Ruang Gerak Sempit, Kebijakan Fiskal dan Moneter Mesti Adaptif
Pemulihan ekonomi dunia dihadapkan pada tantangan sempitnya ruang manuver kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, ada tantangan baru yang dihadapi dunia, yakni dampak krisis Rusia-Ukraina.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Negara-negara di dunia dihadapkan pada tantangan memulihkan perekonomian yang tertekan akibat pandemi Covid-19 dalam ruang fiskal dan moneter yang sempit. Pemerintah di sejumlah negara dunia tidak memiliki dana fiskal yang cukup besar untuk menggairahkan perekonomiannya kembali. Di tengah keterbatasan itu, kebijakan fiskal dan moneter yang adaptif diperlukan guna memulihkan perekonomian.
Chief Economist ASEAN+3 Macroeconomics Research Office (AMRO) Hoo Ee Khor mengatakan, kebijakan fiskal dan moneter bisa menjadi salah satu instrumen pemerintah negara dunia untuk memulihkan perekonomian. Namun, situasi saat ini banyak negara yang tidak memiliki ruang fiskal dan kebijakan moneter yang lapang.
”Persoalan yang harus kita bahas bersama ialah bagaimana menanggulangi scaring effect dengan ruang fiskal dan moneter yang sempit,” ujar Hoo dalam rangkaian acara kelompok kerja pembentukan kerangka kerja G-20 bertajuk ”Addresing Scarring Effect to Secure Future Growth”, Rabu (9/3/2022) malam.
Adapun yang dimaksud dengan scarring effect adalah dampak jangka panjang yang tidak mudah ditanggulangi akibat tekanan ekonomi yang dipicu pandemi Covid-19. Situasi ini seperti luka membekas yang sulit hilang meski rasa sakitnya sudah tidak terasa.
Ia mengidentifikasi ada tiga aspek yang mengalami scarring effect, yaitu disrupsi pasar tenaga kerja, neraca keuangan korporasi yang masih merugi, dan produktivitas yang menurun. Disrupsi pasar tenaga kerja disebabkan oleh permintaan tenaga kerja yang belum sebanding dengan penawarannya. Adapun korporasi yang merugi disebabkan oleh permintaan yang belum pulih, sedangkan ongkos operasional harus terus berjalan. Ini semua mengakibatkan produktivitas negara secara keseluruhan yang menurun.
Guna menanggulangi hal itu, lanjut Hoo, kebijakan fiskal perlu menyeimbangkan antara anggaran pemulihan ekonomi jangka pendek dan anggaran pemulihan yang diperlukan untuk meminimalkan dampak jangka panjang.
Kebijakan fiskal jangka pendek bisa diarahkan untuk memperkuat permintaan dan penawaran pasar tenaga kerja, memberikan dukungan fiskal yang sesuai dengan model bisnis dengan sektor korporasi yang merugi, dan meningkatkan investasi dan insentif transisi digital. Sementara kebijakan jangka panjang adalah memperluas pasar dan serapan tenaga kerja dan memperkuat investasi di bidang penelitian, pengembangan, serta pembangunan infrastruktur.
Chief Macroeconomy Policy & Financing for Development United Nation-Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP) Sweta C Saxena mengatakan, berdasarkan riset ESCAP dan Bank Dunia, sejak tahun 2020 sampai Februari 2022 total kerugian di negara-negara kawasan Asia Pasifik akibat pandemi mencapai 2 triliun dollar AS. Perhitungan kerugian itu meliputi berbagai macam indikator, seperti penurunan produk domestik bruto dan kerugian aspek pengembangan sumber daya manusia. ”Gejolak ini memberikan dampak jangka panjang pada tekanan ekonomi,” ujar Sweta.
Tantangan perang
Selain ruang fiskal dan moneter yang sempit, pemulihan ekonomi dunia juga dihadapkan pada tantangan baru, yakni perang antara Rusia dan Ukraina. Executive Director of The Reinventing Bretton Wood Committee Marc Uzan mengatakan, perang antara Rusia dan Ukraina bakal menghambat pemulihan ekonomi dunia yang sudah terlebih dahulu tertekan akibat pandemi.
Hal itu karena perang menimbulkan gejolak stabilitas keuangan dan menghambat perdagangan dan investasi dunia. Negara-negara lain perlu mengantisipasi dampak itu walaupun tidak memiliki banyak ruang fiskal dan moneter untuk bermanuver. ”Kita mesti bertarung untuk memulihkan scaring effect. Perang Rusia ini menambah tantangannya,” ujar Marc.
Padahal, sebelum terjadi perang pun, lanjut Marc, dunia sudah dihadapkan pada berbagai persoalan ekonomi, seperti disrupsi rantai pasok global yang memicu hiperinflasi di sejumlah negara dunia.
Inflasi yang terjadi di berbagai belahan dunia ini terjadi karena jumlah permintaan tidak diimbangi dengan jumlah penawaran. Fenomena inilah yang saat ini disebut disrupsi rantai pasok global.
Tidak seimbangnya itu terjadi karena pemulihan sektor riil atau dunia usaha yang memproduksi barang dan jasa (penawaran) tidak secepat konsumsi rumah tangga (permintaan). Saat itulah hukum ekonomi berjalan, di mana harga-harga pun naik sehingga terjadi kenaikan inflasi.
Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Dengan adanya kenaikan inflasi, maka bank sentral di seluruh dunia akan mengerem laju inflasi dengan menaikkan tingkat suku bunga. Padahal, dunia usaha juga tengah memerlukan rangsangan bunga rendah untuk kembali berekspansi yang pada ujungnya menggairahkan perekonomian negara. Fenomena inilah yang disebut stagflasi.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, seperti tema Presidensi G-20 Indonesia, yaitu ”Recover Together, Recover Stronger”, maka pemulihan ekonomi dunia harus diantisipasi serta dilakukan bersama-sama dan sinergis antarnegara. Untuk itu, perlu inisiasi kerangka kerja kebijakan bersama untuk menyembuhkan dampak ekonomi karena pandemi.