Karyawan Swasta Uji Materi Permenaker No 2/2022 tentang Jaminan Hari Tua ke MA
Permenaker No 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua dianggap diskriminatif dan tidak memberikan kepastian hukum. Pasal 5 Permenaker itu diuji ke Mahkamah Agung.
JAKARTA, KOMPAS — Seorang karyawan swasta bernama Redyanto Reno Baskoro menguji materi Pasal 5 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua. Dia meminta Mahkamah Agung menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Anggota tim kuasa hukum penggugat, Singgih Tomi Gumilang, saat dihubungi, Selasa (15/2/2022), mengatakan, gugatan uji materi sudah dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan dilayangkan melalui PN Jaksel karena domisili penggugat berada di wilayah itu. Adapun gugatan tidak dilayangkan langsung ke Mahkamah Agung (MA) karena saat ini sedang dilakukan karantina wilayah akibat penularan Covid-19.
”Benar, hari ini, gugatan sudah kami layangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,” ujar Singgih.
Menjadi aneh dan tidak adil jika ada orang terkena pemutusan hubungan kerja atau mengundurkan diri atas permintaan sendiri tidak bisa mendapatkan uang Jaminan Hari Tua dan harus menunggu hingga usia 56 tahun baru bisa dicairkan. Jika ada pekerja terkena PHK dan berusia 46 tahun, dia harus menunggu 10 tahun untuk mendapatkan uang JHT-nya.
Singgih menerangkan, alasan penggugat menguji materi norma Pasal 5 Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang berbunyi ”manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) bagi peserta yang dikenai pemutusan hubungan kerja atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun dibayarkan pada saat peserta mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun” itu adalah karena tidak mencerminkan keadilan dan kepastian hukum sebagaimana diatur di Undang-Undang No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Baca Juga: Timbang Ulang Aturan JHT
Selain itu, hakikat norma yang terkandung di JHT adalah pemberian sejumlah uang yang merupakan hasil jerih payah pekerja dan pengusaha yang dibayarkan melalui BPJS Ketenagakerjaan. Artinya, hari tua dimaknai ketika pekerja sudah tidak cakap lagi bekerja. Tidak cakap bekerja bukan hanya karena pekerja itu sudah tua atau pensiun, melainkan juga keluar dari suatu pekerjaan.
”Menjadi aneh dan tidak adil jika ada orang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) atau mengundurkan diri atas permintaan sendiri tidak bisa mendapatkan uang Jaminan Hari Tua dan harus menunggu hingga usia 56 tahun baru bisa dicairkan. Jika ada pekerja terkena PHK dan berusia 46 tahun, dia harus menunggu 10 tahun untuk mendapatkan uang JHT-nya,” papar Singgih.
Penggugat juga mendalilkan Permenaker No 2/2022 sangat diskriminatif dan tidak memberikan kepastian hukum. Pekerja yang mengundurkan diri, terkena PHK, dan pekerja yang mengalami cacat total atau meninggal hakikatnya sudah tidak bekerja kembali. Namun, jika mengundurkan diri dan terkena PHK, mereka tetap harus menunggu usia 56 tahun baru bisa mencairkan asuransi JHT-nya. Padahal, dana JHT itu diperlukan untuk modal kerja dan membiayai keluarga.
Penundaan pemberian uang JHT juga berdampak pada tidak bernilainya manfaat uang yang diterima. Misalnya, jika JHT dapat dicairkan bersamaan dengan seseorang tidak lagi bekerja jumlah yang diterima bisa mencapai Rp 20 juta dan berharga. Namun, jika harus menunggu 10 tahun lagi, uang Rp 20 juta sudah tergilas inflasi dan tak lagi bernilai. ”Jelas bagi pemohon, ketentuan Pasal 5 Permenaker No 2/2022 diskriminatif dan tidak memberikan kepastian hukum bagi pemohon,” kata Singgih.
Baca Juga: Ada Jaminan Kehilangan Pekerjaan, Pemerintah Akan Kembalikan JHT sebagai Tabungan Hari Tua
Pemohon berharap MA menyatakan bahwa Permenaker No 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT itu bertentangan dengan Peraturan Pemerintah No 60/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT serta UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No 15/2019.
”Petitum kami adalah meminta agar Permenaker No 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua dinyatakan bertentangan dengan peraturan di atasnya sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat,” kata Singgih.
Kurang sosialisasi
Pakar hukum ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjuddin Noer Effendi, mengatakan, Permenaker No 2/2022 adalah turunan dari UU Cipta Kerja kluster Ketenagakerjaan. Aturan dikeluarkan untuk memberikan petunjuk teknis pelaksanaan pembayaran kepada karyawan.
Aturannya, uang asuransi yang dibayar dari gaji karyawan itu bisa dicairkan dengan syarat sudah membayar iuran minimal 10 tahun. Sebelum usia pekerja 56 tahun, jika uang digunakan untuk biaya uang muka rumah, misalnya, dapat dibayarkan meskipun usia pekerja masih di rentang 30-50 tahun.
”Persoalannya, aturan ini dikeluarkan tanpa ada komunikasi yang baik dari Kemenaker dan BPJS Ketenagakerjaan. Aturan juga dilahirkan tanpa sosialisasi dan penjelasan kepada para pemangku kepentingan, seperti serikat buruh. Jadinya, ya, seperti ini, kacau,” kata Tadjuddin.
Tadjuddin menambahkan, secara normatif, aturan Permenaker No 2/2022 memang dibutuhkan sebagai petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis pembayaran JHT. Sebab, BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa mengeluarkan aturan di bawah UU atau peraturan pemerintah. Di masa pandemi, banyak karyawan yang terkena PHK. Akhirnya, banyak yang menuntut pembayaran JHT dari BPJS Ketenagakerjaan.
”Kurang sosialisasi akhirnya memunculkan banyak spekulasi. Ini penyakit lama yang terus berulang. Seharusnya, ajak semua pemangku kepentingan bicara, baru aturan dikeluarkan supaya tidak blunder dan membuat gaduh,” terang Tadjuddin.
Karena kesalahan itulah, lanjut Tadjuddin, wajar jika kemudian masyarakat mengajukan gugatan uji materi ke MA. Sebab, jika aturan Permenaker No 2/2022 diterapkan, banyak masyarakat yang akan dirugikan. Dia berharap pemerintah dapat menunggu proses hukum di MA walaupun mereka menyatakan akan memperbaiki sosialisasi aturan permenaker tersebut.
Permenaker, lanjutnya, seharusnya juga mempertegas aturan mengenai JHT yang sudah dibayarkan oleh pekerja selama kurang dari 10 tahun apakah dapat dicairkan saat mereka keluar dari pekerjaannya. Kemudian, juga terkait mekanisme pencairannya. Apakah memang benar-benar harus dicairkan saat usia 56 tahun sebab jika itu dilakukan, nilai uang akan tergerus inflasi sehingga tidak lagi berharga.
”Ditunggu saja proses hukumnya di MA, semoga bisa cepat dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat,” kata Tadjuddin.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam konferensi pers secara virtual di Jakarta, Senin (14/2/2022), mengatakan, manfaat JHT dapat dicairkan sebelum masa pensiun dengan persyaratan tertentu, misalnya telah mengikuti kepesertaan sebanyak 10 tahun. Nilai yang dapat diklaim paling banyak 30 persen dari jumlah JHT untuk kredit perumahan atau untuk keperluan perumahan. Atau, paling banyak 10 persen untuk kebutuhan di luar kebutuhan perumahan.
Selain itu, menurut Airlangga, sehubungan dengan Permenaker No 2/2022 dan PP No 37/2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, pemerintah tidak mengabaikan perlindungan apabila pekerja atau buruh mengalami PHK sebelum usia 56 tahun. Pemerintah tetap memberikan perlindungan bagi pekerja atau buruh berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak (Kompas.id, Senin 14/2/2022).
”Iuran JHT adalah iuran para pekerja atas kerja keras mereka. Maka, dalam konteks kebijakan, seharusnya negara bersifat netral dan menilai setiap orang punya kebebasan mengelola dana JHT-nya sendiri,” kata pakar kebijakan publik yang juga pengajar Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, melalui keterangan tertulis, Selasa (15/2).
Iuran JHT adalah iuran para pekerja atas kerja keras mereka. Maka, dalam konteks kebijakan, seharusnya negara bersifat netral dan menilai setiap orang punya kebebasan mengelola dana JHT-nya sendiri.
Menurut Achmad Nur, hal tersebut sebenarnya adalah filosofi Permenaker No 19/2015 yang mengizinkan pekerja dapat mencairkan JHT setelah satu bulan kehilangan pekerjaan. Beda ceritanya apabila iuran JHT dibayar oleh pemerintah, dan bukan pekerja, sehingga pemerintah bisa seenaknya menetapkan pencairan JHT di usia 56 tahun. ”Dana milik pekerja harus kembali kepada pekerja, termasuk kapan penggunaan dana tersebut,” katanya.
Dia menuturkan, tidak ada rujukan teoretis dan filosofis yang standar terkait JHT. ”Umumnya individu yang ikut plan hari tua tertentu kapan pun bisa mengambil plan tersebut. Bahkan, partisipasi asuransi saja, apabila sudah akumulasi unit terlampaui, bisa diambil any time (kapan saja),” ujar Achmad Nur yang juga pendiri dan CEO Narasi Institute tersebut.
Dalam Permenaker No 2/2022, Achmad Nur menuturkan, seolah negara memiliki pretensi lebih hebat dengan mengembangkan dana JHT pekerja sampai usia 56 tahun. Padahal, kebutuhan individu berbeda terhadap kebutuhan masa depannya. Individu pekerja setelah kehilangan pekerjaan atau memutuskan berhenti kerja, misalnya, bisa saja memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis sebelum pensiun dan memutuskan menggunakan JHT tersebut untuk memulai bisnis.
Bahkan, dimungkinkan dia mampu memberikan kembali JHT-nya lebih baik daripada yang dikelola oleh pemerintah. ”Oleh karena itu, Permenaker No 2/2022 harus dibatalkan karena ada arogansi dan superior negara di atas individu dalam mengelola jaminan hari tua para pekerja,” ujarnya.
Achmad Nur menilai perubahan aturan dari Permenaker No 19/2015 yang mengatur pekerja hanya menunggu satu bulan untuk mencairkan JHT secara tunai menjadi Permenaker No 2/2022 yang mengatur JHT baru bisa dicairkan saat pekerja berusia 56 tahun, bahkan bagi yang terkena pemutusan hubungan kerja, tersebut tidak tepat dilakukan saat PHK meningkat dan pandemi Covid-19 sedang menanjak.
Pencairan JHT menggunakan aturan lama, yakni Permenaker No 19/2015, dinilai sudah tepat di saat krisis 2022. ”Apabila pekerja harus dirumahkan, mungkin mereka berniat mencari pekerjaan lain. Namun, ketika pekerjaan tidak bisa ditemukan, pencairan JHT akan membantu mereka bertahan hidup dan membuka usaha mandiri. Penundaan JHT sampai usai 56 tahun menyebabkan pekerja tersebut berpotensi menjadi beban pemerintah dan masyarakat karena mereka tidak memiliki penghasilan untuk menghidupi diri dan keluarga mereka,” tuturnya.