Gorengan dan minyak goreng di Indonesia memiliki sejarah tersendiri. Indonesia merupakan produsen CPO dan minyak goreng terbesar di dunia. Miris rasanya jika harga minyak goreng tinggi di negeri sendiri.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
Dahulu bangsa Indonesia tidak mengenal gorengan dan minyak goreng. Teknik dasar mengolah makanan yang dikenal waktu itu adalah merebus, mengasapi, mengukus, mengasinkan, dan membakar atau memanggang.
Tak banyak petunjuk yang menggambarkan secara pasti kapan awal mula bangsa Indonesia mengenal teknik menggoreng dan minyak goreng. Namun, bangsa Indonesia diperkirakan mengenal dan mengadopsi teknik menggoreng dan minyak goreng dari bangsa Tionghoa, China. Titik pijaknya bermula dari ekspedisi perdagangan China pada abad ke-4.
Sejarawan dan juga peneliti Asia Timur dan Asia Tenggara Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, Jaringan Asia (2008) menyebutkan, pada abad ke-4 hingga ke-5, sejumlah daerah di Indonesia menjadi sasaran dagang yang berlanjut ke asimilasi budaya. Ketiga daerah itu adalah Jawa, pantai timur Sumatera, dan Semenanjung Melayu.
Lombard juga menuliskan, mereka yang memutuskan tinggal di daerah-daerah itu, khususnya di Jawa, membawa teknik memasak dan peralatan masak. Teknik masak itu adalah ca, tim, dan kuah, sedangkan peralatan masak itu salah satunya kuali atau penggorengan.
Dalam Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (2013), disebutkan teknik menumis (fan chao), tidak pernah dikenal penduduk Nusantara. Selain itu, ada juga teknik menggoreng dengan sedikit minyak (jian) dan dengan banyak minyak (zha) yang diadopsi bangsa Indonesia hingga kini.
Mulanya minyak goreng berasal dari minyak hewani dan kacang-kacangan. Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (2008) mencatat, salah satu tanaman yang bisa menghasilkan minyak adalah kacang goring yang dulu banyak ditanam di Batavia. Di Malaya atau di Jawa, kacang goring itu disebut sebagai kacang china, penden, atau tana. Kacang itu tidak pernah dijadikan makanan, tetapi minyak hasil perasan digunakan untuk memasak, sedangkan endapannya untuk membumbui nasi.
Salah satu tanaman yang bisa menghasilkan minyak adalah kacang goring yang dulu banyak ditanam di Batavia. Kacang itu tidak pernah dijadikan makanan, tetapi minyak hasil perasan digunakan untuk memasak, sedangkan endapannya untuk membumbui nasi.
Baru setelah sekian lama, muncul minyak nabati berbahan baku minyak kelapa. Kemudian seiring dengan berkembangnya teknologi pengolahan kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit mentah (CPO) di Indonesia pada 1974, minyak goreng sawit mulai diproduksi dan berkembang hingga kini.
Terkait dengan makanan yang digoreng juga baru tercatat dalam Serat Centhini yang ditulis pada 1814 hingga 1823. Dalam karya sastra Jawa kuno itu dikisahkan tentang beragam lauk-pauk dalam acara kenduri pernikahan, seperti masakan berbahan daging yang ditusuk, disapit, dibakar, digoreng, direbus, dan dikukus, serta sayuran yang ditumis.
Kini aneka teknik goreng-menggoreng berkembang di Indonesia. Teknik itu menghasilan berbagai ragam masakan dan gorengan Nusantara. Begitu juga aneka jenis dan merek minyak goreng yang didominasi minyak goreng sawit juga tumbuh pesat menopang ekonomi gorengan Nusantara.
Pada 2020, Indonesia telah memiliki 74 pabrik minyak goreng dari kelapa sawit. Dari jumlah itu, 45 pabrik berada di Jawa. Konsumsi minyak goreng sawit pada 2015-2020 juga terus tumbuh sebesar 2,32 persen. Pada 2015, konsumsi minyak goreng sawit di tingkat rumah tangga sebesar 10,33 liter per kapita per tahun. Angka ini meningkat menjadi 11,58 liter per kapita per tahun.
Pola distribusi
Dalam laporannya tentang Distribusi Perdagangan Komoditas Minyak Goreng Indonesia 2021, Badan Pusat Statistik menunjukkan, pendistribusian minyak goreng dari produsen ke konsumen akhir melibatkan 3-7 pelaku usaha perdagangan, tergantung daerah-daerah yang dituju. Namun, pola utama atau pada umumnya adalah terdiri dari tiga rantai yang melibatkan distributor dan pedagang eceran.
Pendistribusian minyak goreng dari produsen ke konsumen akhir melibatkan 3-7 pelaku usaha perdagangan tergantung daerah-daerah yang dituju. Secara nasional, kenaikan harga minyak goreng dari produsen hingga konsumen akhir sebesar 17,14 persen.
Secara nasional, margin perdagangan dan pengangkutan total (MPPT) tahun 2020 pada pola utama pendistribusian minyak goreng sawit itu sebesar 17,41 persen, atau meningkat dari MPPT 2018 yang sebesar 17,05 persen. Angka ini mengindikasikan, kenaikan harga minyak goreng dari produsen hingga konsumen akhir sebesar 17,14 persen.
Pada 2020, MPPT terendah berada di Sumatera Barat yang memiliki tiga rantai, yaitu sebesar 10,43 persen. Adapun MPPT tertinggi berada di Papua yang memiliki empat rantai, yaitu sebesar 37,26 persen.
Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, Selasa (16/11/2021), harga rata-rata nasional minyak goreng baik curah, kemasan sederhana, maupun kemasan premium, harganya antara Rp 17.450-Rp 18.650 per kilogram (kg) atau Rp 18.706-Rp 19.992 per liter. Harga tertinggi minyak goreng itu ada di Papua Barat dan Gorontalo, masing-masing Rp 20.450 per kg (Rp 21.992 per liter) dan Rp 22.900 per kg (Rp 24.548 per liter). Harga tersebut lebih tinggi dari harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 11.000 per liter.
Indonesia merupakan produsen CPO dan minyak goreng terbesar di dunia. Miris rasanya jika harga minyak goreng tinggi di negeri sendiri.
Kenaikan harga minyak goreng sawit itu disebut-sebut lantaran terimbas kenaikan harga CPO global yang pada November 2021 meningkat 52,23 persen dibandingkan November 2020. Tentu saja, kenaikan harga minyak goreng di dalam negeri itu tidak hanya dipengaruhi harga CPO global, tetapi juga panjangnya rantai distribusi di sejumlah daerah.
Di tengah belum pulihnya daya beli rumah tangga dan pelaku usaha, kenaikan harga minyak goreng ini semakin membebani. Indonesia merupakan produsen CPO dan minyak goreng terbesar di dunia. Miris rasanya jika harga minyak goreng tinggi di negeri sendiri.