Cerita Minyak Goreng Era ”Krismon” dan Pandemi
Serupa tapi tak sama. Begitulah kisah minyak goreng di era krisis moneter atau krismon dengan era pandemi Covid-19. Subsidi, ”panic buying”, larangan ekspor, DMO CPO dan olein, serta tudingan kartel, sama-sama terjadi.
Kisah seru minyak goreng tak hanya terjadi pada era pandemi Covid-19. Cerita serupa salah satu komoditas pokok itu, meski tidak benar-benar sama, juga terjadi pada era krisis moneter atau krismon pada tahun 1997-1998. Pada waktu itu, harganya baru relatif terkendali setelah bergejolak sekitar dua tahun.
Berdasarkan pemberitaan Kompas pada 1997-1999, harga minyak goreng di Pulau Jawa yang semula Rp 3.800 per kilogram (kg) melambung menjadi Rp 9.000 per kg. Di Riau dan Medan yang merupakan daerah penghasil utama CPO, harga minyak goreng sudah mencapai Rp 6.400 per kg dan Rp 8.000 per kg.
Kenaikan harga minyak goreng itu juga disebabkan oleh lonjakan harga CPO dunia yang terkatrol akibat minimnya pasokan dan depresiasi rupiah. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS anjlok hingga 254 persen secara tahunan, dari level Rp 3.030 pada September 1997 ke level Rp 10.725 pada September 1998.
Harga CPO merangkak naik dari rata-rata 530 dollar AS per ton pada 1996 menjadi 545 dollar AS per ton pada 1997 dan 672 dollar AS per ton pada 1998. Tingginya harga CPO itu menyebabkan produsen CPO dan minyak olein lebih memilih ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng sawit di dalam negeri.
Kondisi mulai agak mereda setelah harga CPO dunia berangsur-angsur turun. Pada 1999 dan 2000, harga CPO itu anjlok masing-masing menjadi 432 dollar AS per ton dan 311 dollar AS per ton.
Pemerintah juga menggonta-ganti kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng. Kebijakan itu mulai dari subsidi, menaikkan pajak ekspor, kewajiban memenuhi kebutuhan pasar domestik, hingga melarang ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) selama tiga bulan.
Pada Desember 1997, Menteri Perdagangan dan Industri Tunky Ariwibowo mewajibkan eksportir memasok kebutuhan pasar dalam negeri (domestic market obligation/DMO) CPO dan minyak olein (refined bleached and deodorized palm olein/RBDPO) sebesar 80 persen dari total volume ekspor masing-masing perusahaan.
Produsen komoditas tersebut yang tidak memenuhi ketentuan ini dikenai pajak ekspor tambahan sebesar 30 persen, di samping pajak ekspor yang sebesar 2 persen hingga 5 persen.
Kewajiban DMO itu dibebankan kepada 17 kelompok produsen CPO yang mewakili seluruh perkebunan/pabrik kelapa sawit (PKS) yang berjumlah 214 PKS dan seluruh pabrik pengolahan olein. Pemenuhan DMO itu harus dibuktikan dengan faktur Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri (Kompas, 19 Desember 1997).
Kementerian Perdagangan dan Perindustrian juga menghentikan ekspor CPO dan olein untuk Januari hingga Maret 1998 melalui surat Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Nomor 420 Tahun 1997 yang diterbitkan pada 24 Desember 1997. Pemerintah baru membuka ekspor kedua komoditas itu mulai 22 April 1998 dengan mengenakan pajak ekspor CPO sebesar 40 persen dan olein 35 persen.
Namun, dengan melemahnya nilai rupiah, tarif pajak ekspor itu tidak mampu menahan meningkatnya volume ekspor CPO dan olein sehingga pasokan di dalam negeri menipis. Hal ini membuat harga minyak goreng yang mulai turun naik kembali.
Kementerian Perdagangan dan Perindustrian juga menghentikan ekspor CPO dan olein untuk Januari hingga Maret 1998.
Untuk mengatasinya, pemerintah menaikkan tarif pajak ekspor menjadi 60 persen untuk CPO dan 55 persen untuk olein pada 7 Juli 1998. Pemerintah juga menggulirkan minyak goreng bersubsidi seharga Rp 4.000 per kg melalui Perum Bulog dan Induk Koperasi Pedagang Pasar (Inkoppas) per 28 Juli 1998.
Bulog bertugas membeli minyak goreng dari PT Perkebunan Nusantara dan swasta, sedangkan Inkoppas sebagai distributornya. Hingga 25 Agustus 1998, Bulog telah mengeluarkan dana sendiri sebesar Rp 758 miliar untuk membeli minyak goreng (Kompas, 26 Agustus 1998).
Lantaran kesulitan pengapalan, minyak goreng yang dibeli Bulog tertahan di pelabuhan muat sehingga tidak segera terdistribusikan ke masyarakat, khususnya di Jawa. Hal ini membuat harga minyak goreng di pasar lambat turun dan belum menyentuh Rp 4.000 per kg.
Baca juga: Perdagangan Minyak Goreng
Tudingan kartel
Pemerintah menilai Bulog dan Inkoppas gagal menurunkan harga minyak goreng. Oleh karena itu, pada awal September 1998, pemerintah membentuk Koperasi Distribusi Indonesia (KDI) sebagai gantinya. Pada saat KDI mulai beroperasi, harga minyak goreng di pasar berangsur-angsur turun. Hal ini seiring dengan penurunan harga CPO dunia dan musim panen sawit.
Kondisi justru membuat KDI tidak mampu bersaing di pasar lantaran harga minyak goreng yang dijual KDI lebih tinggi dari harga pasar. Waktu itu, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan menyatakan, ada praktik kartel yang dilakukan enam produsen minyak goreng untuk menguasai pasar (Kompas, 5 Oktober 1998).
Setelah pemerintah mencabut subsidi dan menyerahkan distribusi minyak goreng ke KDI, perusahaan swasta justru menjual minyak goreng dengan harga lebih murah dibandingkan KDI. Hal ini membuat minyak goreng KDI tidak laku sehingga pemerintah kembali menyubsidi harganya hingga setara dengan harga pasar.
Kwik Kian Gie, dalam analisisnya di Kompas berjudul ”Kebijakan Perdagangan yang Membingungkan”, menyebutkan, KDI pontang-panting mengikuti pasar, yang akhirnya hanya bisa mengikuti pasar dengan subsidi. Tanpa penelitian, pemerintah langsung mengatakan ada kartel banting harga di kalangan pabrik.
Kartel harga itu sendiri aneh sebab kartel biasanya untuk menaikkan harga supaya mendapatkan laba supernormal. Seperti halnya dengan KDI, setelah pontang-panting, pemerintah pun baru mengakui bahwa tidak ada kartel banting harga. Sampai kapan dan dalam bidang apa saja eksperimen dalam krisis akan berlangsung? (Kompas, 19 Oktober 1998).
Sampai kapan dan dalam bidang apa saja eksperimen dalam krisis akan berlangsung?
Di era krismon itu, panic buying juga terjadi lantaran masyarakat khawatir harga-harga bahan pangan akan terus melonjak sepanjang 1998. Warga masyarakat di sejumlah kota besar hari Kamis (8/1/1998) siang menyerbu di pasar-pasar swalayan, dan memborong barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari, terutama beras, minyak goreng, gula, susu, dan mi instan.
Serbuan itu mulai bergerak selepas tengah hari dan hingga sekitar pukul 21.00 WIB warga masih berdesak-desakan di pusat-pusat perbelanjaan. Situasi itu terjadi di Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Depok. Keadaan serupa muncul di Surabaya, Solo, Medan, dan Semarang (Kompas, 9 Januari 1998).
Era pandemi
Masalah kenaikan harga minyak goreng di era krisis moneter itu sebenarnya sama dengan persoalan saat ini, yaitu imbas dari berkurangnya pasokan CPO global. Namun pada saat krisis moneter, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga turut menjadi faktor penentu.
Sementara pada tahun ini, nilai tukar rupiah relatif stabil. Hanya saja, kenaikan harga CPO global tidak hanya dipengaruhi oleh berkurangnya pasokan, tetapi juga kenaikan harga minyak nabati lain dan minyak mentah dunia. Faktor lainnya adalah spekulasi harga di bursa komoditas lantaran berlimpahnya likuiditas global akibat kebijakan pelonggaran kuantitatif bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve, pada tahun lalu.
Dari sisi kebijakan juga lebih kurang sama. Sejak November-Desember 2021 dan sepanjang Januari 2022, pemerintah telah empat kali mengeluarkan kebijakan untuk mengendalikan lonjakan harga minyak goreng.
Pertama, pemerintah bekerja sama dengan produsen minyak goreng dan peritel untuk mendistribusikan 11 juta liter minyak goreng kemasan sederhana seharga Rp 14.000 per liter. Pendistribusian minyak goreng ini hanya sebatas di ritel modern.
Kedua, kebijakan minyak goreng kemasan sederhana bersubsidi seharga Rp 14.000 per liter yang digulirkan pada 5 Januari 2022. Dana subsidi itu berasal dari dana pungutan ekspor CPO yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sebesar Rp 3,6 triliun.
Baca juga: Kebijakan Minyak Goreng Satu Harga dan Syarat Ekspor CPO Diterapkan
Ketiga, kebijakan minyak goreng kemasan sederhana dan premium satu harga, yaitu Rp 14.000 per liter yang dicetuskan pada 19 Januari 2022. Kebijakan ini membuat dana subsidi dari dana BPDPKS membengkak menjadi Rp 7,6 triliun. Kebijakan minyak goreng kemasan sederhana dan premium satu harga itu diberlakukan pada 19 Januari-31 Januari 2022.
Kebijakan itu diluncurkan bersama larangan terbatas ekspor CPO, olein, dan minyak jelantah (used cooking oil/UCO). Kebijakan larangan terbatas itu mewajibkan setiap eksportir ketiga produk turunan kelapa sawit itu melaporkan pemenuhan kebutuhan bahan baku minyak goreng dalam negeri sebagai syarat ekspor. Namun, kebijakan ini tidak mematok volume dan harga pasokan untuk dalam negeri.
Kehadiran minyak goreng satu harga itu membuat masyarakat memburunya sehingga membuat stok minyak goreng di toko dan gerai-gerai ritel cepat kosong. Masyarakat yang berbelanja di pasar tradisional juga mulai beralih ke ritel modern untuk mendapatkan minyak goreng harga terjangkau itu.
Keempat, pemerintah menerapkan DMO CPO dan olein. Volume DMO ditentukan sebesar 20 persen dari total volume ekspor setiap eksportir, sedangkan harganya dipatok Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp 10.300 per kilogram untuk olein. Kebijakan ini berlaku pada 27 Januari 2022.
Berbarengan dengan DMO, pemerintah juga mengatur harga eceran tertinggi (HET) baru minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng premium Rp 14.000 per liter. Kebijakan baru ini akan dimulai pada 1 Februari 2022.
Baca juga: Dua ”Jurus” Baru Atasi Problem Minyak Goreng
Kebijakan-kebijakan itu tidak serta-merta menekan secara drastis harga minyak goreng di dalam negeri. Harga minyak goreng memang turun, tetapi masih lebih tinggi dibandingkan HET baru.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan periode 3 Januari-8 Februari 2022, harga rata-rata nasional minyak goreng curah baru turun 3,91 persen dari Rp 17.900 liter pada 3 Januari 2022 menjadi Rp 17.200 per liter pada 8 Februari 2022.
Begitu juga dengan harga rata-rata nasional minyak goreng kemasan sederhana yang penurunannya sebesar 8,11 persen. Pada 3 Januari 2022, harga minyak goreng tersebut Rp 18.500 per liter, sedangkan pada 8 Februari 2022 turun menjadi Rp 17.000 per liter.
Pemerintah menjamin sepekan ke depan stok minyak goreng sudah lancar lantaran 40 juta liter minyak goreng murah sudah mulai didistribusikan.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, Selasa (8/2/2022), mengatakan, harga minyak goreng lambat turun lantaran ketersediaan minyak goreng yang sesuai HET baru belum banyak beredar di pasar. Produsen minyak goreng perlu waktu penyesuaian dengan kebijakan DMO dan HET baru, serta mempersiapkan produksinya.
Di sisi lain, stok minyak goreng sesuai HET yang sudah digulirkan di pasar tradisional dan ritel modern juga langsung habis dibeli masyarakat akibat panic buying. ”Ini akan berlangsung sementara. Pemerintah menjamin sepekan ke depan stok minyak goreng sudah lancar lantaran 40 juta liter minyak goreng murah sudah mulai didistribusikan,” kata Oke, Selasa (8/2/2022).
Baca juga: Berakhirnya Era Minyak Goreng Murah
Dugaan kartel minyak goreng juga mengemuka. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memanggil sejumlah perusahaan minyak goreng sejak 4 Februari 2022 guna mendalami indikasi upaya menaikkan harga minyak goreng secara bersamaan atau kartel. Dari 74 perusahaan yang menjadi anggota dua asosiasi, 30 perusahaan bergerak di industri minyak goreng.
”Empat di antaranya merupakan perusahaan besar yang terintegrasi dengan perkebunan dan pabrik pengolahan atau pemurnian minyak kelapa sawit. Empat pabrik ini menguasai 46,5 persen pasar minyak goreng di dalam negeri,” ujar Ketua KPPU Ukay Karyadi, pekan lalu.
Baca juga: Mengurai ”Keruh” Minyak Goreng