, peserta memilih membeli aset, berinvestasi, dan membiayai modal usaha.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Survei terbaru menunjukkan Kartu Prakerja dapat meningkatkan ketahanan finansial para pesertanya di tengah krisis. Namun, program itu belum efektif menggerakkan konsumsi. Lebih banyak peserta yang menggunakan uang yang diterima untuk membeli aset, memodali usaha, dan berinvestasi ketimbang dibelanjakan.
Hal itu tampak dalam penelitian yang dilakukan oleh Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) Asia Tenggara (SEA) bersama Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB Universitas Indonesia (LPEM-FEB UI) dan Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja.
Survei evaluasi dampak dengan pendekatan evaluasi acak (randomized evaluation) itu diadakan pada 16 Agustus-21 Oktober 2021 dan melibatkan 47.750 responden yang dibagi menjadi dua kelompok sampel. Kelompok pertama merupakan masyarakat penerima Kartu Prakerja dan kelompok kedua adalah mereka yang bukan penerima Kartu Prakerja.
Hasil penelitian itu menunjukkan, Kartu Prakerja sebagai program semi bantuan sosial (bansos) meningkatkan taraf hidup para penerimanya. Itu terlihat dari ketahanan finansial dan ketahanan pangan peserta Kartu Prakerja dibandingkan dengan masyarakat lain yang bukan peserta.
Profesor ekonomi dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Benjamin Olken, Rabu (1/12/2021), mencontohkan, penerima Kartu Prakerja memiliki probabilitas 2,9 persen lebih tinggi untuk memiliki ketahanan pangan (food security) dibandingkan masyarakat yang tidak menerima Kartu Prakerja.
Sebanyak 54 persen penerima program melaporkan tidak pernah makan lebih sedikit dari biasanya dalam tiga bulan terakhir karena kesulitan keuangan. Jumlah itu lebih banyak dibandingkan dengan 51 persen nonpenerima program.
Penerima Kartu Prakerja juga lebih aman dari sisi finansial. Mereka memiliki probabilitas 8 persen lebih rendah untuk meminjam uang (loan) dalam tiga bulan terakhir untuk mengatasi kesulitan keuangan. Sebaliknya, dengan insentif yang didapat, mereka lebih memungkinkan membeli aset dan berinvestasi.
Ekonom dari Harvard Kennedy School, Rema Hanna, menambahkan, peserta Kartu Prakerja juga mengalami peningkatan pendapatan dari semua jenis pekerjaan sekitar Rp 122.500 per bulan. ”Ada peningkatan pendapatan sebesar 10 persen pada penerima Kartu Prakerja,” katanya dalam diskusi daring ”Impact Evaluation of Kartu Prakerja”.
Konsumsi turun
Meski ampuh untuk menjadi bantalan sosial dan memperbaiki taraf hidup pesertanya, insentif uang tunai dari Kartu Prakerja belum efektif mendorong belanja dan menggerakkan konsumsi masyarakat.
Olken mengatakan, belanja makanan rata-rata peserta menurun Rp 42.100 dalam satu bulan terakhir. Temuan ini paling banyak ditemukan di peserta angkatan tahun 2021, yang menghemat sampai Rp 97.800 dalam belanja makanan.
Tingkat konsumsi non-makanan peserta Kartu Prakerja juga lebih rendah. Belanja non-makanan rata-rata peserta Kartu Prakerja menurun Rp 47.400 dalam satu bulan terakhir. Sama dengan belanja makanan, temuan ini juga paling banyak ditemukan di peserta angkatan 2021, yang mengurangi belanja non-makanannya hingga Rp 82.900.
”Ini temuan yang cukup mengejutkan karena asumsi kami di awal adalah, jika pemasukan seseorang bertambah dan mereka lebih aman secara finansial, seharusnya belanja dan konsumsinya pun meningkat,” kata Olken dalam kesempatan yang sama.
Di sisi lain, penerima Kartu Prakerja justru lebih banyak membeli aset seperti emas atau perhiasan, sepeda motor, hewan ternak, dan gawai elektronik.
Olken menduga, tingkat belanja yang rendah di kelompok penerima Kartu Prakerja itu disebabkan oleh preferensi peserta untuk lebih memilih membeli aset, membiayai modal usaha, dan berinvestasi dibandingkan membelanjakan uangnya untuk makan.
”Karena uangnya dipakai lebih banyak untuk membuka usaha sendiri dan membeli aset, maka pengeluaran untuk konsumsi sehari-hari lebih ditekan. Hal ini perlu pendalaman lebih lanjut,” katanya.
Ekonom Bank Dunia, Maria Monica Wihardja, memberi sejumlah masukan terhadap penelitian itu, khususnya menyangkut keseimbangan sampel antara kelompok responden penerima Kartu Prakerja dan yang nonpenerima. Ia menyoroti, responden peserta Kartu Prakerja memiliki status pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan nonpeserta.
”Ini hal penting yang harus disikapi hati-hati. Sebab, lamanya masa sekolah seseorang itu berhubungan erat dengan variabel sosial-ekonomi lainnya, seperti tingkat pendapatan, akses terhadap internet, keterampilan/keahlian yang dimiliki, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, dengan melihat keberhasilan program Kartu Prakerja sejauh ini, pemerintah akan tetap melanjutkan program itu ke tahun 2022. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 11 triliun atau 4,3 persen dari total anggaran perlindungan sosial tahun depan.
”Hasil survei persepsi masyarakat yang dilakukan di masa pandemi ini menunjukkan, Kartu Prakerja mampu menjadi bantuan sosial yang paling bermanfaat. Nmaun, capaian-capaian ini tetap memerlukan upaya perbaikan secara berkelanjutan,” katanya.