Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dinilai belum sebanding dengan Jaminan Hari Tua sebagai bantalan sosial bagi buruh yang kehilangan kerja. Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 perlu ditunda, sementara program JKP dibenahi.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan dinilai belum tepat untuk menggantikan Jaminan Hari Tua bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan. Selain manfaat uang tunai yang tak sebanding di antara kedua program tersebut, syarat dan ketentuan untuk mengakses manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan dinilai terlalu rumit serta akan menyulitkan pekerja.
Menurut Direktur Eksekutif Trade Union Rights Center Andriko Otang, dari segi cakupan jumlah pekerja yang dapat mengakses, perbandingan besaran manfaat, serta kemudahan birokrasi dan administrasi untuk mengklaim manfaat tersebut, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) masih belum sebanding dengan Jaminan Hari Tua (JHT) dalam konteks menyediakan bantalan sosial bagi buruh yang kehilangan pekerjaan.
Sebagai perbandingan, dari segi manfaat uang tunai yang didapat, melalui JHT, seorang pekerja dengan masa kerja 5 tahun dan upah Rp 5 juta dapat mencairkan tabungan JHT-nya sebesar Rp 17,1 juta untuk dijadikan dana darurat ketika kehilangan pekerjaan.
Sementara dengan JKP, pekerja dengan masa kerja 5 tahun dan upah Rp 5 juta akan mendapatkan manfaat yang lebih kecil, yakni Rp 10,5 juta. Manfaat uang tunai JKP juga tidak dicairkan secara lump sum (sekaligus) seperti dana JHT, melainkan diberikan bertahap setiap bulan selama enam bulan.
Pada tiga bulan pertama, pekerja mendapat Rp 2,25 juta per bulan dan pada tiga bulan kedua mendapat Rp 1,25 juta per bulan. Jumlah Rp 10,5 juta adalah manfaat tertinggi yang bisa didapat pekerja karena JKP menerapkan batas maksimal upah senilai Rp 5 juta. Seturut dengan besaran upahnya, pekerja yang digaji di bawah Rp 5 juta akan mendapat manfaat yang lebih kecil.
Andriko juga menyoroti kerumitan birokrasi dan administrasi yang dapat membuat pekerja kesulitan mengakses manfaat JKP. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program JKP menyatakan, pekerja harus mengajukan klaim manfaat JKP tiga bulan sejak dikenai PHK. Jika melewati tenggat itu, haknya bakal hilang.
Sementara, ujarnya, proses perselisihan terkait PHK biasanya bisa berbulan-bulan. Terlebih jika berlanjut ke pengadilan hubungan industrial (PHI). ”Biasanya, perundingan di tahap bipartit saja bisa memakan waktu satu bulan, bahkan lebih. Kalau lanjut ke mediasi, lebih lama lagi. Sementara kalau sampai PHI, rata-rata paling cepat bisa 4-6 bulan,” katanya, Kamis (17/2/2022).
Dengan aturan batas waktu tiga bulan itu, pekerja dihadapkan pada pilihan untuk menyerah dan menerima keputusan perusahaan demi bisa mengklaim JKP atau memperjuangkan hak-hak pesangonnya dengan risiko kehilangan hak uang tunai dari JKP.
”Seharusnya tidak usah ada batasan waktu seperti itu, karena mau pekerja menggugat sampai level pengadilan atau tidak, pada dasarnya JKP adalah hak pekerja,” ujar Andriko.
Pekerja dihadapkan pada pilihan untuk menerima keputusan perusahaan demi bisa mengklaim JKP atau memperjuangkan hak-haknya dengan risiko kehilangan hak uang tunai dari JKP.
Putusan MK
Aspek lain yang menjadi sorotan adalah cakupan penerima manfaat yang masih terbatas pada pekerja formal dan tetap (PKWTT) serta kerumitan administrasi karena program itu dikelola dua institusi, yakni Kementerian Ketenagakerjaan untuk manfaat pelatihan dan informasi pasar kerja serta BP Jamsostek untuk manfaat uang tunai. ”Pekerja nanti bisa seperti diping-pong ketika mau memproses pengajuan klaim manfaat,” kata Andriko.
Oleh karena itu, ia menilai, seharusnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 yang mengubah ketentuan pencairan JHT bagi pekerja yang kehilangan pekerjaan perlu ditunda dulu, sementara kekurangan dalam program JKP dapat dibenahi agar lebih optimal dalam melindungi pekerja yang kehilangan sumber nafkah.
”Vakum saja dulu, kembalikan manfaat JHT ke aturan lama, sembari kita mengimplementasikan JKP lalu mengevaluasi kekurangannya,” katanya.
Sementara itu, Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono menilai, JKP belum tepat diterapkan karena program itu produk dari Undang-Undang Cipta Kerja, yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat dan masih harus direvisi dalam waktu dua tahun ke depan.
Perintah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Cipta Kerja adalah penangguhan semua kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas selama masa dua tahun itu. ”Maka, sesuai putusan MK, pemerintah harus merevisi dulu UU Cipta Kerja. Jangan mengaitkan JHT dengan JKP, seolah JKP menjadi solusi masalah terkait JHT yang saat ini timbul,” kata Aloysius.
Menurut dia, pemerintah perlu mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang merugikan buruh. Di tengah kondisi sulit, pemerintah seharusnya berpihak pada kondisi buruh. ”Ada dua permenaker yang bertentangan satu sama lain. Permenaker 19 Tahun 2015 yang menguntungkan buruh justru dicabut oleh Permenaker 2 Tahun 2022. Menurut saya, permenaker baru ini harus dicabut,” ujarnya.
Sosialisasi lebih gencar
Secara terpisah, dalam diskusi daring dengan Redaksi Kompas, Kamis, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dari unsur pengusaha, Agung Pambudhi, mengakui, sosialisasi Permenaker No 2/2022 belum maksimal. Selain itu, ia melihat, faktor utama yang memicu penolakan adalah rendahnya kepercayaan publik ke pemerintah.
”Memang harus diakui kenyataannya sosialisasi masih terbatas. Meski sudah ada pembahasan di tripartit dan sosialisasi, memang belum menjangkau secara luas,” katanya.
Memang harus diakui kenyataannya sosialisasi masih terbatas. Meski sudah ada pembahasan di tripartit dan sosialisasi, memang belum menjangkau secara luas.
Terkait sejumlah aspek dalam JKP yang masih dipandang bermasalah, Agung mengatakan, hal itu patut menjadi perhatian. Ia mencontohkan batas waktu tiga bulan yang terlalu singkat karena proses menjadikan PHK sebagai putusan mengikat (inkrah) membutuhkan waktu lama.
”Itu memang rumit karena prosesnya bisa sangat panjang dan melewati tiga bulan. Oleh karena itu, kita harus bersama mengidentifikasi potensi masalah yang ada dan mengirim pesan kuat ke penyelenggara agar mereka menyiapkan help desk yang fungsional. Agar ketika nanti ada kasus, tindak lanjutnya bagaimana,” papar Agung.
Senada, anggota DJSN dari unsur ahli, Iene Muliati, mengatakan, polemik JHT menyadarkan pemerintah dan jajarannya untuk lebih gencar melakukan sosialisasi ke depan. ”Kita selama ini take for granted, menyosialisasikan berdasarkan regulasi, tetapi tidak menyampaikan apa manfaatnya bagi masyarakat. Ke depan, sosialisasi dan edukasi ke publik ini perlu kita perbaiki,” katanya.
Kendati demikian, DJSN menilai, terobosan mengembalikan JHT kembali ke khitahnya perlu dilakukan dari sekarang. Jika tidak, sistem jaminan sosial nasional tak kunjung tertata.
”Memang ada dua sisi. Apakah kita menunggu JKP jalan dulu selama 1-2 tahun ke depan, baru JHT dikembalikan ke aturan awal? Tetapi, ini pun menjadi tanda tanya. Sebab, namanya kebijakan publik, ketika publik nanti bereaksi lagi, bisa jadi tidak sejalan dengan hipotesis kita,” ujar Iene.