Menyoal Alasan dan Momentum Aturan Baru Pencairan JHT
Permenaker No 2/2022 yang mengatur, antara lain, Jaminan Hari Tua hanya dapat dicairkan saat peserta berusia 56 tahun memantik polemik. Ada pandangan JHT mestinya dapat dicairkan sesuai kebutuhan pekerja.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur bahwa pekerja berhak mendapatkan jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan hari tua. Belakangan terjadi kegaduhan di ruang publik ketika pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 2/2022 mengatur, antara lain, dana Jaminan Hari Tua (JHT) hanya bisa dicairkan saat peserta berusia 56 tahun. Padahal, berdasarkan regulasi sebelumnya, yakni Permenaker No 19/2015, dana JHT dapat dicairkan kepada peserta yang berhenti bekerja dan dibayarkan tunai setelah masa tunggu satu bulan.
Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Permenaker No 2/2022 dibentuk atas dasar rekomendasi dan aspirasi berbagai pemangku kepentingan yang mendorong pemerintah menetapkan kebijakan yang mengembalikan program JHT sesuai dengan fungsinya. Hal ini sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Rekomendasi tersebut, misalnya, didapat dari hasil rapat dengar pendapat dengan Komisi IX DPR tanggal 28 September 2021 yang dihadiri perwakilan institusi dari Dewan Jaminan Sosial Nasional, Dewas BPJS Ketenagakerjaan, Direksi BPJS Ketenagakerjaan, pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dan pengurus Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).
”Dalam rapat tersebut, Komisi IX mendesak Kemenaker untuk meningkatkan manfaat program jaminan kehilangan pekerjaan bagi pekerja informal serta mengharmonisasikan regulasi jaminan sosial, terutama regulasi klaim Jaminan Hari Tua dan program jaminan pensiun,” kata Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dalam acara Satu Meja the Forum bertajuk ”Dana JHT Hak Siapa?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (16/2/2022) malam.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo itu diikuti sejumlah narasumber, yakni Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Saleh Partaonan Daulay, Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar Melki Laka Lena, dan pengamat ekonomi Yanuar Rizki.
Baca juga : Timbang Ulang Aturan JHT
Ida menuturkan, Permenaker No 2/2022 juga merupakan hasil pokok-pokok pikiran badan pekerja lembaga Tripartit Nasional tanggal 18 November 2021 yang agendanya adalah pembahasan mengenai perubahan Permenaker No 19/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan dari forum itu adalah mengembalikan filosofi penyelenggaraan program JHT sebagai program jangka panjang.
Hal ini untuk memberikan kepastian tersedianya sejumlah dana bagi tenaga kerja pada saat yang bersangkutan tidak produktif lagi ketika memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. ”(Hal) ini juga berdasarkan hasil kajian dari DJSN yang meminta pemerintah perlu membuat dan menetapkan kebijakan yang mengembalikan program JHT sesuai dengan fungsinya sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN,” kata Ida.
Ini juga berdasarkan hasil kajian dari DJSN yang meminta pemerintah perlu membuat dan menetapkan kebijakan yang mengembalikan program JHT sesuai dengan fungsinya sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Terkait UU SJSN yang memungkinkan pencairan JHT tidak harus di saat pekerja pensiun di usia 56 tahun, Ida mengatakan, sampai sekarang pun, dengan Permenaker No 2/2022, ada kemungkinan untuk menggunakan dana JHT pada masa tertentu. Dalam hal ini, ketika masa kepesertaan sudah 10 tahun, peserta dapat menggunakan 30 persen untuk kepentingan perumahan dan 10 persen untuk kepentingan yang lain.
Baca juga : Pemerintah Diminta Tunda Aturan JHT
Sehubungan Permenaker No 19/2015 yang memungkinkan peserta mengambil dana JHT sewaktu-waktu ketika mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), Ida menjelaskan, regulasi tersebut diterbitkan di saat Indonesia belum memiliki bantalan ketika pekerja atau buruh mengalami PHK. ”Nah, sekarang, dengan Undang-Undang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021, kita sudah memiliki program baru yang disebut dengan Jaminan Kehilangan Pekerjaan,” katanya.
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) tersebut, menurut Ida, adalah bantalan bagi pekerja atau buruh yang mengalami PHK. Program ini adalah manfaat baru bagi pekerja tanpa mereka harus membayar iuran tambahan. Pihak yang mengiur dalam hal ini adalah pemerintah.
Dana JHT merupakan iuran pemberi kerja dan iuran pekerja. ”Kami tidak mengutak-atik uang peserta. Justru kewajiban BPJS adalah mengembangkan uang itu sehingga ketika masuk pada usia pensiun, pada usia yang tidak produktif lagi, teman-teman bisa menggunakan untuk kebutuhannya pada masa tua tersebut,” ujar Ida.
Kami tidak mengutak-atik uang peserta. Justru kewajiban BPJS adalah mengembangkan uang itu sehingga ketika masuk pada usia pensiun, pada usia yang tidak produktif lagi, teman-teman bisa menggunakan untuk kebutuhannya pada masa tua tersebut.
Pengamat ekonomi Yanuar Rizki mengatakan, apabila melihat laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan 2020, program dana jaminan sosial JHT mengalami arus kas negatif. Artinya, lebih banyak mengeluarkan uang daripada memasukkan uang. Unsur masukan uang adalah iuran yang tumbuh positif sekitar 4 persen. Namun, terjadi lonjakan klaim JHT sekitar 15,5 persen.
Menyoal momentum
Yanuar menyebutkan, secara jangka panjang dimungkinkan untuk mengembalikan fungsi JHT dan sebagainya. ”Tetapi, kembali, momentumnya tidak pas. Kedua, ini, menurut saya, kita kayak menutup mata (mengenai) apa, sih, yang sebenarnya sedang terjadi? (Hal) yang sebenarnya terjadi sebetulnya tekanan terhadap klaim BPJS Ketenagakerjaan yang memicu Permen (Permenaker No 2/2022) ini keluar,” katanya.
Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita Silaban mengatakan, 10 federasi yang berafiliasi ke KSBSI pada Rabu pagi bertemu Menaker Ida Fauziyah. ”Lalu kami sampaikan keberatan-keberatan kami, (yakni) kenapa (Permenaker No 2/2022) ini harus muncul saat ini. Lalu kami memang meminta kepada Ibu Menteri, kalau tidak dicabut, (ya) minimal direvisi,” ujar Elly.
Kami sampaikan keberatan-keberatan kami, (yakni) kenapa (Permenaker No 2/2022) ini harus muncul saat ini. Lalu kami memang meminta kepada Ibu Menteri, kalau tidak dicabut, (ya) minimal direvisi.
Terkait momentum, Elly melanjutkan, seandainya tidak ada pandemi Covid-19 dan tidak banyak PHK buruh, barangkali tidak seperti ini besarnya penolakan terhadap Permenaker No 2/2022. Selain menyoal substansi, sosialisasi Permenaker No 2/2022 juga merupakan rangkaian problem yang menjadi keberatan KSBSI. Sosialisasi seharusnya dilakukan sebelum permenaker turun. ”Dengan demikian, kami bisa lebih memasukkan masukan-masukan atau ide,” ujar Elly.
Baca juga : Buruh Demo JHT, Ini Tuntutannya
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan, kesimpulan pembicaraan secara umum di Komisi IX saat itu adalah bagaimana pemerintah meninjau seluruh aturan berkenaan dengan kebijakan yang menyejahterakan pekerja. Hal ini termasuk harmonisasi dan sinkronisasi aturan perundang-undangan.
”Namun, secara khusus, tidak ada itu kita bercerita bahwa JHT nanti hanya bisa diambil pada usia 56 tahun. Itu, yang pertama, yang membuat saya mengatakan bahwa ini sebetulnya tidak arif, kurang bijak, ketika ada aturan seperti ini tiba-tiba muncul,” kata Saleh.
Kedua, menurut Saleh, minimal ada tiga hal yang mesti dipertimbangkan dalam kajian pembuatan perundang-undangan, yakni aspek landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Secara sosiologis, Permenaker No 2/2022 dinilai keluar pada saat yang kurang tepat. Hal tersebut karena baru-baru ini para pekerja mengalami atau merasa ditinggalkan.
Baca juga : Tata Kelola Investasi JHT Disoroti, Kesejahteraan Pekerja Jangan Jadi Taruhan
Saleh memisalkan UU Cipta Kerja yang tetap saja disahkan meskipun saat pembahasannya banyak mendapat penolakan dari buruh. Demikian pula aturan terkait upah minimum yang tetap disahkan meskipun banyak kalangan buruh menolak dan memprotesnya. Di tengah situasi seperti itu muncul lagi soal JHT.
”JHT ini, bagi mereka, kok tiba-tiba muncul seperti ini. Seakan-akan para pekerja ditinggalkan dan mereka dianggap suatu bagian yang kalau sudah diatur begini harus ikut, harus manut. Menurut keterangan yang saya dapatkan, para pekerja atau serikat pekerja ini tidak dilibatkan dalam pembicaraan tripartit. Kalaupun, misalnya, ada yang dilibatkan, ini komponen yang mana? Ini yang membuat para pekerja, saya kira, juga merasa ditinggalkan,” tutur Saleh.
Saleh berpendapat landasan sosiologis Permenaker No 2/2022 kurang mendapatkan momentum. Oleh karena itu, regulasi tersebut perlu dikritisi, diperdalam, dipertimbangkan, dan dikaji ulang. ”Nanti kalau memang terbukti (regulasi) ini tidak tepat ataupun merugikan para pekerja, saya meminta ini ditinjau ulang dan kalau perlu dicabut,” katanya.
Baca juga : Tak Diabaikan, Perlindungan Pekerja yang Alami PHK Sebelum Usia 56 Tahun
Menurut Saleh, JHT adalah uang para pekerja yang mestinya dapat diambil kapan saja. Dia memisalkan ada pekerja mendapatkan JKP lalu memutuskan membuka lapangan kerja baru, tetapi uangnya ternyata kurang. Peluang mendapatkan uang segar paling cepat adalah dari JHT.
Terkait hal itu, Saleh menilai perlu ada opsi. ”Pekerja boleh memilih, mau mengambil JHT silakan, mau tunggu 56 tahun silakan, karena ini, kan, tergantung kebutuhan pekerja, yang masing-masing orang berbeda,” ujarnya.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Golkar, Melki Laka Lena, menuturkan, pihaknya mendukung pengembalian program JHT sesuai fungsinya, yakni sebagai jaminan hari tua. Saran bagi pemerintah, saat ini masanya sosialisasi agar konsep JHT benar-benar dapat dipahami.
Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan Dita Indah Sari menjelaskan, konsepsi-konsepsi asuransi sosial memang membutuhkan waktu penjelasan kepada masyarakat. Dia mencontohkan UU SJSN yang disahkan tahun 2004, tetapi aturan turunnya, berupa pembentukan lembaga BPJS sebagai amanat UU tersebut, baru muncul tahun 2011.
Baca juga : Karyawan Swasta Uji Materi Permenaker 2/2022 tentang Jaminan Hari Tua ke MA
Jadi, butuh waktu tujuh tahun untuk mempersiapkan dan meyakinkan masyarakat mengenai adanya konsep baru asuransi sosial yang mewajibkan mereka harus mengiur dan bergotong royong. Ketika mereka sudah menempatkan sejumlah uang di lembaga asuransi sosial, ada aturan-aturan di mana mereka tidak langsung dapat menarik uang itu dan langsung mendapat manfaat.
”Ada jeda waktu dan sebagainya. Salah satunya JHT ini. (Oleh) karena teman-teman di 2015 sudah mendapatkan semacam diskresi untuk mengambil uang itu satu bulan setelah di-PHK, maka ketika (dana JHT) itu mau dikembalikan ke khitahnya, karena sudah merasakan senangnya, merasa tidak mau melepaskan itu,” ujar Dita.
Menurut Dita, fungsi JHT keliru ketika diambil oleh pekerja untuk membuka usaha setelah di-PHK atau mengundurkan diri. Fungsi jaminan sosial bukanlah bantuan sosial wirausaha. Bantuan sosial wirausaha ada di kementerian-kementerian. Alih-alih memakai tabungan pribadi pekerja yang semestinya bisa untuk jaminan masa tua, lebih baik menggunakan anggaran negara yang memang posnya untuk wirausaha.
Dita mengatakan, rasio pembayaran klaim JHT, yaitu pendapatan iuran dibandingkan pembayaran klaim, tiga tahun terakhir menunjukkan angka 65,4 persen. ”Artinya, perjalanan pembayaran selama setahun ini sudah cukup di-cover. Itu data yang saya dapat dari BPJS per satu minggu terakhir,” ujarnya.
Kemenaker menerima masukan dari KSBSI mengenai perlunya sosialisasi dan pelibatan pihak lain secara luas sehubungan dengan regulasi menyangkut JHT. Namun, terkait anggapan bahwa pemerintah kurang sosialisasi dan melibatkan para pekerja saat UU Cipta Kerja dan pengupahan, hal yang menjadi pertanyaan adalah seberapa cukup sosialisasi dan dialog itu.
”Seberapa kadar dialog yang dirasa cukup untuk mengakomodasi ratusan serikat pekerja? Makanya, karena ada begitu banyak serikat pekerja, kami pertama kali masuk ke Lembaga Kerja Sama Tripartit, karena itulah unsur yang paling representatif,” kata Dita.